Dok. Pribadi |
Oleh: Darius Prawiro Deusritus
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang
Pro dan kontra terus bergulir sejak Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS), yang menggantikan beberapa pasal di dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Alasan Pemerintah adalah menjadikan PERPPU ini sebagai senjata untuk memerangi Ormas-ormas radikal yang dalam kegiatannya tidak sejalan atau bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, karena UU Ormas belum memadai. UU Ormas belum merupakan senjata yang cukup bagi pemerintah untuk melakukan pembubaran terhadap Ormas yang kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Masih terdapat "kekosongan hukum" di dalamnya terkait penerapan sanksi yang efektif bagi ormas seperti yang disebutkan di atas.
Apakah benar demikian?
Mari kita bedah satu persatu.
Pertama, kita awali dari syarat pembentukan PERPPU.
Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22 ayat (1) disebutkan bahwa: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.” Terkait adanya "kegentingan yang memaksa" ini, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 kemudian menetapkan 3 syarat sebagai parameter adanya unsur tersebut, yaitu:
i. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
ii. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
iii. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: adakah keadaan yang sedemikian genting terjadi pada bangsa ini hari ini, sehingga jika pemerintah tidak segera bertindak (dengan menerbitkan PERPPU ini), maka negara ini akan hancur?
Argumentasi yang dibangun pemerintah dan barisan pendukungnya adalah adanya organisasi yang melakukan aktivitas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, sementara aturan kita belum cukup untuk menindak tegas mereka. Adapun aturan, tetapi itu membutuhkan waktu yang lama sampai saat dibubarkannya organisasi-organisasi tersebut.
Ini sangat menarik untuk ditelisik.
Ketakutan akan adanya ormas radikal, katakanlah Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) dan ormas lainnya yang akan menggantikan ideologi negara ini terlalu berlebihan. Saya secara pribadi pun tidak setuju dengan tujuan HTI. Bagi saya Pancasila sebagai dasar negara itu final. Namun dalam kaitan dengan PERPPU ini, HTI dan keberadaannya saat ini belum mendesak negara untuk segera menerbitkan PERPPU. Kenapa tidak mengikuti mekanisme hukum yang ada? Toh seluruh anak bangsa (termasuk saya) antusias ketika Pak Wiranto beberapa bulan lalu mengumumkan tentang pembubaran HTI. Ada semacam ketakutan yang berlebihan. Justru, jika mengikuti pola pikir pemerintah maka seharusnya RUU Terorisme itu yang diselesaikan secepatnya.
Lebih jauh lagi, unsur kegentingan yang memaksa ini kemudian dengan sendirinya dibantahkan oleh pemerintah ketika terdapat rentang waktu yang cukup jauh antara tanggal dikeluarkannya PERPPU dan tanggal dibubarkannya Ormas yang dinilai bertentangan, yaitu HTI. Syarat kegentingan yang memaksa adalah adanya tindakan “SEGERA” setelah PERPPU ini dikeluarkan.
Alasan ini gugur dengan sendirinya.
Kedua, yang tidak kalah menarik dan lucu adalah ketika pemerintah dalam setiap kesempatan selalu mengatakan bahwa PERPPU Ormas ini bertujuan untuk membubarkan organisasi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, dalam hal ini HTI. Pemerintah seperti mencoba untuk mengaburkan tujuan lain (hidden agenda) dari PERPPU ini. Kita harus tau bahwa Perubahan PERPPU ini meliputi puluhan pasal. Sementara itu hanya satu (1) pasal yang mengatur tentang pembubaran ormas yang bertentangan dengan Pancasila. Hanya satu dari sekian banyak.
Saya paham, argumentasi “pembubaran HTI” sengaja dijadikan tameng untuk meredam suara-suara kritis masyarakat, mengingat sebagian besar dari warga republik ini (termasuk saya) sepakat jika HTI dibubarkan. Argumentasi “pembubaran HTI” ini kemudian dibangun, terus dikumandangkan dalam setiap kesempatan, membuat kita lupa mengkritisi hal lain dari PERPPU ini.
INI BUKAN PERPPU PEMBUBARAN ORMAS RADIKAL.
Ketiga, ada tindakan melangkahi hukum dalam isi PERPPU ini.
Pembubaran ormas dengan hanya berdasarkan pertimbangan subyektif pemerintah terhadap sebuah ormas dan penghilangan mekanisme peradilan dalam proses pembubaran sebuah ormas bagi saya adalah pengingkaran terhadap hukum dan nilai-nilai demokrasi. Ini juga merupakan upaya penghilangan hak-hak demokrasi warga negara (sebuah usaha yang jelas membuka jalan menuju otoritarianisme). Penggunan asas Contrarius Actus yang melandasi pembuatan PERPPU ini tidaklah tepat.
Jika benar Indonesia adalah negara hukum, maka mekanisme pembubaran Ormas melalui jalur peradilan adalah sebuah keharusan. Tidak ada alasan yang tepat bagi kita untuk tidak menggunakan mekanisme peradilan. Jika proses pembubaran ormas terkesan lama (seperti diatur dalam UU ORMAS), maka pemerintah hanya perlu mempersingkat prosesnya, bukan menghilangkan hal terpenting dari hukum itu sendiri.
Keempat, tafsir Pancasila yang luas bisa berakibat fatal terhadap keberadaan ormas.
Rezim Orde Baru melakukan tindakan otoriter dan represif dengan mengatasnamakan Pancasila dan UUD 1945. Kebenaran hanya ditafsir secara sepihak oleh penguasa. Ini berpotensi diulangi kembali setelah tindakan semacam ini mendapat tempat dalam PERPPU ini.
Bagi saya, tata kelola pemerintahan yang baik dengan memerhatikan kemanusiaan, kesamaan kedudukan di hadapan hukum, suasana pengambilan keputusan yang arif dan bijaksana dengan tidak terlalu banyak dicampuri oleh urusan politik, perwujudan keadilan sosial, adanya usaha memperpendek jarak antara si kaya dan si miskin adalah pengamalam nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Jika pemerintah sendiri belum mampu mengamalkan itu, lantas bagaimana cara masyarakat menghakimi pemerintahan yang tidak mampu mengamalkan Pancasila dalam tata kelola pemerintahannya ini? Kemudian bagaimana pemerintah ingin menafsir Pancasila bagi ormas jika pemerintah sendiri tidak mampu menghadirkan tata kelola pemerintahan yang baik berdasarkan Pancasila?
Terakhir, saya ingin memberikan catatan kritis terkait beberapa pasal yang ada di dalam PERPPU ormas ini.
1. Pasal 59 ayat (1) huruf a-c: Ormas dilarang menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang pada pokoknya atau keseluruhannya sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan, lembaga/badan internasional, ormas lain atau partai politik.
Ini merupakan pasal yang multitafsir. Artinya, sejauh mana batasan antara penggunaan nama, lambang, dll tersebut? Sejauh ini begitu banyak organisasi yang menggunakan logo yang hampir sama satu dengan yang lainnya.
Sebut saja penggunaan lambang padi dan kapas, atau rantai, bintang, dll. Pada pokoknya, selalu terdapat kesamaan di antara penggunaan hal-hal tersebut antara satu organisasi dengan yang lainnya. Apakah semuanya mau dibubarkan? Berapa banyak lagi masalah yang akan terjadi dengan adanya pasal ini?
2. Pasal 59 ayat (2) huruf a dan b: Ormas dilarang menerima dari atau memberikan kepada pihak manapun sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau mengumpulkan dana untuk partai politik.
Pasal ini sarat muatan politik. Bagaimana nanti situasi politik yang terjadi menjelang PEMILU? Setiap Partai Politik pastinya memiliki organ taktis yang bergerak untuk melakukan penggalangan dana bagi Parpol tertentu. Bagaimana dengan organisasi underbouw partai politik yang saat ini sudah ada dan akan ada seiring meningkatnya eskalasi politik menjelang pemilu 2019?
3. Pasal 59 ayat (3) huruf a: Ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;
Saya sepakat. Tapi, mari kita melihat penjelasan dari bunyi poin ini.
Yang dimaksud dengan “tindakan permusuhan” adalah ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi, baik secara lisan maupun tertulis, baik melalui media elektronik maupun tidak melalui media elektronik yang menimbulkan kebencian, baik terhadap kelompok tertentu maupun terhadap setiap orang termasuk ke penyelenggara negara.
“Penyelenggara Negara”. Lagi-lagi penggunaan kalimat ini dengan sendirinya menunjukan rezim yang otoriter dan anti kritik. Bagaimana jika dalam demonstrasi kita mengucapkan kalimat yang menunjukan kemarahan terhadap anggota DPR-RI atau pejabat publik yang melakukan korupsi? Apakah kita akan ditangkap? Organisasi kita akan dibubarkan?
4. Pasal 59 ayat (3) huruf b: Ormas dilarang melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;
Pasal karet “penistaan agama” yang di berbagai negara sudah dihapus, di dalam RUU KUHP dan KUHAP yang baru pun sudah dihapus, kini kembali dinyatakan secara tegas dan gamblang dalam aturan ini.
Apa definisi penistaan? bagaimana batasannya?
Pengertian penistaan bagi saya masih sangat subyektif. Tidak ada patokan yang jelas tentang penistaan ini. Antara satu orang dengan orang lainnya memiliki pengertian yang berbeda terkait penistaan. Ini karena tingkat kematangan emosional setiap orang sangat berbeda. Coba lihat kasus Ahok yang beberapa bulan lalu sangat menyita perhatian anak bangsa ini. Terkait pengertian penistaan yang dilakukan Ahok terhadap agama Islam, umat Islam sendiri terbelah menjadi dua bagian; ada yang sepakat Ahok melakukan penistaan, sebagian lainnya menyatakan tidak.
Dari kasus tersebut saja kita sudah belajar bahwa kebenaran menjadi sangat kabur. Orang dengan kemampuan mobilisasi massa yang bagus, kemampuan agitasi dan propaganda yang bagus bisa saja kemudian memenangkan pertarungan opini seusai kepentingannya.
Yang kedua, kata “agama”. Hanya “agama”. Bagaimana dengan aliran kepercayaan lain, penganut agama-agama asli Nusantara yang saat ini berjumlah ratusan itu? Apakah mereka (juga) boleh “dinodai”, “dilukai”, “dinista”? Hanya enam agama yang diakui di Indonesia. Sisanya?
Mau sampai kapan anak bangsa terbelah dalam situasi bangsa yang seperti ini?
5. Pasal 59 ayat (3) poin (c): Ormas dilarang melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial;
“Mengganggu ketertiban umum” adalah frasa yang kabur dan bias makna. Lagi-lagi bunyi poin ini sangat multitafsir.
Pengekangan terhadap kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum adalah ancaman serius bagi kehidupan demokrasi di negara ini. Bagaimana jika dalam sebuah aksi, massa aksi melakukan long march di jalan protokol, menggunakan pengeras suara ukuran besar, melakukan pawai, pembakaran ban, dll. Ini tentu saja mengganggu kenyamanan pengguna jalan yang lain, masyarakat di sekitar, dll. Kepolisian bisa saja dengan gampang membubarkan setiap aksi untuk rasa dengan alasan pasal ini.
6. Pasal 59 ayat (4) huruf a: Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Dalam penjelasan poin ini kemudian disebutkan bahwa: Yang dimaksud dengan “ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila” antara lain ajaran Ateisme, Komunisme/Marxisme-Leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk diketahui, dalam kuliah (tidak semua jurusan) ada pelajaran tentang ideologi-ideologi besar dunia. Salah satunya, kita mempelajari Komunisme/Marxisme-Leninisme di kampus. Kita juga melihat banyak buku-buku yang memuat pikiran mereka, dimuat secara online, dijual di mana-mana. Peredarannya luas. Bagaimana langkah konkret pemerintah untuk itu?
Saya kemudian melihat ini adalah sikap "anti intelektual".
7. Pasal 82A ayat (1-3): Sanksi pidana diberlakukan bagi anggota dan/atau pengurus Ormas.
Saya membayangkan penjara yang akan penuh jika sanksi ini diberlakukan. Bayangkan saja jika ada organisasi yang beranggotakan ribuan orang, melanggar beberapa pasal seperti yang tertera dalam pasal 82A ini. Kemudian semuanya dipenjara. Wow!
SOLUSI:
Saya berharap DPR-RI menerima PERPPU ini untuk dibahas menjadi Undang-Undang.
Catatan bagi DPR-RI adalah pasal-pasal dalam PERPPU yang berpotensi mengekang demokrasi, menghilangkan kaidah hukum itu sendiri seperti terdapat dalam catatan saya ini sebaiknya dihapus.
Sebagai tambahan, mungkin mekanisme pembubaran Ormas yang perlu mendapatkan perbaikan. Saya sepakat dengan tawaran solusi yang disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara: Rafly Harun. Ia menyarankan agar pembubaran Ormas dilakukan berdasarkan dua mekanisme. Biasa dan luar biasa.
Mungkin inilah sejumlah hal yang menjadi catatan kecil dari saya terkait PERPPU ini. Tidak ada niat untuk mencela. Kita tentu saja hanya ingin penegakan hukum melalui proses yang fair dan memenuhi rasa keadilan, terwujudnya iklim kehidupan demokrasi yang baik dimana setiap warga negara; siapapun, berhak bersuara dengan tidak berada di bawah tekanan, atau bayang-bayang ketakutan akan apapun.
Warga negara yang baik dalam sistem negara demokrasi adalah warga negara yang mau menjadi mitra kritis pemerintah, dengan bersedia memberikan kritik, masukan, tanggapan, atas setiap kebijakan pemerintah. Sekian.
#SayaPancasila
KOMENTAR