Gambar dari sini |
Oleh: B. Sosrodihardjo
Judul dalam ulasan
opini ini sengaja menggunakan kata “iman”, sebagai pengganti paling sesuai dari
kata “agama” yang awalnya terbayang di benak. Mengapa iman? Sebab sependek yang
penulis amati, “iman atau faith“
lebih luwes dalam merepresentasikan hak memilih tiap-tiap pribadi manusia,
dibandingkan dengan kata “agama”, yang kini lebih sering diasosiasikan sebagai
identitas kelompok, dengan seperangkat perbedaan tafsirnya, dan terkadang
menjadi awal mula perpecahan.
Subjektifitas
pribadi atas pemilihan salah satu di antara dua terminologi tersebutlah yang
menggiring penulisan artikel ini. Ya, menulis tentang cadar atau yang juga awam
disebut niqab. Dalam kerangka “iman”,
seseorang yang memilih untuk bercadar pastinya telah melalui suatu rangkaian
peristiwa dalam kehidupannya, yang kemudian membuat dirinya sepenuhnya yakin, bahwa pilihan (bercadar) itu
adalah pilihan terbaik dalam hidupnya. Meskipun penulis juga tidak menampik
bahwa “agama”, secara lebih spesifik dapat diartikan “menaati anjuran agama
(tertentu)”, adalah faktor yang pada umumnya mempengaruhi seseorang untuk
menggunakan cadar, namun justifikasi terus-menerus dengan menggunakan sudut
pandang “agama” –terlebih agama dalam pemahaman akhir-akhir ini- dengan mengabaikan
kacamata “iman”, dapat dengan mudah menggeser persepsi masyarakat terhadap
pengguna cadar jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu yang berkaitan dengan “agama”
tersebut.
Bagaimana
pernyataan tersebut dapat dipahami? Mari kita mengingat sejenak berbagai peristiwa
yang berkaitan dengan “cadar” dalam korelasinya dengan “agama” beberapa waktu
ini.
Pada permulaan
tahun 2018, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan terbitnya surat dari Rektor
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang memandatkan adanya “pembinaan” terhadap
mahasiswi bercadar di lingkungan akademiknya. Tak main-main, dalam isi surat
tersebut dinyatakan bahwa mahasiswi yang “nekat” masih bercadar setelah
mendapatkan pembinaan, dimohon untuk mengundurkan diri dari kampus atau diancam
akan dikeluarkan dari kampus atas pertimbangan –kalau boleh disebut serantanan-
bahwa “cadar” adalah salah satu simbol/indikasi dari paham radikalisme, dan
oleh karenanya, menyalahi kode etik perguruan tinggi tersebut.
Meski terkesan
otoriter, keluarnya keputusan ini memang tidak bisa dikatakan tanpa alasan.
Mundur beberapa waktu kebelakang, tepatnya hingga pada tanggal 19 Juli 2017,
pembubaran HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) menjadi arena pertarungan ideologis di
ruang-ruang publik, dengan tersorotnya simpatisan-simpatisan perempuannya yang
pada mayoritasnya menggunakan cadar. HTI yang terafiliasi dengan nilai-nilai
radikalisme, antara lain melalui isu bahwa ingin mengganti ideologi Pancasila
menjadi ideologi kekhalifahan Islam, tak pelak juga menularkan gagasan tersebut
kepada simbol-simbol “tak hidup” seperti cadar, yang kerapkali didapati dalam
rangkaian aksinya. Atas sorotan inilah, eksistensi cadar semakin bertalian erat
dengan “agama yang bertafsir tertentu”. Ia dianggap sebagai simbol mutlak dari
radikalisme, dengan mengesampingkan pribadi pengguna cadar itu sendiri, apakah
memang radikal atau tidak. Inilah yang dipahami penulis sebagai bahayanya
menjustifikasi cadar hanya dari “agama” dengan mengabaikan iman/keyakinan
individu dalam menggunakan cadar.
Nyatanya, kemunculan
HTI bukanlah satu-satunya momen krusial yang menempatkan cadar dalam asosiasi
negatif. Beberapa peristiwa yang secara kebetulan dilakukan oleh perempuan yang
menggunakan cadar, juga menjadi faktor lain yang menyebabkan timbulnya
diskriminasi terhadap perempuan bercadar. Misalnya saja berita yang sempat
viral beberapa waktu lalu tentang dua ibu bercadar yang enggan dibantu saat
mengalami kecelakaan motor di jalan raya. Meski harus mengalami luka dan
berdarah, ibu tersebut menolak pertolongan dari seorang lelaki pengguna jalan
yang secara spontan membantunya, dengan alasan bahwa lelaki tersebut bukan
muhrimnya. Pernyataan ini lantas viral sebab lelaki tersebut memposting
kekecewaannya di media sosial. Sikap anti-sosial yang secara tersurat terbaca
dalam kasus ini, dengan mudah semakin menyuburkan paradigma masyarakat bahwa
pengguna cadar memang seorang yang harus dijauhi karena merekalah yang
membatasi kehidupannya sendiri dari pergaulan sesama manusia.
Puncak dari
kegelisahan terhadap cadar, lantas menyeruak pasca peristiwa peledakan bom
bunuh diri satu keluarga terhadap tiga gereja di Surabaya bulan Mei lalu. Salah
seorang pelaku, yakni istri dari otak bom bunuh diri tersebut, diketahui
menggunakan cadar melalui pantauan CCTV yang dipasang di salah satu gereja
tersebut. Ironisnya, cadar yang berbalut dengan pakaian muslimah lebar yang ia
pakai, tidak hanya menjadi simbol bahwa ia seorang muslim, melainkan juga
menjadi properti penunjang aksi tak berperikemanusiaannya untuk menutupi
keberadaaan bom yang telah ia pasangkan di bagian sekitar perut. Atas fakta
ini, fobia terhadap perempuan bercadar menjadi sulit untuk dibendung dan
menimbulkan sentimen membabi-buta terhadap eksistensi perempuan bercadar.
Sentimen ini dengan
cepat menyebar ke segala lapisan. Atas pengalaman pribadi, penulis dapat
berkata nekat bahwa sentimen ini telah mampu melampaui rasionalitas manusia,
bahkan kepada manusia-manusia yang dapat dikatakan “berpendidikan” sekalipun.
Selain nampak melalui surat keputusan rektor UIN Sunan Kalijaga sebelumnya,
sentimen terhadap pengguna cadar juga pernah dinyatakan oleh salah seorang pendiri
yayasan perlindungan anak, yang berkawan dengan penulis di media sosial facebook. Pendapat beliau yang bernada
negatif terhadap pemakai cadar tidak sekali-dua kali diposting melalui akun
FB-nya. Dari sekian yang terposting, salah satu “status” ini mungkin dapat
menjadi bahan diskusi bersama bahwa kebencian telah melampaui logika:
“...bercadar bukan berarti teroris, tapi perempuan terrorist pasti bercadar. Nah lo, gimana bedainnya?”
Dalam kalimat tersebut, nampak adanya silogisme yang dipaksakan untuk
mengamini bahwa perempuan bercadar identik dengan terorisme. Kata “pasti”
menjadi penunjuk penghakiman subjektif –jika boleh dikatakan tergesa-gesa-
untuk menguatkan asumsi bahwa tidak ada “fakta lain” yang dapat menegasikan
pernyataan tersebut. Padahal kalimat ini sendiri mengandung penghakiman yang
tak kalah kejamnya dengan pihak yang selalu berusaha beliau lawan: kubu Islam radikal
(dalam postingan FB-nya, diketahui secara instan –penulis hanya mengenalnya
melalui FB-, bahwa beliau kerapkali menggelorakan semangat “nasionalisme” dan
menyorot tajam tindakan-tindakan kaum radikal, seperti HTI, FPI, dll). Ambil
contoh, jika beliau tidak suka ketika kubu Islam radikal seringkali mengangkat
isu yang membenturkan sosok bermata sipit dan kulit putih (baca: cina) sebagai
non-pribumi, aseng, kafir, atau
sebutan stereotip lainnya, memukul rata seluruh perempuan yang memilih
menggunakan cadar sebagai penganut radikalisme atau lebih-lebih seorang
teroris, adalah bentukan lain dari rasisme itu sendiri. Dan hal inilah yang
harusnya dicegah bersama-sama untuk meminimalisir diskriminasi-diskriminasi
baru yang rentan merebak antar sesama bangsa Indonesia akibat “balas dendam”
yang tak berkesudahan.
Atas berbagai kesedihan
tersebut, menilik pemakaian cadar dengan sudut pandang “iman”, dirasa lebih
mampu mengingatkan manusia untuk mencoba mendefinisikan ulang posisi cadar
sebagai hak asasi, alih-alih sebagai sebatas simbol saja. Kembali lagi pada
keyakinan penulis, iman itu adalah ranah pribadi, yang hanya diketahui oleh
orang yang memilih dan menjalani. Meski memiliki agama yang sama, banyak sekali
realita yang menunjukkan bahwa iman seseorang terhadap bagaimana ia
menginternalisasi dan melakoni keagamaannya berbeda-beda. Perbedaan ini kembali
kepada fitrah manusia itu sendiri, yang sedari diciptakan memang tiada yang
sama 100% dengan yang lainnya.
Cadar boleh sama,
namun individunya tidak boleh dipukul rata bahwa semua sama. Dikutip dari
artikel Afrin Meyriana dalam liputan6.com1, Eva Nisa, seorang Dosen Art History, Classics and Religious Studies di
University of Wellington Victoria, Selandia Baru, pernah meneliti tentang perempuan
bercadar di Indonesia, November 2017 lalu. Dalam penelitiannya, Nisa
mengungkapkan bahwa masyarakat tidak dapat menggeneralisasi perempuan bercadar
ke dalam kelompok agama tertentu, sebab motif penggunaan cadar; pemahaman
agamanya; gaya hidup; model cadar/niqab
yang digunakan; serta cara mengekspresikan ajaran agamanya sangat variatif dan
majemuk.
Kemajemukan ini salah
satunya terepresentasi dalam sosok Hesti Sutrisno. Tampilan luarnya tak ada
bedanya dengan perempuan simpatisan HTI yang sempat seringkali terlihat dalam
aksi demo. Ia menggunakan cadar, lengkap dengan pakaian muslimah yang sama
lebarnya dengan pakaian yang dipakai oleh pelaku teror yang sempat tertangkap
CCTV. Akan tetapi, kita tak akan pernah mengetahui sisi lain cadar, jika menolak
mengenal Hesti lebih dekat, meski hanya mencari tahu melalui media sosial. Ibu dengan
dua anak ini ialah seorang penyelamat binatang. Tak hanya kucing, ia telah merawat
11 anjing liar di dalam rumahnya. Ya, anjing. Binatang yang oleh agama Islam
dikategorikan sebagai pembawa najis berat ini, ia urus dengan penuh cinta dan
ketulusan atas imannya pada firman Tuhan yang mewartakan rahmat bagi seluruh
alam.
Suatu kali dalam
wawancaranya di CNN Indonesia2, jawaban Hesti terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pembawa acara pun nyaris selalu menyertakan
nama Tuhan, yang seakan mencerminkan pilihan keimanannya: “ini (anjing) adalah titipan Allah..”, “Allah kasih saya ujian ini (merawat anjing).. saya dipertemukan dengannya (anjing) saat ia makan
sampah dan rerumputan”, “pastilah
Allah kasih penyuka dan tidak penyuka.. kalau Allah kasih penyuka mulu, enak
banget ya hidup kita”. Bahkan kutipan terakhir merupakan jawaban atas
pertanyaan tentang respon orang-orang terhadap pilihan hidupnya
(bercadar/muslim tapi kok memelihara
anjing?), terlebih dari kalangan seagamanya sendiri.
Sosok “variatif”
bercadar lainnya juga pernah penulis temui dalam salah satu kegiatan sarasehan
antara komunitas Tuli dan suatu komunitas keagamaan mahasiswa. Dalam pertemuan
tersebut, teman Tuli berkesempatan mengajarkan bahasa isyarat secara langsung
kepada seluruh anggota komunitas keagamaan dan mendapatkan apresiasi yang
sungguh positif. Menariknya, dari sekian mahasiswa yang hadir, terdapat satu
mahasiswi bercadar yang sangat antusias memperhatikan apa yang disampaikan oleh
teman Tuli. Mata tak pernah bisa bohong dan hal ini terasa nyata ketika mata
penulis beberapa kali mencoba memandangnya karena “penasaran” terhadap
desas-desus perempuan bercadar. Nyatanya, energi yang begitu besar untuk
mengenal teman dan hal baru terpancar begitu kuat dari dua bola matanya, yang
menjadi satu-satunya inderanya yang dapat diindera.
Selepas kegiatan pun,
ia menghampiri penulis dan memohon izin untuk memeluk penulis dengan erat,
meski kami tak pernah benar-benar saling mengenal sebelumnya. Uniknya, ia
memilih memeluk penulis yang jelas-jelas berpenampilan 180’ berbeda darinya:
tidak berhijab, menggunakan kaos, mengenakan celana jins. Seperangkat tampilan
yang kiranya sering didiskreditkan aliran keagamaan fanatik! Jikapun pendapat
penulis ini dianggap subjektif sebab terjadi pada penulis sendiri, realitanya,
gadis bercadar itu tidak hanya berhenti sampai memeluk penulis saja. Ia
benar-benar membaur dengan teman-teman Tuli yang ada pada waktu itu dan turut
membantu dengan kemampuan yang ia punya meski untuk berbahasa isyarat pun, ia
masih terbata-bata. Gadis bercadar itu meyakini bahwa Tuhan semakin meridhoinya
jika ia mampu memberikan manfaat bagi orang lain. Dan rasanya, internalisasi
keimanannya ini dapat dengan mudah mengentahkan argumen bahwa mereka yang
bercadar pastilah anti-sosial.
Berbagai uraian
tentang cadar dan iman di atas tidak dimaksudkan penulis untuk membela secara
mutlak mereka yang bercadar. Bagi penulis, tidak ada kemutlakan di dunia ini selama
itu disampaikan oleh manusia. Kemutlakan hanyalah milik Tuhan, dan oleh
karenanya, setiap manusia tidak dapat mengatakan bahwa ini paling benar dan itu
paling salah. Namun begitu, tolok ukur kebenaran relatif di dunia, menempel
kuat dalam nilai kemanusiaan. Jika pernyataan atau tindakan yang dianggap paling
benar sekalipun harus menodai nilai-nilai kemanusiaan, maka hal tersebut sulit
untuk dapat di-benar-kan. Begitu juga tidak boleh ada yang menghardik bahwa
yang lain “salah” hanya karena ia “berbeda” dengan apa yang kita anggap benar,
sebab sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan untuk menilai orang lain
hanya dari luarnya saja. Dan dalam konteks ini, “prinsip hidup” yang diimani
penulis berlaku bagi cara penulis memandang pemakai cadar maupun yang tidak
memakai cadar.
Kembali pada frasa
“ekspresi iman”, tulisan ini mencoba mengelaborasi posisi kelompok perempuan
bercadar, untuk juga mewakili kelompok perempuan “marjinal” lainnya, seperti
yang berhijab namun tidak bercadar, yang muslim namun tidak berhijab dan tidak
bercadar, yang ber-tattoo dan lain
sebagainya, dari “titik nol” sebagai manusia. Dari nol yang sama-sama mencari
nan mempelajari imannya masing-masing; dari nol untuk memilih jalan kehidupan
sesuai keyakinannya masing-masing; sekaligus nol dari beragam stereotip yang
menghakimi selama ia sebagai pribadi tak melakukan kekeliruan yang berarti.
Untuk itu,
cerita/kalimat/kata yang terkesan “memuji atau membaik-baikan” perempuan
bercadar dalam artikel ini, bukanlah lebih ditekankan pada cadar-nya, melainkan
pada sifat dan sikap yang dimiliki oleh dua perempuan bercadar tersebut.
Tentunya, penulis juga berharap bahwa sifat dan sikap ini dapat tercermin pula
pada seluruh perempuan di Indonesia dan bahkan dunia, baik yang memilih
bercadar maupun tidak. Dan alangkah baiknya, jika itu semua diawali terlebih
dahulu melalui titah Pram, “berlaku
adilah sejak dalam pikiran”!
Rujukan:
KOMENTAR