Jakarta, Katakanlah - Berdasarkan Naskah yang diterima pada 05 Oktober 2020, dengan 905 Halaman, PP PMKRI telah melakukan kajian yang mendalam terkait UU Cipta Kerja dan telah merilis pernyataan sikap resminya. Di bawah ini pernyataan sikap PP PMKRI Terkait Pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
---
PERNYATAAN SIKAP PP PMKRI
TERKAIT PENGESAHAN UU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA
Di awal tahun 2020 pemerintah tengah mempersiapkan Rancangan UndangUndang (yang selanjutnya disingkat dengan RUU) Cipta Kerja dengan menggunakan konsep Omnibus Law. RUU ini sedang dipersiapkan oleh Pemerintah untuk dijadikan sebuah skema dalam upaya membangun perekonomian Indonesia agar mampu menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pemerintah memandang perlu adanya RUU Cipta Kerja ini karena tingginya angka pengangguran di Indonesia yang mencapai 7 juta jiwa sehingga diharapkan RUU ini mampu membuka lapangan kerja baru.
Konsep Omnibus Law adalah sesuatu yang baru dalam tatanan perundang-undangan Indonesia. Lazimnya konsep omnibus law ini diterapkan di Negara-negara yang menganut konsep hukum Anglo saxon seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia dan beberapa negera lainnya. Sistem ini biasanya disebut sebagai Undang-Undang sapu jagat karena mampu mengganti beberapa norma undang-undang dalam satu peraturan. Selain itu konsep ini juga dijadikan misi untuk memangkas beberapa norma yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan merugikan kepentingan negara
Omnibus Law Cipta kerja yang digagas pemerintah terdiri dari 15 bab aturan, terbagi ke dalam pasal dengan total keseluruhan pasal yang diganti adalah sebanyak 1.203 pasal dari 73 Undang-undang terkait. Dalam logika pemerintah hadirnya rancangan undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja diharapkan mampu merampingkan undang-undang yang selama ini tumpang tindih. Selain itu, RUU ini juga dianggap akan mempercepat proses investasi masuk ke Indonesia, pembukaan lapangan pekerjaan dan meningkatkan penerimaan negara.
Faktanya Rancangan Undang-Undang ini menuai polemik di masyarakat. Omnibus Law Cipta Kerja dianggap sebuah proyek yang sangat liberal kapitalistik minim proteksi terhadap keberlangsungan lingkungan hidup, masyarakat adat, eksploitatif, diskriminasi, dan kesejahteraan buruh. Maka, tak heran semanjak undang-undang ini dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat menuai penolakan massif dimana-mana.
Adapun yang menjadi permasalahan dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, yakni;
1. Permasalahan Formil
A. Minimnya partisipasi publik
Dalam proses perancangan undang-undang ini, pemerintah terkesan diam-diam dalam menyelesaikannya dan juga tidak melibatkan elemen masyarakat dalam prosesnya. Misalnya, tidak mengikutkan kelompok atau serikat buruh dimana RUU ini sangat berdampak kepada mereka. Kemudian transparansi mengenai pembasahan ini tidak ditemukan sampai pemerintah sudah menyerahkannya ke DPR. Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 96 Undang-undang No 15 tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang No 12 tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan dimana dikatakan;
1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompokorang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, Maria Farida, beliau mengatakan, “5 hal perlu diperhatikan terkait rencana Omnibus Law ini, yakni pemenuhan asas keterbukaan, kehati-hatian, partisipasi masyarakat, sosialisasi yang lebih luas, dan pembahasan yang harus transparan.
B. Kurang sesuai dengan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No 15 Tahun 2019 perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011)
Secara prinsipil rancangan undang-undang dengan konsep omnibus law ini diakomodir oleh peraturan pembentukan perundang-undangan di Indonesia. Dalam hierarkies perundang-undangan ia masuk ke kategori undang-undang. Namun, jika kita melihat materi pokok dalam lampiran undang-undang ini, perlu diberi suatu perhatian khusus terkait jenis peraturan perundang–undangan tersebut. Hal ini ditandai dengan terdapatnya ketidakjelasan jenis peraturan-perundangan tersebut. Padahal diktum yang terdapat di lampiran Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja menetapkan bahwa jenis peraturan UU Cipta Kerja adalah undang-undang sebagaimana yang dimaksud pada pasal 7 UU Peraturan Pembentukan Perundang-undangan, namun materi pokok yang diatur dalam Undang-undang Cipta Kerja ini adalah materi pokok UU perubahan. Adapun materi UU Perubahan hanya berisi perubahan yang terdiri atas pencabutan, penggantian, atau penambahan materi pokok dari undang-undang sebelumnya. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah teknik penyusunan perundangan-undangan antara undang-undang baru dan undang-undang perubahan berbeda.
Secara filosofis Konsep Omnibus Law ini dikaitkan pada Pasal 22 A UUD NRI tahun 1945 yang menyatakan “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan peraturan undang-undang diatur dalam undang-undang”. Berdasarkan pasal tersebut diundangkanlah UU No 15 Tahun 2019 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentangn Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. Dimana dalam lampiran 2 huruf C angka 69 menyatakan “pengelompokan materi muatan dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesaman materi”. Serta angka lampiran 2 huruf C angka 70 yangmenyatakan, urutan pengelompokan adalah sebagai berikut :
a. Bab dengan pasal atau beberapa pasal tanpa bagian dan paragraf;
b. Bab dengan bagian dan pasal atau beberapa pasal tanpa paragraf; atau
c. Bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal atau beberapa pasal.
Jadi berdasarkan ketentuan diatas UU Omnibus Law Cipta Kerja tidak berpedoman pada pengelompokan UU No 12 Tahun 2011. Karena di dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut ada pengelompokan Bab didalam Bab dan Pasal di dalam Pasal.
Maka, berdasarkan urain dalam pasal tersebut Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja bertentangan dengan peraturan pembentukan perundang-undangan, dikarenanakan teknik penyusunannya yang terlalu rumit dan ada pengelompokan Bab di dalam Bab dan Pasal di dalam Pasal.
2. Pembahasannya yang terlalu singkat dan tertutup
Seperti yang kita ketahui bersama Omnibus law cipta kerja ini atau biasa disebut sapu jagat merupakan undang-undang raksasa yang memborong banyak undang-undang. Diketahui Omnibus Law Cipta Kerja terdiri dari 11 Kluster, 15 bab, 174 pasal, dan 79 perundang-undangan dengan 1203 pasal terdampak. Sejak diserahkan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 12 Februari 2020, hingga disahkan pada 5 Oktober 2020 terbilang sangat singkat. Hal ini tentu menjadi pertanyaan di masyarakat, mengingat banyaknya muatan yang ada dalam undang-undang ini maka harusnya membutuhkan waktu yang lebih banyak karena undang-undang ini nantinya akan berperan penting dalam dinamika kebangsaan kita.
Selain pembahasan hingga pengesahannya yang begitu cepat, hal yang sama juga nantinya akan terjadi pada pengesahan Peraturan Pemerintah (PP). Dalam Bab XV Ketentuan penutup Pasal 185 poin (a) dikatakan, “...Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini wajib ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan.” Ketergesaan ini tentu menjadi tanda tanya bagi khalayak ramai. Banyaknya pasal yang harus diperjelas dan diterjemahkan di PP, waktu 3 bulan akan melahirkan karancuan.
Selain pembahasannya yang minim partisipasi publik. Pun, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ini dilakukan secara tertutup. Hal ini tentu saja bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, asas keterbukaan. Tentu saja ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap amanat konstitusi, Pasal 28 F UUD NRI 1945, “..Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” Pembahasan rancangan undang-undang yang terkesan tertutup, ternyata tidak hanya ditemukan dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ini, beberapa RUU yang saat ini disahkan juga mengalami kejadian yang sama, seperti revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Hal ini tentu menjadi preseden buruk bagi iklim demokrasi Indonesia.
3. Permasalahan materiil
Apabila ditelisik secara mendalam permasalahan materil dalam Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja ini menjadi diskursus yang paling banyak diperbincangkan oleh banyak elemen masyarakat baik itu organisasi perburuhan, lembaga swadaya masyarakat, maupun mahasiswa. banyak pihak beranggapan muatan dari Omnibus Law Cipta Kerja ini terlalu liberal dan tidak sesuai dengan sistem sosial politik kita, berpotensi merusak tatanan hukum Indonesia, mempermudah masuknya investasi tanpa proteksi yang baik seperti Analisis Mengenai dampak lingkungan (AMDAL), perlindungan dan kesejahteraan buruh yang minim, terancamnya eksistensinya masyakarat adat, mandekya reforma agraria, dan sejumlah permasalahan lainnya.
Adapun yang menjadi poin perhatian Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katholk Republik Indonesia (PP PMKRI) :
A. Dihapusnya Ketentuan Pasal 40 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
Dalam ketentuan Pasal 40 UU No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup;
(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.
(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.
Dihapusnya pasal ini dalam Omnibus Law Cipta Kerja akan mengaburkan semanngat untuk tetap menjaga keasrian dan kelestarin lingkungan hidup. Hapusnya pasal ini menunjukkan rendahnya proteksi pemerintah terhadap lingkungan, dan izin lingkungan hidup tidak lagi diutamakan pemerintah dalam menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan pendataan podes 2018, jumlah pencemaran di seluruh desa di Indonesia tercatat ada 16.847 desa tercemar air, 2.200 desa tercemar tanah, dan 8.882 tercemar udara. Persentase tertinggi dengan banyaknya desa tercemar terjadi di Kalimantan Tengah, yakni mencapai 58,63 persen dari total desa yang ada. Sementara persentase terendah terdapat di Papua, yakni hanya 5,75 persen saja desa yang mengalami pencemaran. Sayangnya selain Papua hanya ada dua Provinsi lagi yang memiliki persentase desa tercemar dibawah 10 persen yaitu Nusa Tenggara Timur dan Papua Barat. Hal ini menunjukan banyaknya daerah yang telah tercemar di Indonesia. Berdasarkan data diatas, Pemerintah harusnya lebih serius melindungi keberlangsungan lingnkungan hidup, sebab bukan tidak mungkin dengan diberlakukannya UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, kurasakan lingkungan semakin massif terjadi. Dimana ini akan menjadi ancaman bagi kita dan generasi yang akan datang.
B. Paragraf 3 (Persetujuan Lingkungan) Pasal 88 UU Omnibus Law Cipta Kerja
Dalam Omnibus Law Cipta Kerja ketentuan mengenai Pasal 88 dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolan dan Perlindungan Lingkungan Hidup diganti oleh Omnibus Law Cipta kerja. Bunyi pasal 88 UU PPLH adalah, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Namun pemerintah menghapus ketentuan “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” sehingga pasal 88 tersisa, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.” Sejalan dengan dihapusnya ketentuan pada Pasal 40 UU No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, dihapusnya kalimat, “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”. Konsep strict liability adalah jurus ampuh untuk mencegah kerusakan lingkungan yang semakin parah. Bagaimana konsep ini mampu mengambil peran menjadi alarm bagi setiap pelaku usaha untuk berhati-hati dalam mengelola limbah dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya bagi lingkungan. Sebab, dapat disanksi oleh negara tanpa perlu proses pembuktian.
C. Ketentuan Pasal 93 Dihapus
Pasal 93 UU No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup mengatakan;
(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila:
a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal;
b. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKLUPL; dan/atau
c. badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.
(2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Setelah dihapuskannya pengertian izin lingkungan, strict liability, selanjutnya pemerintah dan DPR berupaya membendung penyampaian aspirasi masyarakat melawan para perusak lingkungan. Sebab, ketentuan Pasal 93 ini merupakan dasar bagi masyarakat untuk mengajukan gugatan kepada negara. Distopnya keran aspirasi ini semakin mempertegas sikap pemerintah yang kurang memberikan perhatian serius terhadap masa depan lingkungan Indonesia yang hari ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Masih segar dalam ingatan kita betapa massifnya kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. Data KLHK mencatat luas karhutla dari Januari hingga September 2019 sebesar 857.756 hektare dengan rincian lahan mineral 630.451 hektare dan gambut 227.304 hektare, selain itu kerugian materil akibat kebakaran hutan menurut (World Bank/WB), total kerugian yang ditanggung Indonesia sepanjang 2019 akibat kebakaran lahan dan hutan mencapai 5,2 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 72,95 triliun (kurs Rp 14.000).
Kerusakan lingkungan dan kerugian materi ini harusnya menjadi pembalajaran penting bagi pemerintah agar kiranya tetap menjunjung tinggi keadilan ekologi, tidak lagi secara serampangan memberikan ijin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan proteksi pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang sangat minim.
D. Dihapusnya ketentuan Pasal 65 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pem borongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum. Lembaga outsourching hanya diberi ruang untuk beroperasi di wilayah pekerjaan non produksi atau hanya pekerjaan penunjang.
Poin penting pasal 65 ini ialah menyangkut batasan sektor kerja yang boleh dialihkan kepada outsourching atau perusahan alih daya. Hanya pada pekerjaan tertentu saja.
Diperjelas melalui aturan turunan Permenakertrans No. 19 tahun 2012 pasal 17 poin (3) yang berisi:
Kegiatan penunjang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a. Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service) ;
b. Usaha penyediaan makanan bagi pekerja / buruh (catering) ;
c. Usaha tenaga pengaman (security / satua pengamanan) ;
d. Usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan ; dan
e. Usaha penyediaan angkutan bagi pekerja / buruh.
Artinya bahwa wewenang outsourching / perusahan alih daya tidak lagi terbatas pada lima sektor kerja penunjang yang dimaksudkan. Outsourching telah melampau dan akan menjangkau semua sektor kerja. Hal ini berdampak pada membanyaknya jumlah tenaga kerja / buruh yang bekerja melalui outsourching.
Sementara di satu sisi, praktek outsourching di Indonesia masih menyisahkan banyak masalah hingga hari ini. Misalnya status pekerjaan yang tidak pasti, karena bergantung pada perusahan pemberi kerja yang bekerja sama dengan lembaga outsourching.
Ketidakpastian upah, karena ada banyak oknum pengusaha lembaga outsourching sewenang-wenang mengendalikan upah tanpa mematuhi upah minimum yang diatur oleh undang-undang. Adanya perusahan outsourching yang sepihak mem-PHK pekerja. Jaminan kesehatan dan jaminan sosial yang tidak diatur secara teknis mengenai lembaga outsourching.
Masalah-masalah ini sudah lama terjadi dalam sistem outsourching di Indonesia, yang seharusnya membutuhkan evaluasi dari pemerintah. Sebaliknya, yang terjadi malah menambah kuota pekerja yang dioutsourchingkan, tetapi tidak ada perbaikan regulasi untuk mengatur jaminan kesejahteraan bagi pekerja.
E. Perubahan pasal 79 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Dalam Pasal 79 UU No. 13 tahun 20003 dikatakan,
1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.
Beberapa ketentuan yang diganti pada pasal diatas yakni:
Poin (2) menjadi, waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi :
a. Istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama emapat (4) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termaksud jam kerja; dan
b. Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu
Poin (5) menjadi, “.. Selain waktu istirahat dan cuti sebagimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.”
Pasal ini tentu saja sangat merugikan buruh, durasi kerja yang begitu padat rawan terhadap kesehatan buruh terutama mereka yang bekerja di sektor tekstil, rokok, pabrik kimia, dan lain sebagainya. Apalagi durasi istirahat yang tidak masuk ke kategori jam kerja berpeluang mengeksploitasi pekerja.
Yang menjadi kontroversial yakni poin (5), poin ini rawan mendiskriminasikan buruh perempuan, sebab ketiadaan aturan yang jelas terkait dengan cuti, tidak ada pembedaan cuti antara buruh perempuan dan laki-laki. Padahal yang kita ketahui perempuan itu membutuhkan beberapa cuti khusus seperti, cuti hamil, cuti haid, dan cuti melahirkan. Dalam Pasal 79 poin (5) diatur bagaimana mekanisme cuti bagi perempuan yang diperjelas oleh Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP. 51 /MEN/IV/2004 Tentang Istirahat Panjang Pada Perusahaan Tertentu.
Diserahkannya waktu istirahat dan cuti kepada keputusan perusahaan sangat rawan untuk disalahgunakan oleh para pihak perusahaan mengingat ketiadaan aturan yang jelas sekaligus sistem penngawasan yang diperlemah oleh Omnibus Law Cipta Kerja ini.
F. Pasal 88 C Omnibus Law Cipta kerja.
Dalam Pasal ini dikatakan, gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi. Pasal ini mengubah ketentuan pada Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana sistem pengupahan buruh itu dilakukan secara Upah Minimum Regional (UMR). Sekilas tidak ada masalah dengan perubahan ini, namun, lazimnya upah minimum provinsi jauh lebih rendah dibandingkan upah minimum regional. Ditengah kompleksitas kebutuhan masyarakat dan pertumbuhan perekonomian yang terjadi, upah adalah kunci utama dalam meningkatkan kesejahteraan buruh, sistem pengupahan seperti ini tentu saja akan merugikan buruh.
G. Ketentuan Pasal 91 UU No. 13 tahun 2003 dihapus;
1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dihapusnya ketentuan Pasal 91 ini secara tidak langsung membuka keleluasaan pengusaha terkait dengan sistem pengupahan buruh. Dihapusnya Pasal ini memungkin terjadinya pengingkaran terhadap hak-hak buruh. Padahal, adanya Pasal ini diharapkan mampu menciptakan kepastian pengupahan terhadap buruh.
H. Bagian Keempat Paragraf 1 Bank Tanah
Dimasukkan regulasi mengenai bank tanah merupakan pasal-pasal yang sebelumnya sudah ditolak dalam Rancangan Undang-undang Pertanahan yang dibahas tahun lalu. Muatan dalam bank tanah dianggap tidak sesuai dengan spirit reforma agararia yang selam ini senantiasa dibunyikan oleh pemerintah. Guru besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Maria SW Sumardjono menyatakan bank tanah yang dituangkan pemerintah ke dalam UU Cipta Kerja tidak jelas peruntukannya. Dia curiga bank tanah sengaja berpihak kepada pengusaha.
Hal yang senada dikatakan oleh Sekjend Konsorsium Pembaharuan Agraria, Dewi Kartika, ia mengatakan, Undang-undang ini, kata dia, dengan jelas memberikan kepastian hukum dan kemudahan proses kepada investor dan badan usaha raksasa. Dengan begitu, mereka lebih mudah merampas tanah rakyat, menghancurkan pertanian rakyat, merusak lingkungan dan memenjarakan masyarakat yang mempertahankan hak atas tanahnya.
Dalam pasal 129 UU Cipta Kerja ini mengenal istilah baru dalam hak tentang tanah, yakni Hak Pengelolaan (HPL), banyak pihak beranggapan adanya HPL ini merupakan upaya untuk mennghidupkan kembali Domein Verklering atau kepemilikan tanah oleh negara. Dimana proyek-proyek penguasaan tanah akan dimonopoli oleh negara. Hal ini dipertegas dengan dibentuknya Badan Bank Tanah (Pasal 130). HPL telah menimbulkan kekacauan penguasaan tanah, karena merupakan wujud penyimpangan hak menguasai dari negara (HMN). Padahal, dalam Putusan MK No.001-021-022/PUU-1/2003 bahwa HMN berarti kebijakan pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan yang mengacu pada Pasal 33 Ayat 3, dan bukan berarti negara memiliki tanah. Sedangkan dalam UU Cipta Kerja, HPL sebagai pemberian hak di atas tanah negara seperti hendak menghidupkan kembali konsep domein verklaring zaman kolonial, yang sudah dihapus dalam UUPA 1960.
Kesempatan orang asing pun sangat terbuka untuk menguasai lahan yang ada di Indonesia. Seperti yang kita ketahui bersama hak milik hanya diberikan kepada Warga Negara Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960. Namun, oleh Omnibus Law Cipta Kerja peluang orang asiinng untuk memiliki hak milik dnegan dalih rumuh susun terjadi, dalam pasal 143 dikatakan, “..Hak milik atas satuan rumah susun merupakan hak kepemilikan atas satuan rumah susun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama , benda bersama, dan tanah bersama.”
Dalam menuntaskan reforma agraria yang tak kunjung usai, pembentukan Bank Tanah bukanlah solusi terlebih kewenangannya yang diberikan Omnibus Law Cipta Kerja kepada Badan Bank Tanah tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terlebih ketiadaan pengawasan akan berdampak pada kebijakan-kebijakan yang timpang. Seharusnya spirit UU No 5 tahun 1960 dan Perpres No. 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria dapat dijadikan pedoman untuk menuntaskan agenda reforma agraria.
4. Bertentangan dengan ajaran sosial gereja (ASG) dalam hal ini Ensiklik Laudato Si dan Rerum Novarum
“Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menyuapi dan mengasuh kami, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan. Saudari ini sekarang menjerit karena kerusakan yang telah kita timpakan kepadanya, karena tanpa tanggung jawab kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya.”
Begitulah Paus Fransiskus memulai bait-bait awal ensiklik keduanya. Didahului dengan ucapan “Laudato Si’, mi’ Signore,” “Terpujilah Engkau, Tuhanku,” yang ia kutip dari ucapan Santo Fransiskus dari Asisi, pendahulunya ratusan tahun lalu, Paus Fransiskus memulai penegasan sikapnya yang lahir dari refleksi keimanan atas realitas dunia yang hadir saat ini. Dua ratus empat puluh enam paragraf dari keseluruhan ensiklik ini berbicara soal bagaimana seharusnya manusia beragama dan beriman bersikap atas alam dan lingkungannya.
Spirit akan keadilan ekologi sangat kental dalam ensklik ini, dimana garis besar dari Ensiklik Laudato Si ini lebih menekankan kepada keadilan ekologi. Hal ini dipertegas dalam (POIN LAUDATO SI’ TENTANG AMDAL) III. DIALOG DAN TRANSPARANSI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN 182.
Dimana dikatakan, “Penilaian dampak lingkungan dari aneka usaha dan proyek menuntut suatu proses politik yang transparan dan melibatkan dialog, sementara korupsi yang menyembunyikan dampak lingkung-an nyata dari proyek tertentu untuk mendapatkan keuntungan, biasanya menghasilkan perjanjian-perjanjian semu dengan menghindari informasi atau diskusi yang luas.
Sebuah analisis dampak lingkungan (AMDAL) seharusnya tidak baru diadakan setelah rancangan sebuah proyek produksi atau kebijakan, rencana, atau program apa pun sudah dibuat. AMDAL ini harus diikutsertakan dari awal dan dikembangkan secara interdisipliner, transparan, dan bebas dari segala tekanan politik atau ekonomi. Ini harus dikaitkan dengan suatu kajian tentang kondisi kerja serta efek-efek yang mungkin terjadi, antara lain, bagi kesehatan fisik dan mental masyarakat, ekonomi lokal, serta keamanan masyarakat.
Dengan demikian keuntungan ekonomi dapat diperkirakan lebih realistis, dengan mempertimbangkan skenario skenario yang dapat terjadi, dan mengantisipasi kemungkinan perlunya investasi yang lebih besar untuk memperbaiki efek-efek yang tidak diinginkan. Harus selalu dicapai konsensus antara berbagai pemangku kepentingan, yang dapat menawarkan aneka perspektif, solusi dan alternatif. Penduduk setempat harus mendapat tempat khusus di meja diskusi; mereka bertanya-tanya tentang apa yang mereka inginkan untuk dirinya sendiri dan anak-anak mereka, dan dapat mempertimbangkan tujuan-tujuan yang melampaui kepentingan ekonomi langsung.
Kita harus melepaskan gagasan “intervensi” terhadap lingkungan hidup, dan mengembangkan kebijakan-kebijakan yang dipikirkan dan didiskusikan oleh semua pihak yang berkepentingan. Partisipasi mensyaratkan bahwa semua menerima informasi yang memadai tentang berbagai aspek dan juga berbagai risiko dan peluang; ini tidak terbatas hanya pada keputusan awal sebuah proyek, tetapi juga menyangkut berbagai tindak lanjut dan pemantauan yang tetap. Dibutuhkan kejujuran dan kebenaran dalam diskusi ilmiah dan politis, tanpa membatasi diri pada pertimbangan apa yang diizinkan atau tidak oleh undang-undang.”
Berdasarkan urain diatas, terjadi pertentangan prinsip yang cukup siginifikan terkait dengan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Dalam ensiklik Laudato SI’ sangat menekankan prinsip kehati-hatian agar tidak menimbulkan efek samping terhadap alam, beda halnya dengan Omnibus Law Cipta Kerja yang dengan gamblangnya mempermudah segala proses perizinan AMDAL. Dapat dilihat di Pasal 20 ayat (3), ketentuaan Pasal 40 UU PPLH, Peruibahan Pasal 88, Penghapusan Pasal 93 UU PPLH, dan beberapa pasal lainnya di paragraf 3 tentang Persetujuan Lingkungan.
Selain bertentangan dengan Ensiklik Laudato SI’, Omnibus Law Cipta Kerja ini bertentangan dengan Rerum Novarum. Rerum Novarum ini merupakan Enskllik yang dikeluarkan oleh Paus Leo ke-XIII yang mengkaji tentang situasi rakyat dan para buruh miskin.
Dalam Rerum Novarum ke-17 dikatakan, “..Dengan terus menerus mengingatkan kedua pihak akan tugas-tugas mereka satu terhadap yang lain, dan khususnya akan kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan keadilan, ajaran agama, yang penafsir dan penjaganya ialah Gereja, memang sungguh mampu mempertemukan para pemilik upaya-upaya produksi yang kaya dengan orang-orang tak punya. Termaksud kewajiban-kewajiban yang berdasrkan keadilan mengikat buruh tanpa milik: Memenuhi dengan setia dan sepenuhnya kontrak kerja mana pun yang dibuatnya secara bebas dan wajar; Tidak menimbulkan kerusakan pada harta milik;
Kepentingannya dan usaha-usaha menimbulkan kericuhan dalam masyarakat;
Menghindari pergaulan dengan orang-orang berprinsip jahat, yang menggunakan janji-janji licik tentanng hasil usaha besar, untuk menimbulkan harapan-harapan yang berlebihan, kekecewaan yang sia-sia belaka, dan kerugian yang besar
Pun, dalam Rerum Novarum 33, “Tugas utama para penguasa ialah mengerahkan seluruh sistem perundangan dan lembaga-lembaga untuk memberi bantuan pada umumnya maupun kepada golongan–golongan khas. Termasuk kepemimpinan negara mengusahakan, agar struktur maupun fungsi administratif negara meningkatkan kesejahteraan umum maupun perorangan. Mewujudkan itu merupakan peranan khas para penguasa. Kesejahteraan negara paling didukung bila ada tata-susila yang sehat, kehidupan keluarga yang tertib, penghargaan terhadap agama dan keadilan, sistem perpajakan yang adil, perkembangan industri danperniagaan, pertanian yang subur, dan aturan-aturan serupa, yang menurut mufakat umum akan mendukung bertambahnya kesejahteraan dan kebahagiaan para warga masyarakat. Melalui upayaupaya itu para penguasa dapat menguntungkan golongan-golongan lain, dansekaligus banyak sekali menolong mereka yang tak empunya. Sepenuhnya termasuk kewenangan mereka bertindak demikian, dan karena berdasarkan jabatannya negara harus mengusahakan kesejahteraan umum, merkea jangan dipersalahkan terlampau banyak bercampurtangan. Semakin melimpah peluang-peluang yang muncul dari pemeritah itu, makin berkuranglah kebutuhan untuk mencoba upaya-upaya lain guna membantu kaum buruh.”
Terlihat jelas perbedaan antara Rerum Novarum dengan Omnibus Law Cipta Kerja, dimana seharusnya kehadiran pemerintah harusnya mampu memberikan garansi untuk kesejahteraan hidup bukan justru mengebiri hak-hak buruh dan menguntungkan segelintir orang saja. Berkaca dari kedua ajaran sosial gereja diatas, terlihat jelas perbedaan nilai dan prinsip antara Omnibus Law Cipta Kerja.
Berdasarkan hal tersebut diatas, Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PP PMKRI), menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Menolak Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja
2. Meminta kepada Presiden untuk menolak UU Cipta Kerja ini, dengan menerbitkan PERPPU pembatalan Omnibus Law Cipta Kerja
3. Meminta kepada seluruh cabang-cabang PMKRI Se-Indonesia untuk tetap melakukan aksi penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja ini secara damai, bermartabat, dan menjunjung tinggi nama baik Perhimpunan.
4. Apabila poin-poin diatas belum terpenuhi, maka PP PMKRI akan mengajukan Juducial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi baik untuk uji formil maupun uji materiil.
Demikianlah pernyataan sikap ini kami perbuat agar kiranya bisa menjadi referensi sekaligus semangat rekan-rekan sekalian agar tetap berada dalam jalur perjuangan. Hidup Mahasiswa!!! Hidup Rakyat Indonesia!! Pro Ecclesia Et Patria!!!
NB: Kajian ini berdasarkan Naskah yang diterima pada 05 Oktober 2020, dengan 905 Halaman.
Download Naskah Full PERNYATAAN SIKAP PP PMKRI TERKAIT PENGESAHAN UU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA di sini.
KOMENTAR