Sudah banyak literatur yang sudah
ditulis mengenai bagaimana cara hidup agar mencapai kesuksesan. Lagi, banyak
orang-orang sukses yang ada di sekeliling kita, yang kiranya boleh kita tanyai
apa rahasia sukses mereka. Tidak ada buku yang menolak dibaca pun tidak ada
seorangpun orang yang sukses menolak ditanyai perihal kesuksesan mereka.
Dijamin 100%.
Maka, demi membaca alinea pertama
tulisan ini, mungkin saja pembaca sudah langsung tidak bergairah atau mungkin sebaliknya
kembali bergairah untuk terus membaca. Tapi, harapan penulis agar tetap
membaca, tidak ada salahnya.
Pernahkah kita bertanya dalam
hati kita, apa ukuran sukses? Tentu saja jika ditanyakan satu per satu akan
menjawab berbeda. Namun yang akan kita bahas kali ini bukanlah ukuran sukses
kita, untuk itu, mari kita tanya pada diri masing-masing. Yang mau penulis
bahas adalah bagaimana menjadi mahasiswa yang beruntung karna berbeda, sesuai
judul tulisan ini. Setelah menjadi Mahasiswa yang beruntung itu, selanjutnya
silahkan pembaca hubungkan sendiri dengan ukuran sukses masing-masing.
Terus terang, penulis belum bisa
dikategorikan sebagai orang yang sukses, tapi setidankya, penulis agak sedikit
berbeda dengan mahasiswa kebanyakan, setidaknya di kelas ketika masih duduk di
bangku kuliah. Satu hal yang pasti dan yang tidak bisa penulis lupakan adalah
ketika menjadi ketua panitia pelaksana (Organizing
Committee) Konferensi Studi Nasional (KSN) Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia (PMKRI) dan menghadirkan Wakil Ketua MPR RI Bapak Ahmad
Farhan Hamid. Tidak terlalu istimewa, tapi pengalaman itu jarang didapatkan
oleh mahasiswa kebanyakan, bukan?
Daripada menceritakan diri
sendiri, sebenarnya, bagaimana agar menjadi mahasiswa yang beruntung itu? Pada
dasarnya, menjadi mahasiwa saja sudah bisa dibilang beruntung, karena ada
banyak masyarakat Indonesia karena ketidakmampuan mereka, tidak bisa mengecap
pendidikan di Perguruan Tinggi. Lantas mengapa kita tidak menggunakan waktu
(baca: kesempatan) itu untuk mengisi diri sebanyak-banyaknya, semampu-mampunya
dan sebaik-baiknya untuk, setidaknya-tidaknya diri kita sendiri? Karena adalah
sebaiknya kita harus mengisi diri dulu agar terisi hingga bisa mengisi diri
orang lain, kita memberi hanya karena kita memiliki, tidak ada yang bisa
memberi kalau padanya tidak ada sesuatu yang mau diberi.
Sesuai Tri Dharma Perguruan
Tinggi, tugas seorang mahasiswa adalah belajar, menimba ilmu
sebanyak-banyaknya, mengembangkannya, kemudian mengabdikannya kepada
masyarakat. Bagi yang sudah menjadi mahasiswa sudahkah ketiga ini dilakukan?
Kalau sudah dilakukan, bagus, memang sudah layak dan sepantasnya. Kemudian,
pertanyaannya adalah sudahkah cukup? Selain intelektualitas (yang kita dapat di
bangku kuliah) yang mumpuni, spiritulaitas (kita dapat di rumah dan atau di
rumah ibadat) juga harus dibarengi, tapi belumlah cukup. Apa yang kurang adalah
kepemimpinan salah satunya. Lantas dari manakah semua itu kita dapatkan?
Jawabannya adalah berorganisasi.
Berorganisasi. Dari berbagai
pengalaman yang penulis sering dengar dari mahasiswa adalah tidak sedikit dosen
membuat pernyataan yang kurang tepat. Mereka mengatakan bahwa ikut organisasi
akan memperlambat waktu wisuda karena bisa mengganggu waktu belajar, tidak
konsentrasi di kelas karena terganggu kegiatan yang padat di organisasi, sibuk
ikut (mempersiapkan) demonstrasi. Belum lagi masuk ke organisasi yang tidak
jelas visi dan misinya. Sialnya, banyak pula mahasiswa yang terkecoh dengan
pernyataan dangkal itu.
Mulai sekarang bangunlah dari
tidurmu wahai generasi bangsa. Masukilah organisasi, telusuri, pelajari visi
misinya, cocok lanjutkan, kalau tidak tinggalkan, jangan belum dicoba sudah
bilang tidak baik. Untuk tahu bahwa organisasi yang kita masuki jelas atau
tidak jelas (baca: Legal atau tidak legal) sudah gampang, tinggal pencet
tombol-tombol gadget-mu semua akan
terpampang dengan jelas, jangan dipakai hanya untuk ngegossip tidak jelas di sosial media yang entah sudah berapa kita
miliki.
Semakin sibuk (baca: banyak
agenda) dirimu, semakin pandailah kita mengatur waktu. Gunakan skala prioritas,
semua orang mempunyai filter
masing-masing, tidak perlu lagi diajari mana yang baik mana yang buruk.
Masalahnya kita kebanyakan lebih memilih mengerjakan hal-hal yang kita senangi (walau
tidak perlu) dari pada hal-hal yang perlu kita lakukan. Maka, tidak ada
sebenarnya alasan karna (kesibukan) berorganisasi maka kewajiban di bangku
kuliah jadi keteteran, jadi terlambat wisuda, akhirnya menjadi mahasiswa abadi,
bah, no way!
Ikut demonstrasi akan dicap
mahasiswa bebal, keras dan tidak punya aturan. Whatever, tidakkah kita akan menuntut jika ada kepunyaan kita
dirampas semena-mena? Kalau ada yang tidak menuntut justru merekalah yang tidak
punya (baca: tidak tahu) aturan, bodoh mau diperlakukan semena-mena. Tapi,
banyak juga mahasiswa yang ikut demonstrasi karna dibayar, nah, kalau kita
sudah tahu ada mahasiswa yang model begituan, jangan ikut, berjuanglah karna
memang hati nurani kita mengatakan kalau kita harus berjuang. Tidakkah kita
diajari untuk bisa berguna bagi nusa dan bangsa, memperjuangkan keadilan dan
menegakkan kebenaran? Tidakkah demonstrasi juga dilegalkan di negara kita ini?
Lantas, mengapa masih mau terpengaruh (baca: takut) hanya karna dicap bebal,
keras dan tidak punya aturan?
Setelah kita membahas hal-hal
buruk (yang sebenarnya tidak buruk) karna berorganisasi di muka, sekarang mari
kita lihat dampak positif berorganisasi. Ada beberapa (sebenarnya banyak)
manfaat berorganisasi yakni: Melatih Kepemimpinan, belajar mengatur waktu, memperluas jaringan,
mengasah kemampuan social, mempermudah memecahkan masalah dan memenejemen
konflik.
Berorganisasi tentunya akan ada
banyak hal yang harus diurusi, seperti acara-acara organisasi yang melibatkan
banyak orang, baik internal organisasi pun eksternal organisasi. Demi
mensukseskan acara itu, mau tidak mau, kita harus mengutarakan pendapat di
hadapan orang lain, menggerakkan dan mengarahkan teman-teman sesama panitia. Di
dunia kerja, kemampuan kepemimpinan ini sangat bermanfaat, tidak sedikit lowongan
pekerjaan yang memuat syarat kepemimpinan harus dimiliki si pencari kerja, atau
jika ingin mengambil beasiswa S-2, hampir semua donatur meminta kualifikasi
kepemimpinan di dalam syarat penerima beasiswa.
Masalah mengatur waktu, tadi
sudah dibahas di muka. Kesimpulannya, manjemen waktu mahasiswa yang sudah hidup
berorganisasi akan lebih mantap dari yang tidak berorganisasi.
Berorganisasi juga akan memaksa
kita bertemu dengan orang-orang yang belum kita kenal. Teman-teman seangkatan,
sejurusan, beda jurusan, senior, alumni, praktisi-praktisi di bidang-bidang
berbeda dan sebagainya. Mereka ini jangan dianggap enteng, dari mereka kita
bisa memperoleh informasi seluas-luasnya. Menurut beberapa kebiasaan di
berbagai perusahaan, rekomendasi kandidat dari yang sudah bekerja di perusahaan
tersebut biasanya prosesnya bisa lebih cepat, karena telah memiliki
gambaran dari karyawan dalam mengenai
kita sebagai calon karyawan baru, catat!, bukan nepotisme. Begitu juga jika
ingin melamar beasiswa, selalu dimintakan surat rekomendasi dari tokoh
masyarakat atau minimal dosen.
Orang yang berorganisasi umumnya
secara sosial juga lebih aktif dibanding mereka yang tidak. Interaksi dengan
berbagai tipe orang akan memperluas wawasan akan berbagai karakteristik orang.
Di dunia kerja akan memudahkan kinerja kerja kita karena sudah berpengalaman
berinteraksi dengan berbagai karaker orang.
Di manapun kita berada konflik
akan selalu ada. Namun karena kita sudah
terbiasa menghadapi konflik di organisasi, maka menghadapi konflik juga tidak
akan kaget lagi dan sudah langsung punya bayangan apa yang harus dilakukan.
Kalau kita sudah tahu hal-hal
positif ini, maka tidak ada lagi alasan ragu untuk masuk organisasi. Jadilah
mahasiswa yang berbeda, mahasiswa yang beruntung. Ingatlah, hasil tidak akan
pernah menghianati proses. Setialah pada proses!
Tomson Sabungan Silalahi
Note:
Tulisan ini diterbitkan pertama sekali di Harian
Metrosiantar pada tanggal 18 Maret 2016.
KOMENTAR