Sumber foto: www.dakwatuna.com |
“Suster Angelica …, Suster Angelica!”. Tergopoh-gopoh dengan mengangkat jubah panjangnnya supaya tidak terinjak dan jatuh tersungkur, Suster Rosa berlari menuju kamar sebelah sudut kiri atas, kamar terjauh dari urang tamu, ruang tamu yang khusus dibuat agar tamu bisa menunggu Suster yang ingin dijumpainya. Agar tidak bosan, Suster Kepala Komunitas ini meletakkan sebuah rak buku lengkap dengan bacaan rohani yang diharapkan bisa membuang rasa jenuh pengunjung karna menunggu Suster yang harus berganti pakaian dahulu. Bukan bersolek seperti gadis yang ditunggui sang pacar. Katanya mereka harus memakai jubah kalau mau bertemu dengan tamu yang kebetulan lewat.
Bosan menunggu orang yang hendak dijumpainya, Bram mulai berdiri. Mendekat ke rak buku. Sekedar membuang rasa bosan ia melihat-lihat gambar yang ada di dalam majalah yang kini ia pegang. Memang dari dulu ia kurang suka membaca, kecuali komik Doraemon. Kalau komik ini pasti dilahapnya sampai habis. Hampir semua edisi dia punya. Walau dia sudah terbilang terlalu tua untuk bacaan itu, tapi dia cuek saja, kadang dia membacanya juga, sepertinya ada kerinduan yang khas akan Doraemon. Sesaat dia meletakkan majalah yang ada di tangannya, siapa tahu di sini, di tempat yang katanya suci ini juga ada Doraemon, dicobanya melihat buku yang tertata rapi itu dengan teliti, seolah ia sangat berharap sekali.
“Mas Bram, di sini tidak disediakan komik Doraemon!” Seolah-olah Suster Angelica dapat membaca apa yang ada dipikiran Bram saat itu, sekarang mereka sudah berhadap-hadapan, setelah Bram berputar 180 derajat dari tempatnya.
“Kamu masih ingat komik kesukaanku, hmm…, ingatanmu tajam juga mengenai aku!” Bram mulai berbicara, sedikit sinis tapi Sr. Angelica seolah tahu apa maksud dari semua ucapannya itu.
“Silahkan duduk, mas!” Sambil mempersilahkan tamunya duduk, ia duduk dahulu, mungkin agar Bram, masnya itu mengikuti tindakannya, dan benar saja, Bram duduk di kursi yang digesernya persis di depan Sr. Angelica.
“Maaf mas, bukannya aku tidak suka, mas duduk tepat di depanku, tapi tolong hargai statusku sekarang, tak baik jika orang melihat kita duduk sedekat ini, berdua pula.” Sr. Angelica memegang selayar yang tergantung di kepalanya, seolah ingin mempertegas kepada Bram bahwa sekarang ia sudah menjadi biarawati. Seperti memohon, ia memejamkan matanya, layaknya orang yang sedang berdoa.
“Bukankah itu tandanya kau memang tidak suka lagi denganku?” Sambil mendekatkan matanya, Bram menghujam mata Sr. Angelica yang dulu dikenalnya gadis cantik yang bernama Yani seorang yang periang dan sangat ramah.
“Aku datang jauh-jauh dari Medan hanya untuk menjumpaimu di sini, itupun sebelumnya kau tidak pernah mengabari ak kalau kau ada di sini, aku mencarimu kemana-mana, kau pikir aku tidak capek?, lima tahun aku mencari keberadaanmu, kini aku rasanya menyesal sudah bertemu denganmu!”, dengan perasaan kesal, Bram menghempaskan badannya ke sandaran kursinya, sambil memegang keningnya yang mengerut, mulut terkatup sedikit bergetar, seolah-olah menahan sesuatu sambil berpikir. Sementara mata lawan bicaranya kini mengeluarkan air mata, ada perasaan menyesal dalam hantinya kini.
“Maaf mas, aku sengaja pergi jauh dari kehidupanmu, supaya aku dapat tenang menjalani hidupku di biara ini.” Air matanya terus berjatuhan.
“Dengan membiarkan orang yang mencintaimu, merasa kehilangan?, untung aku tidak gila karna kau, aku hampir gila Yan, kau tahu itu?” Bram kini menggenggam pundak Yani yang dulu menjadi kekasihnya.
“Maafkan aku mas, tapi kita tidak boleh bersama lagi!”
“Kenapa?”
“Karna aku sudah menjdi suster, kau tentu sudah tahu apa artinya, yak an?”
“Aku tahu, dan aku juga tahu, kau belum mengucapkan kaulmu kan?, kita masih bisa hidup bersama Yan”, kini Bram mengucapkannya dengan lembut sambil menggenggam tangan Yani.
“Sekarang namaku Suster Angelica, bukan Yani.”
“Aku tidak peduli namamu apa, yang kutahu kau adalah Yani kekasihku, walau jubah menyelubungimu.”
“Tidak mas, aku tidak kekasihmu lagi, aku sudah memutuskan untuk menjadi Biarawati, dan tidak akan menika, aku mohon pengertian darimu!”
“Keputusanmu sepihak, hingga saat ini kita masih berstatus pacaran, kau masih kekasihku, belum ada kata putus dari mulut sipapun dari kita berdua.”
“Baik, sekarang kita PUTUS.”
“Putus, Oh… begitukah?, segampang itu kau mengatakannya?, setelah lima tahun aku mencarimu hingga aku hampir gila?” Bram melepaskan genggamannya dari tangan Yani, seolah tidak ada lagi harapan untuknya.
“Maafkan aku mas, bukan kehendakku, tapi Tuhan menghendakiku untuk hidup hanya untuk melayani-Nya”
“Bukan, ini bukan kehendak Tuhan, Tuhan kau jadikan sebagai alasan dari semua ini. Yan, kau telah membuat aku menyia-nyiakan waktuku lima tahun hanya untuk mencarimu, kalau aku hanya mendapat jawaban ini darimu, sebenarnya kau masih mau denganku kan?” Di penghujung kalimatnya Bram melembutkan suaranya.
“Tidak mas, tekadku sudah bulat, walau ini bukan kehendak Tuhan tapi aku mau melayani-Nya dengan setulus hatiku, dan maafkan aku jika Mas merasa aku membuat waktu mas sia-sia selama lima tahun ini, hanya untuk mencari aku.”
“Jadi selama ini, kamu tidak ada sedikitpun rindu padaku?”
“Saya rindu, tapi tidak mengalahkan kerinduanku untuk melayani Tuhan.”
“Tuhan lagi, Tuhan lagi, itu hanya alasanmu kan?, sebenarnya apa masalahmu?, aku yakin kau punya masalah sebelumnya!”
“Tidak ada masalah, aku hanya ingin tinggal di sini, melayani Tuhan. Sudah terlalu sore bertamu, kami mau berdoa, aku mohon mas jangan tersinggung.”
“Kau mengusirku?”
“Mas yang mengatakannya, kalau mau mas bisa menunggu di sini sementara aku berdoa dulu.”
“Baiklah, aku akan pergi, besok aku datang lagi, lebih pagi. Biar waktumu banyak untukku.”
“Besok kami ada kegiatan, saya harap mas tidak usah datang lagi ke sini!”
“Kamu benar-benar tidak mau berjumpa denganku lagi?”
“Bukan itu maksudku.”
“Jadi apa?”
“Aku mau mas mengerti jalan hidupku sekarang, aku tidak Yani yang bebas seperti dulu lagi, bisa bertamu sesuka hati, mengabaikan tugas-tugasku sebagai biarawati, saya mau kita jadi teman saja. Jangan ada sedikitpun harapan mas untuk aku bisa kembali padamu, tekadku sudah bulat mas.”
“Aku masih belum mengerti.”
“Aku mohon pengertian dari mas!, tinggalkan aku sekarang!”
“Baiklah, kalau itu maumu.” Bram mengangkat badannya, Ayu segera mengikuti bangkit berdiri. Detik berikutnya Bram memeluk Yani, kontan saja Yani menolak, tapi apa daya tangan kekar Bram telah memeluknya dengan erat, dia hanya bisa pasrah dan menangis, walau dia mau teriak, tapi diurungkannya karna dia tidak mau seisi komunitas melihat mereka berpelukan, dia tahu kalau masnya ini sangat nekad, bisa saja ia ingin mempermalukannya dan sengaja mempertontonkan bahwa mereka pernah pacaran.
“Lepaskan mas, kau tidak mahu aku teriak kan?”
“Silahkan saja, kalau kau mau teriak, paling juga kau dikeluarkan dari sini.” Seolah Bram tahu kalau itu yang ditakutkan Yani.
“Kumohon, lepaskan aku, kalau kau benar-benar mencintaiku, tentu kau mau aku bahagia kan?, aku bahagia di sini mas, tolong lepaskan aku.” Mungkin kata-kata klasik ini bisa mengubah pikiran Bram batinnya. Bram hanya diam, kemudian mengangkat kepala Yani yang tertunduk, mulutnya mendekat ke bawah, dengan lembut dikecupnya bibir mungil yang dulu pernah menghiasi malam-malamnya.
“Kumohon kau tidak keberatan dengan ini, anggap saja sebagai tanda perpisahan, dulu waktu kita jadian pun seperti ini kan?, kurasa tidak ada salahnya kita sudahi dengan hal yang sama, iya kan?”
“…” Yani hanya diam saja, bayang-bayang enam tahun lalu kembali mengepul dari otaknya, dia tidak tahu mau bilang apa, semuanya terasa begitu cepat hingga ia kecolongan begitu, ingin meronta lagi-lagi nalurinya berkata, kalau semakin dilawan Bram akan semakin menjadi-jadi, keputusan diberikan sepenuhnya kepada Bram, toh dia sudah mau menerima keadaanku, pikirnya, satu kecupan tak mengapa, asal dia mau pergi dari kehidupannya.
Bram melepaskan pelukannya, melangkah menuju pintu dan hilang di balik pintu kayu jati yang khusus ditempa kepada ahli pahat, dengan ukiran yang cukupn megah. Yani masih tertegun dengan kejadian yang begitu cepat itu, sebentar dia menyadari apa yang telah dilakukan Bram kepadanya, buru-buru dia menghapus bibirnya, seolah ada bekas di sana, dan ia mau menghapusnya agar tak ada seorangpun yang tahu. Dengan gontai dan takut ia berjalan menuju kapel di lantai dua, di mana para suster yang lain telah mendahuluinya. Sampai di pintu kapel pun ia masih cemas, jangan-jangan tadi ada yang melihat dia dengan Bram. Beberapa detik kemudian, dia hanyut dalam doa. Banyak yang dia minta kali ini, kalau hari-hari sebelumnya dia mendoakan orang lain, hari ini beda, dia berdoa untuk dirinya sendiri dan mas Bram-nya yang dulu mengisi hari-harinya.
Hari berlalu, bulan berganti, tahun susul menyusul telah dia lalui tanpa gangguan Bram, mungkin Bram telah kapok dibuatnya, tapi tidak begini caranya, dengan tidak memberi kabar, Bram lenyap begitu saja. Sebenarnya di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, dia menginginkan kedatangan Bram, sekedar melepas kangen, atau setidaknya dia tidak putus komunikasi dengan Bram yang akan dianggapnya sebagai teman itu. Perasaan bersalah, pelan-pelan merasuki dirinya. Tapi itulah Yani, dia tidak pernah berusaha mencari Bram lagi, dia hanya bisa menunggu kedatangan Bram ke komunitasnya.
Tiba-tiba Yani begitu merindukan Bram, sampai ada niat untuk meninggalkan biara yang ia cintai ini, pergolakan demi pergolakan dilaluinya dengan ketegangan yang tak berarti, selama ia tidak mengambil tindakan ia akan tetap seperti ini, gundah, gamang, galau, dilemma, seperti buah simalakama, tapi ia harus mengorbankan salah satunya, tidak boleh mengambil sekaligus dua, itulah pilihan walau berat tapi mesti dipilih kalau tidak mahu dibilang serakah.
Doa-doanya selalu didaraskan penuh khidmat, lama kelamaan kerinduannya kepada Bram membuat ia menjadi semakin rindu akan panggilan hidupnya yang sekarang, biarawati. Itulah Yani yang awalnnya gundah kini semakin yakin dengan pilihannya.
Oleh: Tomson Sabungan Silalahi
Catatan: Cerita ini sudah pernah dipublikasikan di kompasiana.com dengan sedikit perbaikan pada ejaan dan tata bahasanya. Juga judulnya diubah agar lebih menarik.
KOMENTAR