Koruptor perlu harakiri!

Foto diambil dari: https://static1.squarespace.com 

Oleh: Rinto Namang

Penulis adalah Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara dan Aktivis PMKRI

Di Jepang, pejabat publik yang ketahuan melakukan pelanggaran, entah itu korupsi, asusila, dan lain-lain, tak segan-segan mengundurkan diri.

Jangankan terbukti, baru terindikasi saja, mereka langsung menanggalkan jabatan yang sedang diemban. Lebih ekstrim lagi, ada yang bahkan bunuh diri (harakiri).

Bagi mereka pelanggaran, baik yang disengaja ataupun tidak, adalah aib. Dan, ganjaran setimpal bagi tindakan yang melahirkan aib adalah kematian yang terhormat atau mengundurkan diri.

Mereka sadar dengan melakukan harakiri atau mengundurkan diri, mereka tak pantas disebut sebagai seorang pejabat publik karena pejabat publik atau pemimpin adalah guru keteladanan bagi orang yang dipimpin. Apa yang bisa diharapkan ketika mereka tak mampu memberikan keteladanan atau justru mencederai keteladanan itu? Itu seperti garam yang kehilangan daya keasinannya, hambar, dan tiada berguna.

Di Indonesia, beda cerita, beda tradisi, beda pula cara mengatasi aib. Jika di orang Jepang akan melakukan harakiri ketika bersalah, maka para pejabat di Indonesia, cenderung mencari kambing hitam atas aib yang dilakukan.

Orang Indonesia yang terindikasi bahkan sudah dibuktikan bersalah dengan mudahnya mengatakan bahwa dirinya dizalimi, korban, dan seterusnya.

Termasuk yang kedapatan dalam operasi tangkap tangan oleh KPK berkelit dengan menyebut dirinya dizalimi.

Ada pula rekan sejawat si koruptor yang membela mitra kerjanya dengan mengatakan kinerja Komisi Antirasuah sebagai tindakan yang memalukan bangsa dan negara. Makin lucu aja kelakuan para pejabat kita itu.

Alih-alih mengundurkan diri, mereka sibuk membela diri, mencari-cari kelemahan KPK, merasionalisasikan kejahatannya, seakan-akan dia tidak bersalah. Konyol!

Inilah beda sangat kontras antara mentalitas pejabat publik kita dengan pejabat di Jepang.

Di Jepang yang jadi pejabat publik adalah mereka yang punya kemampuan. Ketika bersalah mereka tak segan-segan mengakuinya. Di sini, tak banyak yang layak mengemban tanggung jawab publik. Ketika salah, semua ramai-ramai mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.

Revolusi mental, selain memboboti rakyat dengan doktrin Pancasila, harusnya juga menyadarkan para pejabat publik dengan sikap tau diri dan tau malu.

Orang kalau sudah kehilangan (ke)malu(an) biasanya susah membedakan mana yang salah mana yang benar. Kalau sudah tak tau malu akhirnya lupa diri dan tak tau diri lagi alias gila. Ini bahaya. Jangan sampai kita dipimpin dan diwakili oleh orang gila yang menyangka aib adalah kehormatan yang dipertahankan sampai mati.

Di Indonesia, yang membuat malu seluruh rakyat bukan tentang Timnas kita kalah melawan Malaysia dalam ASEAN GAMES, tetapi karena perilaku korup para pejabat publik yang putus urat malunya.

Sambil berharap, saya berdoa, agar suatu saat nanti ada pejabat publik kita yang melakukan harakiri ketika melakukan korupsi atau tindakan asusila lainnya. Itu artinya mereka waras.