Dok. Pribadi |
Oleh: Andy Tandang
Pengurus Pusat PMKRI, Mahasiswa Pasca Sarjana UI
Indonesia hari-hari ini tengah mengalami defisit akal sehat. Ruang publik kita diisi gerombolan massa dengan nalar yang mengambang. Diskursus yang menjadi spirit demokrasi dibredel. Gedung tempat mengolah rasionalitas warga digempur. Sesama warga negara unjuk kekuatan untuk saling menumpas.
Di belakang layar, aroma konspiratif oligarki semakin tercium. Perang opini menebar di dunia maya. Standar etik dialektika digeser. Spirit moral etis, yang sebetulnya membungkus kehidupan politik, dijepit konspirasi pragmatis. Rahim politik cendrung memperoduksi embrio elit bermental pecundang, berhati penjarah dan berjiwa penjilat.
Politik Adu Domba
Di abad ke-17 Indonesia pernah mengalami trauma historis. Ketika itu, rezim imperial Belanda memainkan strategi politik adu domba yang akrab dikenal devide et impera. Intensi kolonial hanya satu, mengotak-atik persatuan bangsa. Mereka menukar tambahkan soliditas kebangsaan dengan pembusukan yang dimainkan secara massif.
Devide et Impera selalu menjelmakan dirinya dalam tiga dimensi; politik, ekonomi dan militer. Kelompok-kelompok besar yang dianggap memiliki pengaruh dan kekuatan dibenturkan. Targetnya jelas, kekuatan tersebut terpecah belah menjadi kelompok-kelompok kecil tak berdaya. Dengan demikian, kelompok-kelompok kecil tersebut akan dengan mudah dilumpuhkan dan dikuasai.
Dalam konteks strategi, mereka sangat lihai. Mereka menciptakan sebuah situasi perpecahan di dalam masyarakat dengan dalil, mencegah terbentuknya aliansi dengan kekuatan dan pengaruh yang besar. Tokoh baru yang sering dicap sebagai ‘tokoh boneka’ dimunculkan. Tugas mereka adalah membangun kompetisi dan saling melemahkan.
Di level masyarakat akar rumput, devide et impera menjebol nalar publik yang menyebabkan hilangnya rasa saling percaya sesama warga negara. Embrio permusuhan disebarkan, masyarakat hidup dalam taman sari kebencian. Devide et impera, juga bermain dalam aras konsumerisme. Logika yang dibangun adalah, konsumerisme memicu timbulnya KKN (Korupsi, kolusi dan nepotisme).
Di Belanda, politik devide et impera sudah lama tak digunakan lagi. Kebebasan demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan menjadi spirit berbangsa dan bernegara. Belanda paham betul, mengihdupi semangat adu domba akan menyeret sebuah bengsa ke dalam perpecahan. Namun, di Indonesia, warisan kolonial itu rupanya masih terus membekas.
Di Indonesia saat ini, kita sulit menemukan harmoni di tubuh eksekutif dan legislatif. Parpol, yang sejatinya menjadi corong etis demokrasi, lebih gemar menetaskan benih permusuhan. Kerja sama dengan saling memperkuat dan melengkapi hanya narasi bualan untuk mengganggu logika publik.
Soliditas sesama anak bangsa dikikis kepentingan elit tertentu. Permusuhan secara sengaja disemai. Ia tumbuh subur di tanah air yang cinta damai. Agitasi dan propaganda menjadi senjata ampuh menebas kekuatan lawan. Fitnah menebar tanpa batas. Slogan saling ganyang menempel di sudut-sudut ruangan demokrasi kita. Ini bertanda buruk bagi negeri, bila tak segera disikapi.
Ancaman Disintegrasi
Disintegrasi sosial merupakan proses terpecahnya suatu kelompok sosial menjadi beberapa unit sosial yang terpisah satu sama lain. Peroses ini terjadi akibat hilangnya ikatan kolektif yang memersatukan setiap anggota kelompok. Pada situasi ini, keutuhan dan persatuan dijebol, spirit kolektivitas terbogkar menjadi pecahan-pecahan permusuhan.
Dalam studi kajian Ketahanan Nasional, topik tentang disintegrasi menjadi sorotan utama. Salah satu gatra prioritas yang dikaji adalah politik. Politik, demikian tulis Prof. Wan Usman dalam bukunya “Daya Tahan Bangsa”, telah menjadi sumber perpecahan sosial, setelah gatra ideologi. Menurut Wan Usman, hal tersebut disebabkan oleh ketidaksanggupan para pelaku politik untuk mengelolah persoalan publik dengan cara-cara dan akal yang sehat.
Dalam konteks politik, potensi ancaman disintegrasi sosial dibaca dalam kerangka permainan kepentingan yang melibatkan aktor-aktor politik. Rakyat diposisikan sebagai obyek permainan, yang akal sehatnya bisa diobok-obok. Inetesinya jelas, menggaet kekuasaan dengan menyodorkan keganasan kelompok atau mengelola nalar massa.
Para aktor politik ini, mendesain sebuah peristiwa politik untuk mengacaukan kesamaan persepsi dan pandangan pada aras masyarakat kelas bawah. Mereka tidak ingin membiarkan soliditas tercipta di antara masyarakat. Sama seperti yang diterapkan rezim imperial Belanda dulu, kekuatan dan persatuan yang mengakar akan dicabut dengan membenturkan sesama warga bangsa.
Disintegrasi sosial akan semakin menguat ketika skenario yang dimainkan para aktor berubah wujud menjadi konflik sosial. Massa mulai mengamuk. Bendera sektarianisme perlahan dikibarkan. Spirit kebangsaan yang telah dihidupi sejak lama mulai roboh. Warga bangsa kehilangan kendali. Perpecahan tak bisa ditahan lagi. Masing-masing kelompok dan komunitas menumpahkan kegeramannya terhadap sesama warga bangsa.
Kesenjangan komunikasi persuasif yang melibatkan akal sehat mulai melebar. Produksi wacana yang mengadu domba di ruang publik semakin tak tebendung. Para desainer politik yang selalu bermain di belakang layar, tidak pernah peduli akan situasi perpecahan itu. Sebab, perpecahan adalah target utama untuk membekukan kekuatan-kekuatan besar dengan daya pengaruh yang kuat. Itulah dalil para pengadu domba.
Michael Renan, seorang ahli ilmu sosial, pernah beranggapan bahwa masalah disintegrasi sosial memiliki kemungkinan kecil untuk bertumbuh. Namun, pandangan ini terbantahkan oleh meningkatnya konflik sosial sebagai bias persoalan politik yang terjadi sejak tahun 1980-an. Renan rupanya gagal memprediksi, bahwa di tahun 1993, dua tahun setelah perang dingin berakhir terdapat setidaknya dua puluh dua peperangan masih berlangsung di berbagai penjuru dunia.
Tidak menutup kemungkinan, situasi perpecahan sosial akan bertumbuh subur di Indonesia. Beberapa persoalan muthakir bisa menguatkan asumsi ini. Kita melihat gerombolan massa yang coba mengepung istana, dengan mengibarkan bendera agama. Kita juga melihat komunitas pembela agama, yang secara galak dan tendensius menobatkan kekafiran pada sesama warga yang berbeda spirit religious.
Atau kita menemukan, massa meneriakan ganyang PKI, tanpa mengetahui duduk persoalan. Di sana pula aparat keamanan kita gagap digertak massa. Semua kehilangan nyali untuk menahan derasnya arus gejolak yang sebetulnya sengaja dimainkan. Kita tentu tak ingin sesama warga bangsa harus menelan pil pahit perpecahan. Karena itu, negara tak boleh diam di tengah kekacauan ini. Ia harus tampil ‘garang’ yang mampu melumpuhkan kekuatan pengacam persatuan. Jika tidak, pengalaman traumatis masa lampau akan kembali terulang.
KOMENTAR