Dok. Pribadi |
Oleh: Beauty Dewi Sofranita
Penulis adalah Alumni Universitas Negeri Surabaya
Seorang perempuan yang telah lama kuakrabi, menggumam lirih sambil menghisap rokok yang baru saja ia nyalakan. Gumaman itu tak diselayangkannya pada udara, melainkan padaku yang sedang nikmat menggerayangi sepotong daging ayam –lauk sarapanku siang itu-.
“Gua gak akan bisa sama dia. Sampai kapanpun.“
Aku yang masih asyik mengunyah tulang-tulang ayam yang lunak nan gurih itu hanya bisa menyelorohkan satu kata, “kenapa?“
Dengan nanar mata yang jauh menerawang ke dalam gumpalan asap, perempuan itu menghela nafas sejenak dan kemudian menyatakan hal yang sontak membuatku kehilangan nafsu makan, “karena gua dan dia berasal dari “dunia“ yang berbeda. Dia dengan segala keberpunyaannya dan gua dengan segala kekurangan gua.“
Dan tadaaaa. Mendengar perkataan itu, mendadak tulang-tulang ayam yang sedang kugerogoti seakan merengkuh nyawanya kembali di tenggorokanku. Aku tersedak karena kaget dan spontan kehilangan nafsu makan.
Perempuan itu adalah karibku. Seorang sahabat yang telah lama kukenal dari jaman suka minum susu hingga jaman sering dibombardir tanya “kapan ke penghulu?“. Meski bersahabat, kami memiliki banyak perbedaan satu sama lain, termasuk sifat, hobi, dan juga jalan kehidupan yang dilalui. Namun begitu, justru dari perbedaan itulah, kami dapat saling berbagi dan melengkapi.
Dibesarkan dari lingkungan sosial yang lebih “keras“, ia tumbuh menjadi perempuan yang lebih kuat dan pemberani jika dibandingkan denganku. Nyaris sekujur tubuhnya terhiasi tato dan “hiasan“ itu memang ia kehendaki sendiri sebagai ekspresi kekagumannya pada seni. Lebih daripada itu, ia selalu menunjukkan rasa bangga terhadap tato-nya dengan gemar menjelaskan makna di balik setiap gambar yang (ia tentukan) diguratkan pada kulitnya. Meski tak sedikit orang mencibir keputusannya tersebut, sahabatku selalu pandai menutup telinga dan tetap santai menjalani hari seperti orang pada umumnya karena ia merasa tak merugikan siapapun. Karakternya yang seperti ini sempat membuatku diam-diam salut padanya dan tak akan ragu untuk menyematkan sebutan “perempuan otonom“ pada sosoknya itu.
Namun siang itu tanpa dinyana, tato itu tak lagi ia banggakan. Yang berulang kali dilontarkan justru penghakiman terhadap tato sekaligus pilihan-pilihan hidupnya di masa lalu, sebab ia menganggap bahwa hal-hal itulah yang berpotensi besar menjadi batu pengganjal terhadap rencana masa depannya bersama siapapun pilihan hatinya kelak.
Sungguh di luar dugaan, perempuan karibku yang dikenal sebagai gadis pemberani yang tak takut pada apapun itu, tiba-tiba saja terlihat loyo oleh suatu pemikiran yang tak sekalipun pernah kuprediksi bersarang di pikirannya. Ya, pemikiran tentang “ketidakpantasan“. Karakter tahan banting yang menjadi ciri khasnya, nyatanya tak sejalan dengan keberaniannya untuk mengidamkan hubungan yang lebih serius dengan kekasihnya saat ini atas alasan yang bagiku sangat menjengahkan, “karena kita berbeda“.
Bahkan ia juga mencoba meyakinkanku tentang keabsahan pernyataannya dengan membongkar kembali berbagai memori di hati dan ingatannya akan begitu berdosanya ia. Berbagai file tentang kekeliruannya di masa lalu seakan dipresentasikan kembali padaku sebagai bukti bahwa ia memang tak pantas mendapatkan pasangan sehidup-semati, kecuali untuk berpacaran dalam beberapa waktu ke depan.
Dengan gamblang ia berkata, “gua cewek dengan segudang kisah kelam dan simbol-simbol penyelewengan yang gak bisa gua hilangkan dari kulit gua ini.“ Masih dengan seruput rokok, ia melanjutkan, “kalau (kulit) gua masih gua yang dulu, pasti gua masih bisa diterima dengan mudah oleh keluarganya. Masalahnya, gua udah (berpenampilan) kayak gini. Jangankan orangtua laki gua yang sekarang, ortu mantan-mantan gua dulu juga mana mau punya menantu kayak gini.“ Kalimat terakhirnya yang terucap sebelum lidahku tersambar emosi tuk memotongnya adalah, “gua gak pantas bermimpi tinggi-tinggi. Gua jalani aja hidup gua yang sekarang, mengalir apa adanya.“
Mendengar kalimat demi kalimat itu, telinga dan hatiku rasanya panas sekali. Selain memang kita sama-sama perempuan dan ditakdirkan menjadi sepasang karib, aku merasa ucapan kepesimisannya itu alih-alih mewakili inferioritas kaum perempuan terhadap laki-laki di segala ranah berkehidupan, utamanya saat dikerucutkan dalam dogma-dogma seksualitas, yang terbungkus rapi dalam pembagian peran gender, dan (kadangkala) terlegitimasi oleh interpretasi literal terhadap teks-teks keagamaan (tertentu).
Sebagai seseorang yang pernah bersinggungan dengan materi feminisme, sependek yang kutahu, adalah rahasia umum jikalau klasifikasi gender yang “terakui“ di muka bumi (juga dalam ajaran agama-agama besar) hanya terpolarisasi menjadi dua macam gender. Dua gender tersebut masing-masing disimbolkan oleh dua jenis kelamin (sex), yaitu jenis kelamin lelaki untuk merepresentasikan gender “maskulin“ dan jenis kelamin perempuan untuk merepresentasikan gender “feminin“. Padahal tak setiap yang terlahir sebagai lelaki, mampu menerapkan nilai-nilai maskulinitas, begitu juga sebaliknya pada yang terlahir sebagai perempuan untuk senantiasa menerapkan nilai-nilai kefemininan.
Terlebih lagi, polarisasi ini belakangan memosisikan jenis kelamin lelaki dan jenis kelamin perempuan dalam struktur yang tidak setara, dimana lelaki dianggap lebih unggul (fisik, mental, dan rohani) dibanding perempuan. Bahkan, perempuan lebih sering diasosiasikan dengan dosa atau pendosa, sebab dalam ayat-ayat agama Abrahamik, perempuan yang disimbolkan oleh Hawa disinyalir sebagai penyebab diusirnya Adam dan Hawa dari surga (menggoda Adam untuk mengambilkan buah Khuldi). Firman ini kemudian ditafsirkan secara literal tanpa melalui tinjauan teologi yang mendalam, hingga menyuburkan pertumbuhan budaya patriarkisme (sistem budaya yang menempatkan lelaki sebagai kepala keluarga).
Namun apa itu sebenarnya maskulinitas dan femininitas? maskulinitas dan femininitas adalah seperangkat aturan yang mengikat sifat dan sikap manusia yang berjenis kelamin lelaki dan perempuan. Ironisnya, genderisasi ini adalah bentukan budaya semata, bukan merupakan proses alamiah melalui regenerasi gen. Dan berbicara mengenai perempuan, dalam sistem genderisasi ini, setiap orang yang berjenis kelamin perempuan diharuskan tunduk dan –sebisa mungkin- menginternalisasi syarat-syarat menjadi “feminin“ jika ingin teranggap sebagai perempuan sejati dan sesuai “kodrat“. Barulah kemudian ia “diijinkan“ untuk mendapatkan simpati dari masyarakat.
Dalam budaya patriarki yang kental di Indonesia, citra paripurna perempuan (femininitas) seringkali masih mensyaratkan poin-poin berikut ini: berjenis kelamin perempuan; bersifat dan berperilaku tunduk pada lelaki, lemah-lembut, penyayang, setia, dll; bernilai plus jika memiliki ciri-ciri fisik seperti tubuh yang semampai, berkulit putih-bersih, berambut panjang, senantiasa harum, dsb; serta yang tak kalah penting adalah berkeahlian melayani dengan baik dalam segala hal (memasak, membersihkan rumah, mencuci baju/piring, dan tentunya memuaskan birahi) sekaligus harus berkemampuan dan bersedia bereproduksi!
Syarat-syarat itulah yang melebur secara kasat mata dalam kehidupan sosial kita, yang bahkan diam-diam mampu mematrikan pengaruhnya tidak hanya pada perempuan yang memang penurut, namun juga pada perempuan karibku yang “nyentrik“ itu, meski dalam hal ini yang ia permasalahkan masih sebatas tato di tubuhnya. Hal ini membuatku tersadar, bahwa patriarkisme tak pernah pandang bulu dalam memasuki pikiran manusia selama kebudayaan yang melingkupi manusia tersebut memang didominasi oleh kebudayaan yang patriarkis, kebudayaan yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang subordinat.
Berontak aku berusaha menyodorkan padanya beragam tanya. Apakah dalam kelantangannya berujar “tak pantas“, ia sempat memikirkan (barangkali) lelakinya itu juga tak pantas menyandingnya? Jika seorang perempuan boleh jadi tak memenuhi seluruh kriteria sebagai perempuan sejati secara sempurna, bolehkah kita juga bertanya apakah laki-laki yang ia cintai itu juga telah memenuhi prasyarat sebagai pria sejati? Apakah dengan melihat bergerumulnya “kotoran“ pada diri sendiri, lantas kita tak diperbolehkan menerka-nerka berapa banyak juga “kotoran“ pasangan kita sepanjang torehan masa lalunya? Apakah sebagai perempuan, kita mau terus-menerus dipersalahkan sebagai pendosa, sedangkan lelaki selalu mudah disucikan kembali?
Ah, perempuan juga harus berani dalam berspekulasi. Jadikanlah otak layaknya rokok. Menakar konsekuensi secara seimbang, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Bukankah mandul dan impotensi itu sama saja (ngerinya)?
KOMENTAR