Sumber Foto: kompasiana.com |
Oleh: Tomson Sabungan Silalahi
Akhir-akhir ini hal mengenai radikalisme semakin sering
diperbincangkan. Mengapa tidak?, bom bunuh diri di Brussels-Belgia, lanjut bom
di Lahore-Pakistan dalam waktu yang berdekatan, dan kiranya masih segar
diingatan kita kejadian yang terjadi di Prancis yang menjadi kontroversial
karna banyak masyarakat dunia khusunya Indonesia yang simpatik hingga mengganti
latar foto profil mereka di akun facebook dengan bendera Negara Prancis. Belum
lagi usaha-usaha menyebarkan paham radikal di dunia pendidikan (kampus-kampus)
yang sedang hangat yang ditengarai sedang gencar-gencarnya dilaksanakan.
Fenomena bom bunuh diri ini, memang
tidak sangat wajar untuk dianggap biasa saja. Maka dihubungkanlah fenomena ini
ke paham radikal (radikalisme). Pada KBBI
Offline 1.5, dituliskan, radikalisme adalah “1
paham atau aliran yg radikal dalam politik; 2 paham atau aliran yang
menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis; 3 sikap ekstrem dalam aliran politik.”
Pengertian nomor 2 ini kiranya menjadi
benang merah dari radikalisme dan bom bunuh diri yang sering kita bicarakan
itu. Menjadi takut tidaklah solusi bagi
permasalahan ini, yang perlu kita ketahui pertama-tama adalah; Apa yang
melatarbelakangi terbentuknya radikalisme? Bagaimana kita harus menyikapi hal
ini?
Merujuk dari pengertian nomor 2 itu,
tentu fenomena massive-nya pergerakan
paham ini dapat disimpulkan (sementara) bahwa situasi sosial dan politik
sekarang ini tidak disukai oleh aktor-aktor radikalisme yang boleh kita
saksikan itu, baik yang berada di balik kejadian atau pelaku sendiri. Apa motif dari pelaku sampai
mau mengorbankan diri sekaligus mengorbankan banyak orang yang tidak bersalah
karena tindakannya itu selanjutanya akan dibahas, satu yang pasti paham itu
sudah merasuk sampai ke kesadaran yang paling dalam dari dirinya.
Keadaan sosial dan politik yang
bagaimana sampai-sampai kejadian ini harus terjadi? Mengapa sekarang harus
terjadi? Yang pasti kehidupan sosial dan politik sekarang ini tidak stabil, ada
ketidak adilan, dari segi ekonomi tidak merata, kesenjangan terlihat di
mana-mana setidaknya menurut mereka, syukur-syukur kita juga melihat
kesenjangan itu. Kalau hal ini terus ditelusuri, tentu peran negara (baca:
pemerintah) untuk mensejahterahkan seluruh rakyatnya belum tercapai bahkan bisa
saja sengaja atau (paling tidak mungkin) tidak sengaja membangun keadaan itu
(simpulkan saja: pemerintah abai). Keluar dari perikop negara kita dan masuk ke
tingkat dunia, pemerintah-pemerintah negara di dunia belum bisa mewujudkan
cita-cita bonum commune - kesejahteraan
bersama seperti yang juga tertuang dalam Teks Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan
itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan….”,
justeru ada negara yang kaya sekali dan ada negara yang sangat miskin. Negara
kaya menjajah (berusaha menguasai semua sumber daya yang ada) negara miskin. Atau,
hal yang paling menyedihkan, negara (baca: pemerintah sebagai pemangku
kebijakan) menjajah rakyatnya sendiri. Dan akhirnya penulis membaca tulisan di
harian Kompas tertanggal 3 April 2016 di kolom Internasional yang mampu
meyakinkan penulis. Ditulis bahwa sebagian besar teroris yang terlibat serangan
Paris dan Brussels berasal dari satu kawasan di Belgia, yaitu Molenbeek yang
dikenal sebagai daerah miskin, rawan kriminalitas dan perdagangan narkoba. Kenyataan
inilah yang kiranya ingin (dicoba) dilawan oleh penganut paham radikal ini. Kalaulah
hal ini yang sedang benar-benar terjadi yang dilakukan mereka, niatnya memang
sangat baik, tapi yang salah adalah caranya, sekali lagi, cara-nya. Niat yang
baik jika dibarengi dengan cara yang salah akan sia-sia bahkan menegasikan niat
baik itu sendiri.
Penulis (ketika menulis artikel ini),
secara kebetulan membaca jurnal yang ditulis oleh Felix Lengkong yang berjudul Dari Manakah Asal-Usul Moralitas? Apa
yang menjadi dasar penulis menghubungakan tulisan ini dengan isi jurnal
tersebut adalah, karna katanya,
moralitas adalah kumpulan prinsip dasar tentang baik dan buruk, benar atau
salah, yang berawal dari kepekaan (baca: hati nurani). Di sinilah, cara yang
salah yang dilakukan penganut radikalisme itu mempunyai benang merah yang
menjadi penghubung pada moralitas, yang semua orang pasti mempunyai. Pemahaman
tentang yang baik dan buruk, benar atau salah yang belum tuntas dari penganut
paham ini.
Semua agama melarang (menganggap salah)
bunuh diri, melarang membunuh sesama, apalagi bunuh diri sekaligus membunuh
sesama seperti kasus bom bunuh diri yang di awal tulisan ini sudah kita
bahas. Yesus (dalam Agama Islam dikenal
sebagai Nabi Isa), dalam Injil dituliskan “Barangsiapa menampar pipimu yang
satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang
mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu.” (bdk. Lukas 6:29),
artinya, kejahatan jangan dibalas dengan kejahatan (yang oleh banyak orang, apa
yang sudah dilakukan penganut radikalisme dalam kasus ini adalah bom bunuh
diri). Singkatnya, mengakhiri hidup sendiri dan orang lain bukanlah solusi yang
tepat untuk mengubah tatanan sosial dan politik yang sedang ada.
Selanjutnya kata Yesus, “Mengapa kamu
berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku
katakana? Setiap orang yang datang kepada-Ku dan mendengarkan perkataan-Ku
serta melakukannya – Aku akan menyatakan kepadamu dengan siapa ia dapat
disamakan - ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah: Orang itu menggali
dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan
banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan, karena rumah itu
kokoh dibangun. Akan tetapi barangsiapa mendengar perkataan-Ku tetapi tidak
melakukannya, ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah di atas tanah tanpa
dasar. Ketika banjir melandanya, rumah itu segera rubuh dan hebatlah
kerusakannya.” (bdk. Lukas 6:46-49). Semua
agama memiliki pedoman masing-masing, semua perintah-perintah (baca: pedoman)
sudah dituangkan ke dalam kitab-kitab, pun semua negara mempunyai konstitusinya
masing-masing, yang semua berbicara tentang bonum
commune, semua orang bisa membaca, pedoman tentang yang baik (yang harus
dilakukan) dan yang buruk (yang harusnya tidak dilakukan) sudah ada,
kesimpulannya kita sudah tahu itu. Namun, seperti kata Yesus, manusia
(pemerintah dan penganut paham radikal) tidak menjalankan pedoman itu. Keadaan
sosial dan politik dunia sekarang ini sama seperti orang yang mendirikan rumah
di atas tanah tanpa dasar, ketika banjir melanda rumah itu akan rubuh dan
kerusakannya hebat.
Lantas, bagaimana kita menyikapi
radikalisme (dampak dari keadaan sosial dan politik yang tidak stabil) ini? Kita
bisa memulai dari pendidikan (keluarga) di rumah. Bagaimana fondasi (kehidupan)
yang kuat dibangun dalam keluarga. Orang
tua menjelaskan (menasehati) anak-anaknya tentang apa yang baik dan buruk, benar
atau salah, sedini mungkin, dan tentu harus memberikan teladan, agar jika ada
keadaan yang sangat sulit sekalipun (dari dampak politik yang tidak beres)
anak-anak itu bisa survive tanpa
melakukan cara-cara yang radikal. Ajarkan (perkenalkan) juga kepada anak, apa
yang disyairkan Sufi kelahiran Afganistan, Jalaludin Rumi (1207-1273) ini,
“Esensi agama itu cinta. Anak kandung agama adalah cinta. Sungguh mengherankan
jika ada sekelompok orang, dengan mengatasnamakan agama, berperang dan membunuh
orang yang berbeda keyakinan. Hiruplah hanya cinta.”
Tentu, peran pemerintah (eksekutif,
legislatif dan yudikatif pada konteks Indonesia) sebagai pemangku kebijakan
(yang mengatur politik suatu negara) juga perlu diperhatikan, harus melakukan
fungsinya dengan baik. Sebab hukum sebab akibat akan selalu terjadi.
Dampak-dampak dari kebijakan yang salah atau salah menjalankan kebijakan pasti
akan selalu buruk. Dengan banyaknya (berbeda-bedanya) persepsi (setiap) manusia,
kita tidak bisa secara pasti tahu apa yang akan terjadi, tapi dari pengalaman
empirik kita (manusia) bisa melakukan tindakan-tindakan preventive. Agar terbangunlah rumah yang kokoh seperti yang
dibangun di atas batu, yang jika hujan badaipun menerjang tidak akan roboh.
Catatan:
1. Tulisan ini ditulis pada Jakarta, 3 April 2016.
2. Dipublikasikan atas refleksi dari proses KSN PMKRI 2017 di Makassar yang mengangkat tema "Radikalisme dan Kesenjangan Sosial dalam Dimensi Pembangunan Nasional".
KOMENTAR