Oleh: Okto N. T.*
Berbicara mengenai negara Indonesia
yang memiliki jumlah kabupaten 415, kabupaten administrasi (1), kota sebanyak
93 dan kota administrasi berjumlah 5 dalam 34 Provinsi sedangkan terdapat pulau
sebanyak 17.504 dalam wilayah kedaulatan NKRI menurut Deputi Kedaulatan Maritim
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, dimana 16.056 pulau telah dibakukan
namanya di PBB hingga Juli 2017. Selain
itu negara Indonsia dikenal dengan negara maritim juga memiliki potensi-potensi
Sumber Daya Alam yang dimiliki setiap daerah beragam-ragam, namun potensi
hanyalah potensi kalau
tidak dikelola secara baik dan benar. Kondisi nyata pada saat pasca perencanaan menemui
beberapa kendala serius akibat kurang memadai konsep perencanaan pengelolaan di barengi sumber daya
manusia yang belum siap serta perilaku birokrasi yang kurang menunjukan
semangat pelayanan dan pengabdian kepada rakyat. Beberapa problem ini
akan menghambat perkembangan suatu kota,
lebih dari itu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera adil dan makmur
yang kini hanya menjadi slogan para politisi-politisi yang hendak menduduki
kursi pemangku kepentingan.
Sebelum beranjak lebih jauh, penulis
mengajak pembaca untuk memahami pengertian kota menurut KBBI, kota adalah
daerah permukiman yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan
tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat; daerah pemusatan penduduk
dengan kepadatan tinggi serta fasilitas modern dan sebagian besar penduduknya
bekerja di luar
pertanian. Kota menurut UU Penataan Ruang
No.
26 tahun 2007, kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan
distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Dengan
pengertian ini semoga pembaca bisa memahami arah perkembangan kota di
Indonesia.
Problem yang dihadapi kota-kota
Indonesia saat ini bermacam-macam di
antaranya
masalah pembangunan dan perencanaan kota. Memang beberapa tahun
terakhir ada pakar yang menyebut beberapa kota mulai ditata dengan baik, salah
satunya adalah kota Solo yang akhir-akhir ini hidup dan berkembang pesat dan
telah dikenal luas serta mendapat pengakuan internasional. Kota ini melakukan
program dalam bidang pembangunan perumahan, permukiman dan penataan kota lebih
awal dibanding dengan apa yang dicanangkan The
United Nations Human Settlement programme (UN Habitat), hal ini tercetus di sela-sela Senior Officials meeting (SOM) pada Asia pasific Munisterial Conference On
housing and urban development (APMCHUD) di Solo 21-23 Juni 2010 yang dihadiri
oleh utusan dari berbagai negara di bidang permukiman (Paulus Hariyono, 2010). Dalam bukunya, beliau menjelaskan
bahwa kota-kota yang ideal berhasil minimal dapat membebaskan diri dari
persoalan pembangunan fisik, sosial dan ekonomi. Secara fisik, kota dapat
dilihat dengan indra manusia, seperti : (1) indra penglihatan, yang mampu
menikmati isi kota secara estetis dan nyaman dipandang (tidak terlihat
lingkungan kumuh, lalu lintas
yang semrawut/tidak teratur, tempat kebanjiran, penataan PKL yang kurang
tertata, dan pengemis yang berkeliaran); (2) indra pendengaran, melalui indra
ini tidak ada kebisingan kota; (3) melalui indra penciuman, tidak ada bau-bau
yang tidak sedap; (4) melalui indra peraba (kulit), suhu udara yang terasa
nyaman; (5)
melalui indra pencecap, orang tidak kelaparan bahkan mampu betah tinggal di suatu kota karena ciri
khas masakannya yang lezat dan murah.Secara sosial ekonomi, masyarakat kota
memiliki pendapatan yang cukup dan tempat tingggal yang nyaman dihuni secara
humanis.
Tampaknya imajinasi
di atas sangat mudah tetapi pada
kenyataannya tidak semudah mengimajinasikannya. Realitas kota-kota di Indonesia
pada umunya berkembang seperti tak terkendali dan tidak jelas wajahnya, yang
terjadi masyarakat hanya bisa mengagumi kondisi kota-kota di luar negeri, khususnya
kota-kota yang maju di negara yang maju seperti China, Singapura, dan Kuala
Lumpur. Dibutuhkan imajinasi tinggi untuk membangun kota menjadi kota yang maju
karena pada implikasinya biasanya mengalami penurunan dari target yang ditetapkan.
Pembangunan kota perlu melihat kemajuan
pembangunan kota-kota di negara maju lalu menyesuaikan dengan karakteristik
setiap kota yang berkembang di seluruh Indonesia. Karena konsep kota di negara
maju belum tentu dapat diterapkan di Indonesia, sehingga tolak ukur pembangunan
kota mengikuti tolak ukur yang digunakan dinegara maju. Seperti Kata Sun Tzu ‘strategi
perang’, “untuk memenangkan perang orang
harus mampu mengenal diri sendiri dan lawan”. Tidak asal maju melainkan penuh
dengan pertimbangan. ‘Diri sendiri artinya
mengetahui kelemahan dan kelebihan kota di daerah sendiri’ kemudian ‘lawan atau
pesaing’, kita dapat memahami potensi dan kendalanya.
Berbicara mengenai pembangunan kota,
tidak lepas dari tujuan pembangunan yakni meningkatkan pertumbuhan ekonomi
tinggi, pemerataan hasil pembangunan dan campuran pertumbuhan ekonomi tinggi
dan pemerataan hasil pembangunan (Paulus Hariyono, 2010). Pertumbuhan
ekonomi tinggi memiliki indikator pada kapital dan ‘konsumsi massal’ yang
tinggi. Orang kadang-kadang
mempertanyakan,
apakah konsep masyarakat ‘konsumsi
tinggi’ sungguh-sungguh merupakan tujuan pembangunan? Mengapa perubahan itu
harus terjadi? Tolak ukur konsumsi
massal yang tinggi adalah pendapatan nasional atau pendapatan per kapita
tinggi. Ada kecenderungan
pemerintah berusaha merangkul kelompok orang yang memiliki kapital agar
semaksimal mungkin mengejar tingkat ekonomi tinggi. Masyarakat yang mempunyai
kemampuan kapital dipacu untuk meningkatkan ekonomi tinggi, sehingga cenderung
mendapatkan prioritas. Menurut para ahli ekonom, dikenal dengan istilah trickle down effect maksudnya adalah
bila pertumbuhan ekonomi tinggi berjalan, akan ada sebagian kapital dan
pendapatan yang diteteskan ke
bawah.
Tetapi dugaan ini meleset
para
kapitals semakin memperbesar
‘bola salju’-nya (baca :
kapital). Sebaliknya, masyarakat yang lemah kemampuannya cenderung tidak
mendapatkan perhatian pemerintah dan tergilas oleh bola salju itu. Akibatnya
terjadi ketidakmerataan kesehjateraan masyarakat, kesenjangan sosial yang
semakin meruncing, dan tentunya berimbas pada aspek kehidupan yang lain. Apa
gunanya grafik saham yang sering dipertotonkan tapi masih belum sejahtera kaum
mayoritas masyarakat. Sehingga perlu keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi
tinggi dengan pemerataan hasil pembangunan dengan berbasis kepada masyarakat
kelas menengah ke bawah
serta pelaku usaha kecil menengah dan mikro (UMKM) dan perlu upaya untuk
memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia maupun meningkatkan kualitas hidup
manusia mayoritas masyarakat bukan minoritas masyarakat. Yang miskin tetap
miskin sedangakan kaya makin kaya.
Terwujudnya kota yang ideal secara
fisik, ekonomi
dan sosial dibutuhkan tekad yang besar yang sama antara pemerintah dan
masyarakat/stakeholder. Tanpa kerjasama
yang baik, akan terjadi tarik
ulur kepentingan yang pada akhirnya akan melemahkan koordinasi. Kota Solo
berhasil membangunan kotanya,
di antaranya karena jajaran
pemerintahannya, khususnya Walikota
Joko Widodo waktu itu. Mampu membangun dialog turun ke bawah, butuh secara
bersama-sama membicarakan permasalahan kota. Memberikan solusi kreatif dan
inovatif untuk memecahkan permasalahan kota seperti yang terjadi di Singapura,
mampu merubah masalah menjadi peluang. Sedangkan pemerintah dan masyarakat
harus belajar dari kesalahan. Jangan sampai kesalahan yang sama diulangi
kembali oleh pemimpin/Walikota setiap pergantian pasca penyelenggaraan pesta
Demokrasi. Harapan penulis, siapapun yang terpilih menjadi pemimpin masyarakat
selanjutnya dapat mengemban amanah rakyat dan berani berpihak pada kaum
tertindas, termarginalkan, dan kaum miskin kota.
Bagaimana kondisi pembangunan di
kota Bogor? Yang merupakan kota studi penulis. Apakah Kota Bogor sudah
dikatakan kota yang ideal? Berdasarkan analisis, penulis menemukan masih banyak
permasalahan di kota Bogor. Pada tahun 2016, Bogor merupakan kota ke-2 terburuk
untuk berkendara di dunia setelah Cebu, Filipina menurut aplikasi navigasi dan
lalu lintas Waze. Dengan indeks kepuasan di angka tertinggi 10,
bogor mencatat indeks 2,1 dengan rengking 185 dari 185 kota di dunia. Indeks
kemacetan 3,2 kualitas jalan 2,6 dan ekonomi sosial 1,1. Sedangkan kota Cebu
rangking pertama dengan indeks kepuasan 1,1 atau terburuk dari hal kualitas jalan, lalu lintas dan
keselamatan. Peringkat ke-3 ada San Salvator di El Savador. Studi ini berdasarkan
pada pengalaman 20 ribu
pengguna aktif perbulan dari aplikasi Waze di 38 negara dan 235 kota yang
menganalisa enam (6)
faktor yaitu; lalu lintas, kualitas, keamanan jalan, servis pengemudi, sosial
ekonomi, dan
kebahagiaan serta saling bantu antar komunitas penggunaan Waze (CNN Indonesia,
jumat 16/09/2016). Selain kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas, di seputaran
Kebun Raya Bogor (KRB) beberapa titik masih terpampang jelas kawasan permukiman
kumuh dan bangunan liar serta bangunan tidak layak huni di sepanjang Daerah
Aliran Sungai (DAS) ataupun lintasan CRL. Kemudian bangunan-bangunan tanpa
mengantongi Izin Mendirikan
Bangunan yang masih menghiasi Kota Bogor hingga saat ini masih menjadi problem.
Hal ini menunjukan akselerasi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian yang
belum optimal oleh intansi-instansi terkait. Dan cenderung pola pendekatan yang
dilakukan ‘TOP DOWN’ bukan BOTTOM UP’.
Kenyataan bahwa kecenderungan perilaku birokrasi yang ‘nakal’ dan mudah
diintervensi oleh penguasa modal menunjukan lemahnya sistem Birokrasi yang ada. Dari penulis semoga
pemerintah dan masyarakat Kota Bogor bertekad kuat untuk bekerjasama dalam
membangun kota yang BERIMAN (Bersih,
Indah
dan Nyaman) sesuai Visi-Misi
Kota.
*Mahasiswa jurusan Teknik PWK UNPAK dan Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Bogor 2016-2017
*ID
LINE: 07101095
KOMENTAR