Sumber foto: http://www.who.int |
Oleh: Tomson Sabungan Silalahi
Fenomena bunuh diri sedang hangat diperbincangkan di kampung banyak teman saya. Kenapa tidak? Dalam tahun ini saja sudah tercatat sejumlah kasus bunuh diri (grrr…I hate when writing this kind of phrase, like very much, bayangan kejadian itu seperti terlintas jelas di kepala).
Menurut data World Health Organization (WHO) yang saya ambil dari http://www.who.int hampir 800.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahun, yang merupakan satu orang setiap 40 detik. Selain itu banyak lagi yang mencoba bunuh diri. Bunuh diri terjadi sepanjang umur dan merupakan penyebab utama kematian kedua di antara anak usia 15-29 tahun secara global. Usia orang yang sedang mencari dirmencari identitas diri.
Bunuh diri adalah fenomena global; Faktanya, 78% kasus bunuh diri terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah pada tahun 2015. Bunuh diri menyumbang 1,4% dari semua kematian di seluruh dunia, menjadikannya penyebab utama kematian ke-17 pada tahun 2015. Intervensi yang efektif dan berbasis bukti dapat diterapkan pada populasi, sub-populasi dan tingkat individu untuk mencegah usaha bunuh diri dan bunuh diri.
Ada indikasi bahwa untuk setiap orang dewasa yang meninggal karena bunuh diri mungkin ada lebih dari 20 lainnya yang mencoba bunuh diri. Fenomena yang mengerikan, bukan?
Saking terkejutnya orang-orang di sekitar maka pertanyaan-pertanyaanpun bermunculan, dan yang sering dilontarkan adalah why? Itu jugalah yang menggerakkan saya untuk berusaha mencari tahu jawaban-jawaban dari why yang muncul. Selain merasa miris, tentunya.
Maka pada laman www.psychologytoday.com saya temukan tulisan dari Alex Lickerman M.D. dijelaskan bahwa, secara umum ada 6 alasan mengapa kejadian dimkasud terjadi.
1. Depresi. Depresi berat dengan penderitaan yang mendalam, merasa bahwa tidak ada lagi harapan keluar dari masalahnya. Hingga melemahkan pikiran dan membiarkan gagasan seperti “semua orang akan lebih baik tanpa kehadiran saya” sepertinya sangat rasional. Sebenarnya depresi, hampir semuanya bisa diobati. Kita semua harus berusaha untuk kehadirannya pada teman dekat dan orang-orang yang kita cintai. Sering orang diam-diam merencanakan bunuh diri tanpa seorangpun yang tahu. Kalau suatu waktu kita merasa ada tanda-tanda, walau bagi kedua belah pihak kurang nyaman, tanyakanlah, bertanya langsung tentang pikiran bunuh diri biasanya mendapatkan respon yang jujur. Jika Anda mencurigai seseorang mungkin mengalami depresi, jangan biarkan kecenderungan kalian untuk menolak kemungkinan ide bunuh diri mencegah kalian bertanya tentang hal itu.
2. Mereka (mungkin) psikotik. Suara hati yang jahat sering memerintahkan penghancuran diri sendiri karena alasan yang tidak dapat dimengerti. Psikosis jauh lebih sulit ditutup daripada depresi, dan bisa dibilang lebih tragis. Kejadian skizofrenia di seluruh dunia sekitar 1% dan sering menyerang orang sehat dan berkinerja tinggi, yang hidupnya, meski dapat ditangani dengan pengobatan, tidak pernah memenuhi janji awal mereka. Skizofrenia sama-sama cenderung berbicara bebas tentang suara yang memerintahkan mereka untuk membunuh diri mereka sendiri dan tidak memberikan jawaban jujur tentang pemikiran bunuh diri saat ditanya secara langsung. Psikosis pun bisa diobati, dan biasanya harus diobati agar penderita skizofrenia dapat berfungsi sama sekali. Psikosis yang tidak diobati atau yang tidak ditangani dengan baik hampir selalu meminta izin rumah sakit ke bangsal yang terkunci sampai suara-suara tersebut kehilangan kekuatan komando mereka.
3. Mereka impulsif. Seringkali berhubungan dengan narkoba dan alkohol, beberapa orang menjadi cengeng dan secara impulsif berusaha mengakhiri hidup mereka sendiri. Setelah sadar dan tenang, orang-orang ini biasanya merasa sangat malu. Penyesalannya sering asli, tapi apakah mereka akan mencoba bunuh diri lagi tidak dapat diprediksi atau tidak. Mereka mungkin mencobanya lagi pada saat mereka mabuk atau tinggi, atau tidak pernah lagi dalam selam hidupnya. Pendaftaran di rumah sakit biasanya tidak diusulkan. Penyalahgunaan zat dan alasan mendasarnya pada umumnya menjadi perhatian yang lebih besar pada orang-orang ini dan harus ditangani semaksimal mungkin.
4. Mereka menangis minta tolong, dan tidak tahu harus bagaimana lagi mendapatkannya. Orang-orang ini biasanya tidak ingin mati tapi ingin mengingatkan orang-orang di sekitar mereka bahwa ada sesuatu yang sangat salah. Mereka sering tidak percaya mereka akan mati, sering memilih metode yang menurut mereka bisa membunuh mereka untuk menyerang seseorang yang menyakiti mereka, tapi kadang kala bisa saja mereka salah informasi. Contoh dari hal ini adalah seorang gadis remaja yang menderita kecemasan tulus karena hubungan, baik dengan teman, pacar, atau orang tua, yang menelan sebotol Tylenol, tanpa menyadari bahwa dalam dosis yang cukup tinggi, Tylenol menyebabkan kerusakan hati yang tidak dapat ditunda. Saya telah menyaksikan lebih dari satu remaja meninggal dalam kematian yang mengerikan di ICU setelah mengkonsumsi seperti itu ketika penyesalan telah menyembuhkan mereka dari keinginan mereka untuk mati dan tujuan sebenarnya mereka untuk memperingatkan orang-orang yang dekat dengan mereka akan penderitaan mereka telah tercapai.
5. Mereka memiliki keinginan filosofis untuk mati. Keputusan untuk melakukan bunuh diri untuk beberapa orang didasarkan pada keputusan yang beralasan, sering kali dimotivasi oleh adanya penyakit yang menyakitkan yang darinya tidak ada harapan untuk menerima penangguhan hukuman. Orang-orang ini tidak depresi, psikotik, mudah terharu, atau menangis minta tolong. Mereka mencoba mengendalikan takdir mereka dan meringankan penderitaan mereka sendiri, yang biasanya hanya bisa dilakukan dalam kematian. Mereka sering melihat pilihan mereka untuk bunuh diri sebagai cara untuk mempersingkat kematian yang akan terjadi.
6. Mereka telah membuat kesalahan. Ini adalah fenomena tragis baru-baru ini di mana biasanya orang muda tergoda mengurangi oksigen masuk ke dalam tubuh mereka (dengan permainan) namun melangkah terlalu jauh. Satu-satunya pertahanan untuk melawan ini, adalah pendidikan. Luka bunuh diri meninggalkan kehidupan orang-orang yang ditinggalkan olehnya sering dalam dan tahan lama. Keganjilan bunuh diri yang nyata sering memicu rasa sakit yang paling signifikan. Berpikir bahwa kita semua mengalami tragedi yang lebih baik saat kita memahami dasar-dasarnya, telah ditawarkan pada paragraf sebelumnya dengan harapan bahwa siapa pun yang membaca ini yang telah ditinggalkan oleh sebuah tindakan bunuh diri mungkin bisa lebih mudah menemukan cara untuk move on, untuk melepaskan perasaan bersalah dan amarah, dan temukan penawarnya.
Dari enam alasan di atas, kesimpulan yang dapat adalah kurangnya cinta. Baik cinta pada diri sendiri pun pada orang-orang di sekitar kita.
Masyarakat kita sudah mulai beranjak ke individualistis. Lebih asyik dengan diri sendiri. Hingga merasa bahwa hidupku adalah hidupku semata. Sewatku-waktu bisa saja saya menyudahinya, dengan caraku sendiri, tanpa memikirkan dampaknya bagi orang-orang di sekitar. Empati tidak mudah lagi dikeluarkan.
Sepakat dengan Leckerman, dunia pendidikan kita harus peka terhadap fenomena ini. Maka tepatlah ketika para guru-guru di sekolah tidak seharusnya lagi mengutamakan kompetisi di dalam kelas. Mulailah memikirkan menggunakan model cooperative learning. Prinsipnya jelas, kekuranganku adalah kekuranganmu juga. Maka siswa-siswa akan lebih peka terhadap teman sendiri. Kegagalan seseorang adalah kegagalan bersama, maka setiap anggota kelas berusaha saling memotivasi dan berbagi.
Baca juga Pembelajaran Kooperatif Untuk Indonesia
Pendidikan yang selalu mengutamakan kompetisi daripada kerja sama akan menjadikan manusia-manusia yang individualis. Jangan sampai pendidikan kita membunuh dirinya sendiri. Semoga kejadian-kejadian mengerikan ini tidak terulang lagi. Semoga!
KOMENTAR