Foto Koleksi Pribadi |
Oleh: Liliana Sitanggang*
Saya lupa
bagaimana hasrat untuk menjadi salah satu anggota masyarat SM3T ini mulai
tercipta. Alasan untuk mengabdi, mencari pengalaman, atau menjadi panggilan
jiwa bukanlah hal yang utama (meskipun ketika wawancara itu yang kusampaikan). Namun
kini alasan itu telah kubenarkan setelah aku sungguh dengan benar mengalami
hidup bersama “mereka” secara langsung. Siapa mereka? Kenapa berubah? Inilah
Spenggal kisahnya. Selamat Membaca!
Setelah
beberapa proses yang telah dilalui, namaku terdaftar
menjadi salah satu peserta yang lulus
dalam program ini, program pemerintah yang diberi nama SM3T (Sarjana Mendidik
di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal) yaitu program pengiriman guru-guru ke
pelosok negeri dalam rangka membantu mendidik di
wilayah NKRI yang kekurangan guru. Sebelum dikirim ke daerah pengabdian, kami
harus mengikuti pra kondisi untuk
melatih kami secara fisik dan psikis, agar
kami siap ditempatkan di mana
saja yakni daerah 3T selama kurang lebih 15 hari terhitung sejak tanggal 2-17
Agustus 2016. Di hari kedua kami sudah memperoleh nama
daerah sasaran yang akan kami jajaki dan dari delapan nama kabupaten yang
terdaftar, namaku masuk dalam kolom penempatana Kabupaten Halmahera Utara.
Tepat
pada tanggal 18 Agustus 2016 kami diberangkatkan ke Kabupatan
Halmahera Utara. Menaiki pesawat untuk pertama kalinya membuatku sedikit kahawatir
sekaligus bahagia. Bersama 34 orang rekan lainnya kamipun berkumpul untuk
menerima tiket, menerima arahan, dan hal lain yang berkaitan dengan keamanan
den kenyamanan keberangkatan. Rasa haru dan tangis seketika pecah ketika aku mulai
menuruni anak tangga menuju ruang tunggu hingga aku tak sanggup menoleh ke belakang untuk melihat lambaian tangan
mereka yang kusebut keluarga. Meskipun demikian itu
tidak menggoyahkan keyakinanku untuk tetap melangkahkan kaki menuju dunia baru
yang telah menungguku.
Aku
menikmati perjalananku selama pesawat mengudara, menyaksikan pesona alam
Indonesia dengan sangat begitu jelas. Aku tak bisa menggambarkan betapa aku
sangat bahagia atas kekagumanku untuk Indonesia. Tanpa kusadari bibirku berucap
“Trimakasih Tuhan” hingga beberapa kali. Setelah sekitar enam jam mengudara
akhirnya kami sampai di ibu kota kabupaten Halmahera Utara yaitu Tobelo. Kami
dilayani dengan baik oleh pemerintah setempat, mereka menyediakan penginapan
dan makanan yang layak untuk kami. Keesokan harinya kami diundang ke kantor
Bupati untuk menghadiri upacara penyambutan kedatangan kami dan penyerahan
secara resmi pihak LPTK (UNIMED) kepada pemerintah setempat. Di hari itu kami langsung didistribusikan
ke sekolah-sekolah yang menjadi tempat pengabdian kami.
Dua hari
kemudian 30 orang rekan sesama guru SM3T dari LPTK Makassar juga datang ke
kabupaten tersebut untuk mengabdi seperti kami. Satu persatu dari antara kami pergi
ke sekolah yang memang membutuhkan tenaga guru, dari total keseluruhan yakni 65
orang yang disebar, saya dan dua rekan lainnya merupakan peserta terakhir
dikirim kelokasi karena untuk menuju desa penempatan ini kami harus menunggu
kapal yang diberi nama Wahana (kendaraannya masih harus lewat
laut). Jadwal kapal ini haya satu kali dalam seminggu jadi kami harus menunggu
di Tobelo selama beberapa hari. Makan seadanya, tinggal di tempat
seadanya juga. Setelah hampir seluruh teman-teman
telah dikirim ke masing-masing penempatan, rasa sepi dan haru mulai terasa.
Ditambah lagi bahwa faktanya desa yang kami tuju merupakan desa paling
tertinggal dari semua desa sasaran untuk Kabupaten Halmahera Utara, tidak ada
listrik, tidak ada sinyal, tidak ada transportasi setiap hari bahkan sekolah
yang kutuju tidak memiliki kepala sekolah. Oleh karena
itu, Desa ini sering disebut sebagai penjara PNS. Sangat jarang orang yang
bersedia ditempatkan di Desa
tersebut. Desa kami juga merupakan desa yang jarak tempuhnya paling jauh dari ibu
kota kabupaten yaitu sekitar 8 jam perjalanan via laut.
Di penempatan,
saya tidak hanya sendiri ada peserta SM3T yang lain. Namanya Rismelia
Simanjuntak (PPKN) dan Harold Manalu (Matematika). Mereka adalah saudara
terdekatku selama pengabdian di Desa
tersebut. Pengalaman di penempatan
sangat banyak dan butuh ribuan lembaran
untuk menuliskannya. Maka akan lebih baik
jika kita coba meringkasnya melalui beberapa gambar berikut. J J J
Kapal "Citra" yang kami gunakan |
Kapal transportasi yang kami gunakan menuju penempatan. Kapal ini mampu
menampung 500 orang dan beberapa muatan lainnya seperti semen, besi, bahan
makanan, dan hal lainnya. Berdasarkan cerita warga, sapi pun dibawa dengan
menggunakan kapal ini. Semua transportasi di daerah ini hanya melalui laut.
Untuk pergi ke desa yang berada pada satu kecamatan saja pun harus menggunakan
transportasi laut.
Pertama
kali saya sampai di Desa
penempatanku (Asimiro) saya terkejut sebab tidak ada pelabuhan yang disediakan
sebagai tempat pemberhentian kapal. Jadi kami harus transit ditengah laut.
Berpindah dari kapal besar (Wahana) ke
kapal kecil (Body). Anda bisa bayangkan bagaimana cara kami berpindah.
Kami melompat dan itu di luar kemampuan ku. Hahahhahahahha tiba-tiba saja saya
jadi wonder women. Ini lah
keistimewaan peserta SM3T, menempa kami menjadi pribadi yang lebih kuat dan
mandiri. (jadi bangga awak) J J J
Kami
mendidik di sekolah SMP Negeri 18 Halut. Sekolah itu jauh dari pemukiman warga
karena letaknya yang berada di tengah kebun kelapa. Untuk mencapai sekolah kami
harus melewati sungai dengan menggunakan batang kelapa sebagai jembatannya. Demikianlah
kami lalui setiap hari selama kurang lebih satu tahun mengabdi. Tapi sampai aku menulis kan cerita ini, kami belum
pernah jatuh ke suangi tersebut sebab warga selalu saja berusaha membuat
jembatan senyaman mungkin untuk kami gunakan. Meskipun setiap musim hujan,
jembatan ini akan ikut hanyut terbawa arus air sungai. Jadi selama kami di sana sudah lima kali kami ganti
jembatan. Maklumlah kalau hanya sekedar batang kelapa, di Desa tersebut masih
banyak batang kelapa. Jadi tak heran jika warga berinisiatif membuat tiang
listrik dari batang kelapa. Kelapa merupakan hasil perkebunan,
di Desa kami ada cukup
banyak.
Siswa,
warga, dan seluruh pesona desa sangat membantu kami melewati hari-hari selama
satu tahun mengabdi. Kesulitan yang dihadapi tak cukup berarti ketika kenangan
kebahagiaan bersama mereka terkenang kembali. Karena guru yang tersedia terbatass,
maka kami dituntut oleh keadaan untuk bisa mengajar Multisubjek. Misalnya saja
saya, jurusan Ekonomi, tapi harus mengajar biologi, sejarah dan juga geogerafi.
Masing-masing di antara kami bertiga mengampu tiga sampai
empat mata pelajaran. Selain mengajar, kami melakukan kekiatan ekstrakurikuler
seperti LKBB (Latihan Keterampilan Baris Berbaris), Les
tambahan, kegiatan keolahragaan, dan kegiatan lainnya.
Perihal
kegiatan pembelajaran, saya selalu memberi yang terbaik dari diri saya untuk
seluruh anak-anak yang ada di sekolah.
Saya dan rekan saya mebuat banyak aktivitas pendidkan dengan siswa yang
melibatkan para orangtua, guru honorer yang ada di sekolah,
pemerintah setempat dan para pemuka agama. Kami bahkan megaktifkan
kegiatan-kegiatan sekolah lainnya seperti OSIS, perlombaan
bidang olahraga, Paskah dan Natal bersama.
Hal yang membuat
saya semakin mencintai desa ini ialah ragam budaya yang dimiliki. Unik dan
menarik. Di wilayah Kabupaten Halmahera Utara banyak ditemui
berbagai macam budaya, khususnya Kecamatan Loloda
Utara, Asimiro baik dalam bidang seni dan adat-istiadat seperti: tarian, jenis
kerajinan tangan, musik tradisional, maupun bahasa. Berikut ini beberapa jenis
tarian yang terdapat di daerah tersebut seperti tarian Cakalele, Tide-tide,
Togal, dan lain-lain.
Dulu tari
cakalele adalah tarian perang yang umumnya ditarikan oleh penari pria, namun
ada juga beberapa penari wanita sebagai wanita pendukung. Pada saat itu tarian
ini dilakukan sebagai tarian perang para prajurit sebelum menuju medan perang
maupun sepulang dari medan perang. Pada masa sekarang ini, tari cakalele tidak
lagi difungsikan sebagai tarian perang, namun
lebih sering ditampilkan untuk acara yang bersifat pertunjukan maupun perayaan
adat. Bagi masyarakat Loloda, tari cakalele dimaknai sebagi wujud apresiasi dan
penghormatan masyarakat terhadap para leluhur dan nenek moyang mereka. Tarian
ini menggambarkan jiwa masyarakat Loloda yang tangguh dan pemberani, hal itu
bisa dilihat dari gerakan dan ekspresi penari saat menarikan tarian ini. Dalam
tarian ini penari pria menari menggunakan parang (pedang) dan salawaku (tameng)
sebagai atribut penarinya. Sedangkan penari wanita biasanya menggunakan lenso
(sapu tangan). Gerakan penari pria biasanya
lebih didominasi oleh gerakan kaki berjingkrak-jingkrak secara bergantian
sambil tangan memainkan parang dan salawaku. Gerakan para wanita didominasi
oleh gerakan tangan yang diayun secara bergantian. Tarian ini diiringi oleh
musik tradisional Loloda yaitu tifa dan gong yang bertempo cepat layaknya
genderang perang yang dapat memicu semangat para penari.
Selain tari
cakalele, di desa ini juga terdapat tari tide-tide. Tarian ini
merupakan tarian pergaulan yang biasanya ditarikan secara berpas wanita pada acara tertentu seperti acara adat dan acara hiburan.
Para pasangan penari biasaya dipandu oleh satu orang yang disebut Kapten. Sang
Kapten akan memandu gerakan yang akan ditarikan oleh para penari sesuai dengan
adat istiadat. Bagi masyarakat setempat, tarian ini dimaknai sebagai bahasa
pergaulan yang akrab dan harmonis. Hingga saat ini tari tide-tide
masih tetap dilestarikan oleh masyarakat Loloda.
Adat
istiadat di daerah ini sangat dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Misalnya
saja dalam meminang, calon mempelai pria harus membawa beberapa seserahan
seperti sirih pinang, kapur, dan tuala. Seperti yang
terlihat pada gambar di bawah ini.
Jika pergi meminang, maka harus
berangkat pagi-pagi dan kaki harus tanpa alas menuju ke rumah calon mempelai
perempuan. Jika tidak maka pihak dari mempelai pria akan didenda. Denda
tersebut berupa uang. Tanda jika didenda, maka lampu yang tadi menyala ditiup
hingga padam. Orang yang didenda tersebut kemudian memberikan denda berupa uang
yang nominalnya tergantung kesepakatan dari kedua belah pihak. Dalam meminang,
ada sejenis piring yang disediakan, jika piring tersebut dibalik ke bawah oleh
pihak calon mempelai perempuan berarti pinangannya itu tidak diterima. Maka
pihak laki-laki mencoba kembali dua atau tiga kali.
Keunikan
daerah Loloda yang jarang atau bahkan tidak pernah ditemui ditempat manapun
adalah adat “Cuci Kaki dikeringkan menggunakan
Rambut”. Adat ini terjadi
pada proses pernikahan yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan. Acara adat ini sebagai simbol mertua menerima dan
menyayangi anak menantunya tersebut.
Bahan-bahan yang digunakan dalam proses
cuci rambut memiliki arti sendiri-sendiri. Berikut bahan-bahan yang digunakan
serta maknanya.
1. Air, yang mengandung makna kasih sayang,
2. Daun
cinga-cinga, mengandung makna ingat-ingat orang setelah menikah,
3. Daun
kano-kano, yang mengandung makna saling mengharap,
4. Golo-golo,
yang mengandung makna saling meminta,
5. Daun pisang
kering, yang mengandung makna saling mencari.
Seluruh
item di atas dicampur menjadi satu, kemudian gadis belia yang berambut panjang
dari keluarga mempelai pria diminta untuk mengeringkan kaki mempelai wanita
dengan menggunakan rambutnya. Selain
pada pernikahan, adat ini bisa juga dilakukan untuk penyambutan para pejabat
atau orang penting sebagai tanda penghormatan. Bukan hanya itu, masih ada Acara
Tutup Atap (Adat Kapur Sirih). Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
Kedua gambar tersebut adalah upacara
“Tutup Atap (Adat Kapur Sirih)” yang dilakukan saat warga ingin memasuki
rumah/gedung baru. Setiap pembangunan rumah baru seorang warga, seluruh
masyarakat ikut membantu, khususnya kaum bapa sebagai tukang. Upacara ini
biasanya dilakukan saat penutupan atap rumah sebagai wujud syukur warga atas
selesainya pembangunan rumah tersebut. Pada saat itu, seluruh kaum ibu akan
membawa makanan untuk dinikmati bersama-sama. Upacara ini diiringi tarian
cakalele yang menjadi ciri khas daerah ini.
Apresiasi
mereka terhadap budaya sendiri membuat saya tertarik untuk memperkenalkan
budaya Batak (suku saya sendiri) kepada warga
melalui tarian tortor Batak “sihutur
sanggul”. Kami menampilkan tarian tortor batak
sihutur sanggul dan memberikan pengetahuan kepada warga mengenai sinopsis dan
deskripsi tarian tersebut. Saya dan
rekan yang lain melatih siswa untuk memperagakan tarian Batak.
Penampilan tarian ini membuat saya semakin mencintai keberagaman budaya
Indonesia.
Selain
aktivitas pendidikan, kami juga melakukan aktivitas kemasyarakatan bersama
warga. Kebiasaan dan kehidupan masyarakat setempat yang harmonis membuat saya
ingin menceritakan kehidupan mereka.
Persiapan
perayaan untuk pesta selalu dilakukan warga ketika mengalami peristiwa
gembira seperti syukuran upacara Agama, pernikahan, pesta adat dan juga
ketika kehadiran tamu kehormatan (pejabat), Termasuk kami J J J. Seluruh warga wajib ikut serta menyiapkan
makanan dan minuman di dalam sabuah
(sejenis wisma yang dibuat sendiri oleh warga). Pada saat perayaan seperti ini
lah warga biasanya menari dan bernyayi bersama.
Mereka
berkumpul bukan hanya ketika berpesta saja. Warga memiliki sikap gotong royong
yang luar biasa. Seluruh warga khususnya kaum
bapak dan pemuda bekerja sama dalam pembangunan Gereja.
Selain dalam pembangunan gedung gereja, warga juga selalu mau ikut bekerja sama
dalam pembangunan desa seperti pengadakan listrik, air dan sarana lainnya demi
menunjang kehidupan warga yang lebih sejahtera.
Seluruh warga berjuang
membuat tiang listrik meski hanya dari batang kelapa. Hal ini lah yang sungguh
sangat luar biasa yaitu Gotong royong.
Perlu saya sampaiakan bahwa yang membuat PLTA adalah warga setempat yakni Bapak
Yenisius Sero (Hanya tamat SMP). Beliau merupakan bapak angkat saya selama
setahun. Beliau merupakan salah satu aset Indonesia yang sangat pantas untuk
diperhitungkan. Beliau adalah ayah terbaik bagi saya (Jadi Baper). Maklumlah, saya memang sudah yatim sejak berusia 5
Tahun.
Bagi Anda yang
merasa kaum Adam, jangan merasa bahwa yang ikut serta gotong royong hanya kalian, kaum Hawa juga ikut serta membantu. Mulai dari
membantu mengangkat pasir, kerikil, dan yang terpenting membantu menyediakan
makanan untuk kaum Adam yang telah lelah bekerja untuk desa. J J J. Peristiwa
ini selalu mampu membuatku damai. I
really love it. Perhatikanlah gambar berikut. Gambaran kebersamaan mereka
yang sederhana namun membahagiakan dan mendaaikan. Ini yang selalu membuat
saya merindukan desa ini. Peristiwa yang sangat jarang saya temukan.
Seperti
yang saya katakan sebelumnya, kaum Hawa juga ikut serta membantu pembangunan
desa. Misalnya saja membuat kebun desa. Desa Asimiro
terletak di pesisir pantai. Letak geografis ini
tentu saja mempengaruhi hasil alam yang tersedia. Selama saya di sana, saya hampir tidak pernah tidak
makan ikan. Desa saya ini berlimpah ikan namun kekurangan sayuran. Sadar akan
masalah tersebut, pemerintah desa meminta kaum Hawa untuk membuat kebun desa.
Maka seluruh kaum ibu yang dibagi menjadi beberapa kelompok diwajibkan membuat
kebun desa. Pemerintah desa yang menyediakan bibit dan warga yang memelihara.
Hasil panen kebun tersebut akan dinikmati oleh warga itu sendiri secara
bergilir. Seperti yang tampak pada gambar di samping.
Aktivitas
lainnya yang tak kalah menarik ialah bakar ikan di pinggir pantai. Meskipun
bukan rutinitas, tapi membakar ikan di pinggir
pantai cukup sering dilakukan warga. Asimiro memiliki hasil alam berupa ikan yg
cukup melimpah. Maka tak heran jika warga cukup sering duduk bersama di pinggir pantai sambil menikmati ikan
bakar hasil tangkapan mereka sendiri. Meskipun demikian, warga sangat
memperhatikan kodisi alam mereka. Warga tidak pernah mengambil ikan berlebihan
dan menggunakan alat yang merusak alam demi mengambil ikan. Mereka hanya
menggunakan kail (Mengail) dan panah
(Bajubi). Dan mereka tidak pernah
mengambil dalam jumlah yang berlebihan sebab mereka tidak
melakukan pemasaran ikan (bukan sumber penghasilan). Mereka mengambil ikan hanya
untuk dikonsumsi sendiri.
Dalam
bidang agama, saya tidak terlalu sulit untuk beradaptasi dengan warga. Seluruh
warga desa Asimiro menganut agama Kristen Protestan. Meskipun saya beragam
Katolik, saya tidak merasakan perbedaan yang cukup berarti selama saya disana.
Warga sangat menjunjung tinggi sikap toleransi umat beragama di desa tersebut.
Apresiasi
sebesar besarnya saya sampaikan kepada seluruh warga Desa Asimiro, khusunya
Bapak Kepala Desa Ferdy Sambode yang telah menyambut kami dan memberikan
perlindungan serta kenyamanan bagi kami selama di Desa
tersebut. Terimakasih juga kepada keluarga Besar Bapa Yenisius Sero dan Mama
Sila yang telah menerima saya dengan segala kekurangan dan keterbatasan saya
sebagai anak. Memenuhi kebutuhan saya secara materil maupun moril. Semoga Damai
dan Keselamatan dari Allah selalu menemani perjalanan hidup Seluruh warga Desa
Asimiro khusunya keluarga besar Kepala Desa dan Bapa Yenisius Sero. Secara
pribadi saya juga memohon maaf atas setiap kesalahan saya selama saya melewati
waktu bersama seluruh saudara/i terkasih yang ada di Asimiro. Setahun
mengabdi belum mampu membuat perubahan yang signifikan. Oleh karena itu, siapapun
dan dimanapun Anda Jangan
pernah berhenti melakukan sesuatu untuk mengubah keaadaan menjadi lebih baik, terkhusus generasi SM3T berikutnya.. Inilah
kisahku, mana kisahmu? J
Gambar Perpisahan bersama Keluaraga SERO |
*Lahir di Serdang, 26 Agustus 1993
Tinggal di Desa Serdang Dsn 1 Kec. Beringin. Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara
facebook: lilyanasitanggang@yahoo.com
KOMENTAR