Dok: Koloksi Pribadi |
Oleh: Alboin Samosir*
Sampai saat ini para ahli masih sepakat bahwa demokrasi adalah tata politik yang masih relevan untuk digunakan tanpa menutup kemungkinan akan ada tata politik yang jauh lebih baik dari demokrasi. Hidup di negeri demokrasi adalah sebuah keniscayaan betapa tidak, apabila kita berkaca dari roh demokrasi yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sehingga apabila hal tersebut benar-benar diimplementasikan keadilan, kemanusian, dan persaudaraan sejati tidaklah hal yang sulit untuk diwujudkan.
Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia senantiasa diterpa banyak badai dalam merangkai demokrasi yang sesungguhnya. Badai itu sering sekali dihembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, pihak-pihak yang ingin memanfaatkan demokrasi sebagai senjata untuk menguasai ibu pertiwi.
Salah satu yang menjadi ujian terpenting bagi demokrasi kita saat ini adalah disahkannya revisi UU MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD). Beberapa pasal yang menjadi bagian UU MD3 dianggap sangat berbahaya bagi tumbuh kembangnya demokrasi. Pasal-pasal ini seolah-olah ingin menunjukkan arogansi para legislator kita, pasal ini seolah-olah ingin menunjukkan tingginya kekuasaan yang mereka miliki.
Dengan disahkannya Undang-undang ini tanpa disadari telah menutup pintu demokrasi tersebut. Undang-undang menjadi anjing yang siap menerkam siapa saja yang ingin menggangu singgah sana para legislator kita yang mulia ini, setiap suara yang beruapaya mendekatkan diri ke gedung parlemen akan meledak karena telah terpasang ranjau-ranjau yang berbahaya.
Pasal 73, (3) Dalam hal setiap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Republik Indonesia.
(4) Panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat 4 sebagaimana dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut;
a. pimpina DPR mengajukan permintaan secara tertulis kepada Kepala Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggilan paksa serta nama dan alamat pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat yang dipanggil paksa.
c. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah di tempat domisili pejabat negara, pejabat pemerintah,badan hukum dan/atau warga masyarakat yang dipanggil paksa untuk dihadiri melalui pemanggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Ada beberapa pasal yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dimana hal tersebut berpotensi matinya demokrasi di negeri demokrasi. Di antaranya yaitu pasal 73 (lihat di atas) yang memberikan kewenangan kepada DPR dapat melakukan pemanggilan secara dan yang semakin memperkuat pasal tersebut yaitu terdapatnya frasa “wajib”, dapat diartikan tidak ada alasan untuk menolak panggilan dari DPR bahkan, dalam ayat 6 pasal tersebut, polisi berhak menyandera pihak yang menolak hadir.
Tidak hanya berhenti di situ, pasal 122 huruf k semakin menunjukkan kegarangan dari DPR, di pasal tersebut dikatakan, "MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) dapat mengambil langkah hukum terhadap pihak, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dewan”. Bisa dikatakan pasal ini menjadi pegangan bagi DPR untuk mengantisipasi kebodohannya, mengantisipasi kegagalannya, dan mengantisipasi kritik yang akan datang silih berganti. Karena setiap kritikan, setiap masukan dapat ditafsirkan sebagai upaya merendahkan DPR.
Pasal 245, “(1) pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimna dimaksud dalam pasal 244 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari mahkamah kehormatan dewan"
Senjata lainnya yaitu pasal 245, di pasal ini dikatakan pemeriksaan anggota DPR harus melalui pertimbangan MKD sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk memberi izin bagi aparat penegak hukum. Padahal, mahkamah konstitusi telah membatalkan klausul atas izin MKD, namun sepertinya anggota DPR tidak kehabisan ide. Frasa “izin” diganti dengan frasa “pertimbangan”. Dapat disimpulkan DPR ingin menutup diri atas semua kesalahan yang dan akan mereka lakukan.
Berdasarkan pasal-pasal di atas ada tiga hal yang patut dipertanyakan yaitu, pertama, hak imunitas yang dimiliki oleh DPR seolah-olah tak memiliki batasan, kedua, kewenangan yag dimiliki oleh DPR berpotensi besar untuk diselewengkan. DPR akan dengan sesukanya memanggil pihak-pihak yang dianggap menggangu “tidur siangnya”, bahkan memidanakan orang-orang yang katanya “merendahkan martabat DPR”, ketiga, hadirnya pasal-pasal ini semakin memperkuat keyakinan bahwa DPR itu adalah lembaga yang anti yang namanya kritik dimana hal tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Apabila hal ini tidak ditanggapi serius oleh pemerintah, itu sama saja pemerintah sedang memelihara serigala di kandang domba. Anggota DPR akan berubah menjadi predator yang begitu menakutkan, setiap orang yang menegurnya kan berahkir di tempat pesakitan, langkah kakinya takkan terhentikan bahkan oleh tembok yang dibangun dengan fondasi demokrasi akan dirobohkannya. Kebebasan bersuara akan menjadi sangat jarang kita temui, bahkan berpotensi hilang ditelan oleh kekuasaan yang begitu mutlak.
Dengan disahkannya revisi UU MD3 (MPR, DPR, DPD. DPRD), sepertinya para legislator kita sedang membangun tembok yang begitu tinggi, yang begitu kokoh, tembok yang akan memisahkannya dengan rakyatnya, persetan dengan yang namanya wakil rakyat. Jeritan dan teriakan rakyat tak lagi mereka dengarkan tak lagi mereka suarakan dan pada akhirnya kita akan sepakat bahwa demokrasi di Indonesia sudah meninggal dunia. Ironis.
*Penulis adalah Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Pematangsiantar Santo Fransiskus dari Assisi dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Simalungun.
KOMENTAR