Oleh: Deden Fahmi Fadilah*
/1/
Suatu hari kau akan mendengar keluhan istrimu yang
mulai bosan menjalani rumah tangga. Istrimu selalu mengatakan bahwa rumah
tangga bukan hanya soal kau sebagai suami dan istrimu yang melayanimu. Kau yang
sebenarnya sudah berusaha memenuhi segala kebutuhan tetap mendengar segala
ocehan itu. Sebelum berangkat bekerja, ketika sedang bekerja, ketika baru
sampai rumah sehabis bekerja, dan bahkan beberapa saat sebelum tidur, istrimu
terus mengatakan hal yang sama: aku bosan.
Kau, saat itu, menanggapi semuanya dengan biasa
dengan jawaban yang paling sederhana: diam. Jawaban itu, jawaban yang tak
pernah diinginkan oleh istrimu. Satu-satunya alasan kau jadikan diam sebagai jawaban
adalah kau sendiri sudah bosan. Kau sungguh sudah merasa bosan, tapi itu
peraaan yang berbeda. Bosan yang kau rasakan adalah bosan selalu mendengar
keluhan kebosanan istrimu. Saat itu suatu masalah akan menghampirimu dari
segala penjuru.
Dan peristiwa itu menimpamu: kau terperosok ke dalam
ruang kesepian.
Sebuah pertengkaran bahkan sepertinya lebih
menyenangkan buatmu. Kau mengetahui bahwa kesepian sebenarnya hanya ruang
kosong yang tidak benar-benar kosong. Di sana kau lihat dirimu yang terus
mencari jalan keluar. Usahamu hanya akan membuatmu lebih terpuruk jika kau tak
menemukan sesuatu yang lain. Lalu kau menyimpulkan bahwa kesepian berbeda
dengan kesendirian. Ketika kau yang sedang merasa sepi itu menoleh ke arah mana
pun, ternyata mereka ada di sana juga. Kau menemukannya. Mereka yang menemanimu
tapi tidak bisa membantumu itu berwujud permasalahan-permasalahan, seperti
dirimu sendiri dan istrimu.
Mulutmu telah terkunci di ruang kesepian itu. Kau
dan istrimu itu hanya akan saling memandang. Sebuah pandangan yang asing. Siapa
pun yang melihat pandangan itu akan tahu bahwa sesuatu sedang terjadi. Kau
mencoba bergerak dan berusaha menjelaskan semuanya, begitu pun istrimu, tapi
kau sama tidak bisa melakukan apa-apa. Tak ada lagi tempat yang paling menyesakkan
bagimu selain di sana.
Kau beranggapan bahwa hal yang paling menyebalkan
adalah istrimu yang tak mengerti dirimu. Tapi, di ruang kesepian, kau sadar
bahwa kau pun tak pernah mengerti istrimu. Kau hanya akan menemukan
ketidakjelasan ketika memikirkan mengapa kau tidak bisa mengerti istrimu yang
tak mengertimu. Tak ada hal yang kau coba pecahkan lagi di pikiranmu selain
itu, selain kesebalanmu.
/2/
Kau berkata pada dirimu sendiri: saling diam adalah
yang terbaik. Karena bagamianapun, meskipun kau berontak untuk mencoba
menumpahkan isi kepalamu di hadapan istrimu, kau hanya akan jatuh pada ruang
kesepian yang sama.
Seorang perempuan memang lebih mudah melakukannya.
Sekonyong-konyong dia seperti meletakkan otak dan segala isi kepalanya di
sebuah mangkuk besar sebagai hidangan makan malam. Tapi sulit bagi laki-laki
sepertimu. Kau penuh pertimbangan. Bahkan kau pernah tak tega untuk
menghadiahkannya sebagai kado ulang tahun istrimu. Anehnya, meski perempuan
seperti istrimu sudah menghidangkan jamuan keluhan itu, kau tetap tidak bisa
mengerti maksudnya.
Pandangan istrimu memaksamu melahap semua isi
kepalanya. Kau tak mencoba untuk mengatakan tidak, lalu dengan susah payah kau
melahapnya. Tapi kau tetap tidak merasa kenyang karena kau hanya menelan keluhan-kebosanan
istrimu. Setiap hari terus begitu, setiap hari kau terus diam menanggapinya.
Kau mendengar dari tetangga-tetanggamu bahwa istrimu
mengeluh. Kau masih akan diam. Kau mendengar dari saudara-saudaramu bahwa
istrimu mengeluh, dan kau tetap diam. Kau berpikir bahwa suatu hari istrimu
akan bosan dengan keluhannya sendiri, maka kau memilih tetap diam. Akan tetapi
semakin lama kau diam, semakin bosan kau merasa diam.
Bagaimana caranya mengatakan bahwa kau tidak
mengerti kebosanan istrimu, tanyamu pada dirimu di dalam ruang kesepian itu.
Tapi dirimu telah cukup di sana. Di ruang kesepian, tak ada keluhan istrimu.
Dia hanya diam, dan kau juga. Kau sudah terbiasa demikian, tapi lama-lama dalam
kenyamananmu itu kau merasa istrimu berbeda.
/3/
Kau benar, lama-lama istrimu bosan dengan segala
keluhan dan kebosanannya. Dia bosan mengeluh padamu. Dia merasakan bosan yang hampir
sama denganmu: bosan karena kebosanannya menunggu jawaban pasti dari dirimu.
Lalu dia memilih diam. Kau tak lagi berada di ruang kesepian. Kau benar-benar
menemukan jawabannya. Tapi kesepian itu menjelma rumahmu, kamarmu, ruang tamu,
dapur, dan kamar mandimu. Tak ada lagi keluhan. Tak ada lagi bosan yang
sebelumnya. Kau tak lagi bosan mendengar keluhan kebosanan istrimu. Kau tahu, bosan
yang kau rasakan sebelumnya itu beralih ke dalam tubuh istrimu.
Istrimu terperosok dalam jurang kesepian. Istrimu
akan seperti dirimu di ruang kesepiannya. Dia memandangmu yang diam, padahal dia
benci diam, juga diam yang dilakukannya. Dia mencoba keluar dan mencari jawaban
lain. Sementara dia terjebak dalam ruang kesepiannya, kau terjebak di rumahmu
yang sepi.
Ini yang dirasakan istriku saat aku memilih diam, katamu
dalam hati. Sementara kau berada dalam sunyinya ruang kesepian, dia merasa sepi
di kamar tidur, dapur, ruang tamu, dan kamar mandi. Kini, dia sedang berusaha
keluar dari ruang kesepiannya.
/4/
Suatu hari kau akan mendengar keluhan istrimu dalam
menjalani hubungan rumah tangga. Istrimu juga akan mendengar keluhanmu yang
bosan mendengar keluhannya, lewat kediamanmu. Masing-masing di antara kau dan
istrimu sama memiliki pintu menuju ruang kesepian itu. Kau dan istrimu akan
bergantian memasukinya.
Di suatu hari libur, saat sarapan pagi, kau dan
istrimu saling berpandangan. Kau melahap keluhan istrimu, dan istrimu melahap
keluhan yang sudah berani kau hidangkan padanya. Dalam pandangan itu, kau ingin
sekali mengatakan rasa cintamu. Mungkin istrimu pun sama. Itu tak mungkin, kau
dan istrimu sudah memilih diam sejak lama.
Dan peristiwa itu kembali terjadi: kau dan istrimu
lebih senang berada dalam ruang kesepian.
Saudaramu dan tetangga-tetanggamu mulai khawatir.
Sudah lama mereka tak melihat kau dan istrimu berbicara. Ini aneh. Biasanya,
orang akan benci melihat orang lain bertengkar dan berdebat. Setelah melihat
diamnya kau dan istrimu, mereka lebih senang melihat kau dan istrimu
bertengkar. Mereka merindukan pedebatan suami-istri. Itu lebih tenang bagi
mereka. Mereka berpikiran dengan bertengkar isi kepala lebih mudah dimuntahkan
lalu dipahami, dari pada kalian berdiam diri menyembunyikannya dalam ruang
kesepian.
Mereka menganggap bahwa ini adalah wabah penyakit.
Berniat membantumu, mereka mencarikannya obat yang mujarab. Mereka membawa
kalian ke dokter psikologi, rumah sakit hubungan suami-istri, pemuka agama
bahkan dukun. Mereka khawatir kalian kena guna-guna. Tapi semuanya gagal.
Kalian baik-baik saja. Ini semakin membingungkan mereka.
/5/
Sutau hari kau dan istrimu sudah kehilangan rasa
bosan dan kesepian. Kau dan istrimu menganggap bosan dan kesepian adalah
seorang kawan. Jadi kau dan istrimu tidak merasa sendirian dalam diam. Karena
alasan itulah kau dan istrimu mulai melakukan hal aneh: kau berhenti bekerja
memutuskan untuk jadi penulis, lalu istrimu berjualan di pasar yang bau dan
becek.
Kau dan istrimu tahu bahwa keduanya hal yang paling
tidak disukai. Sejak kecil, istrimu tidak pernah suka kotor dan merasa basah,
dan kau sangat benci menghapal, membaca dan menulis. Karena kehilangan selera,
kau dan istrimu melakukan hal yang paling dibenci.
Sudah lama sejak kau dan istrimu memilih diam.
Dengan keputusanmu, kau memilih mengisi kediaman itu dengan menulis. Kau mulai
menulis sesuatu. Tulisan itu kau
berkata:
“Suatu hari kau akan mendengar keluhan istrimu yang
merasa bosan dalam menjalani hubungan rumah tangga. Dan itu, tak semudah
mengatakan aku masih cinta padamu.”
Cimahpar. 2018
*Penulis adalah Alumnus Universitas Pakuan Bogor dan Kandidat Master Pendidikan Bahasa di Universitas Negeri Jakarta.
*Penulis adalah Alumnus Universitas Pakuan Bogor dan Kandidat Master Pendidikan Bahasa di Universitas Negeri Jakarta.
KOMENTAR