Oleh: Alfred R. Januar Nabal**
Lembaga Transparency International (TI) menempatkan Indonesia pada peringkat 88 dari 168 negara dalam Corruption Perception Index pada tahun 2015 (m.tempo.co). Skor rata-rata pada tahun tersebut adalah 43, artinya Indonesia dengan skor CPI 36 masih berada di bawah rata-rata skor persepsi dunia. Untuk negara-negara Asean, Indonesia masih berada di bawah Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Kondisi demikian dapat dipandang dari dua hal. Pertama, persepsi tentang Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi masih ada. Kedua, upaya pengentasan korupsi di Indonesia, apabila mengacu pada tren positif meningkatnya skor CPI dari tahun ke tahun dinilai cukup berhasil (bandingkan dengan skor CPI tahun-tahun sebelumnya).
Tetapi, tindakan korupsi secara nyata tidak serta merta dapat diukur melalui sebuah persepsi. Untuk Indonesia, korupsi telah menjadi masalah akut dan menyerang semua lembaga tinggi negara. Realitas korupsi sejatinya lebih ngeri dari sekadar persepsi, terutama jika ditarik akar penyebabnya.
Korupsi dan Gerakan Demoralisasi
Korupsi (dari bahasa latin: corruptio atau coruptus, berarti busuk/rusak) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah. Cikal bakal perilaku korupsi telah dimulai sejak zaman kerajaan, dimana motif kekuasaan dan kekayaan menjadi penyebabnya. Berlanjut ke fase penjajahan, praktek korupsi telah masuk ke dalam sistem budaya sosial politik bangsa kita. Hal demikian terjadi karena munculnya tokoh-tokoh lokal yang dijadikan “badut politik” oleh penjajah untuk mengurusi daerah administratif (baik demang/lurah maupun tumenggung/bupati). Mereka ini dipekerjakan untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat untuk diberikan kepada penjajah dan memperkaya diri sendiri. Pasca penjajahan, praktek korupsi secara masif membudaya dalam lingkungan elit (baca: penguasa) bangsa Indonesia, bahkan menyatu dengan sistem yang ada.
Praktek korupsi di Indonesia selalu dinamis. Hal ini tidak terlepas dari pemetaan rezim yang terjadi. Pada fase pasca penjajahan, fenomena korupsi masa orde baru dan reformasi menarik untuk dikaji. Korupsi pada masa orde baru dipengaruhi oleh sentralisme kekuasaan. Praktek korupsi dikendalikan dari istana. Istana mudah mempengaruhi kebijakan dan peraturan yang ada untuk menguntungkan kalangan tertentu. Korupsi pada masa orde baru praktis hanya dilakukan oleh eksekutif (baca: presiden). Dua lembaga tinggi negara, legislatif dan yudikatif bukan menjadi “pemain utama” yang lain. Mereka hanya tokoh figuran dari skenario yang dibuat. Sementara, fenomena korupsi pada masa reformasi (sampai sekarang) sangat masif dan masuk ke sistem yang ada. Pemain utama tidak hanya lembaga eksekutif, tetapi juga legislatif dan yudikatif. Hal lain, pusat dan daerah menjadi pemain utama dalam praktek korupsi ini. Modus yang terjadi pun sangat beragam, mulai dari penyuapan, manipulasi, penggelembungan anggaran, penggelapan anggaran, dan sebagainya. Virus korupsi pada masa reformasi telah menyerang hampir semua sendi-sendi negara.
Perbandingan praktek korupsi dalam dua rezim ini mengarahkan aras berpikir kita pada dua poin penting. Pertama, sentralisme dan desentralisme kekuasaan. Era orde baru memainkan pemerintahan yang sentralistik. Penyelewengan jabatan yang dilakukan di tingkat pusat diarahkan untuk memperkaya diri dan kroni-kroninya. Kekuasaan yang sentralistik pun pada akhirnya menciptakan suatu pola korupsi sentralistik. Praktek korupsi di lingkup pemerintah daerah dan dua lembaga tinggi negara yang lain sangat jarang terjadi. Hal demikian sangat bertolak belakang dengan fenomena korupsi di masa reformasi. Desentralisme kekuasaan di era reformasi secara tidak sadar menciptakan locus-locus baru praktek korupsi, baik di lembaga-lembaga tinggi negara maupun di tingkatan daerah. Dalam kurun waktu 13 tahun upaya pemberantasan korupsi, terpidana kasus korupsi di tingkatan pusat dan daerah cukup menggelikan. Sembilan menteri, 19 gubernur, 2 gubernur BI, dan 44 anggota DPR masuk penjara! (m.detik.com).
Kedua, persoalan karakter. Runtuhnya rezim orde baru dalam peristiwa reformasi 12 Mei 1998 bagi penulis hanyalah kemenangan prosedural. Secara substansi, masyarakat dan bangsa Indonesia belum siap untuk masuk dalam suatu rezim ‘kebebasan’ tersebut. Masyarakat Indonesia (baca: para penguasa) bablas dalam mengartikan kebebasan yang ada. Reformasi prosedural tidak diimbangi dengan reformasi karakter dan moral para pemimpin yang masih memiliki mental menjajah layaknya pada masa orde baru. Di bawah ruang kebebasan ini, karakter dan moralitas personal para pemimpin secara tidak langsung diterjemaahkan menjadi karakter dan moralitas impersonal (baca: negara). Akibatnya, reformasi yang digadang-gadang mampu mengarahkan dinamika bangsa dan negara secara lebih demokratis telah membuka ruang yang sebesar-besarnya terhadap praktek korupsi. Korupsi di era reformasi telah menjadi suatu gerakan demoralisasi negara secara masif, sistemik, dan lebih kejam dari zaman orde baru. Karena di sana, penyelewengan jabatan akan dilakukan oleh siapa saja. Praktek korupsi menjadi lebih leluasa dilakukan dan ber-ekses pada pengrusakan negara!
Mewacanakan Kembali
Fenomena korupsi di Indonesia tentu menjadi suatu persoalan yang multidimensional. Selain permasalahan moralitas dan karakter, korupsi merupakan dampak struktur sosial-politik yang terjadi di masyarakat. Korupsi dipandang sebagai kekerasan struktural, dimana terjadi penindasan oleh yang kuat (penguasa) kepada yang lemah (masyarakat). Pembedahan korupsi dengan pendekatan dampak struktur sosial-politik tidak dibahas di sini.
Korupsi sebagai dampak dari permasalahan moralitas dan karakter merupakan persoalan pelik yang mesti dipikirkan bersama. Degradasi moral dan karakter dalam konteks personal (baca: para pejabat) berimplikasi terhadap degradasi moral dan karakter impersonal, yaitu lembaga negara yang dipimpinnya. Untuk itu, pewacanaan kembali akan pemberantasan korupsi perlu menyasar pada pembentukan moral dan karakter personal.
Wacana pemberantasan korupsi mesti dilihat sebagai antitesis atas gerakan demoralisasi negara. Pada posisi ini, upaya represif sebagai terjemahan atas hukum positif yang selama ini dilakukan tidak akan berpengaruh signifikan. Gerakan demoralisasi negara yang berwujud pada praktek korupsi akan terus beranak pinak, karena moralitas dan karakter yang menjadi permasalahan tidak tersentuh.
Pemberantasan korupsi di Indonesia perlu disasar melalui upaya preventif. Upaya tersebut merupakan agenda jangka panjang yang perlu dipikirkan negara untuk menyelamatkan dirinya dari praktek demoral. Ketika korupsi telah menjadi suatu kejahatan yang sistemik dan masif di era reformasi, diperlukan upaya yang tersistem dan masif dalam memberantasnya. Pada titik inilah, penyelenggaran pendidikan memainkan peranan penting dalam skenario ‘penyelamatan’ negara dari gerakan demoralisasi ini.
Pendidikan sebagai instrumen dalam mencerdaskan kehidupan bangsa (UUD 1945 Pasal 31 ayat 3) dalam tataran aplikatif perlu mengembangkan lima ranah yang telah dijabarkan dalam UU sisdiknas, mencakup ranah pikir, ranah rasa, ranah karsa, ranah religi, dan ranah raga. Fenomena pendidikan yang hanya menitikberatkan pengembangan pada ranah pikir dan ranah raga serta mengabaikan tiga ranah lainnya tentu memberikan output (baca: sumber daya manusia) yang prematur. Pengembangan nilai-nilai moralitas dan karakter yang terdapat pada ranah rasa, karsa, dan religi parktis hanya memenuhi formalitas penilaian dalam ruang pendidikan formal. Bagi penulis, situasi demikian merupakan petaka dalam sistem pengembangan sumber daya manusia di Indonesia. Tidaklah mengherankan, korupsi sebagai dampak dari ketimpangkan implementasi pendidikan di Indonesia menjadi marak dan masif terjadi. Untuk itu, evaluasi atas pelaksanaan pendidikan dengan penekanan pada moralitas dan karakter menjadi penting untuk diperhatikan.
Korupsi bukanlah suatu persoalan tunggal. Ia merupakan akumulasi dampak dari segala ketimpangan yang terjadi dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Untuk itu, diperlukan pewacanaan kembali yang menyeluruh atas segala penyelenggaraan negara. Ketika moralitas dan karakter menjadi titik sentral malapetaka yang terjadi, pendidikan menjadi suatu instrumen strategis yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraannya. Hal ini kembali kepada kesadaran komunal. Apakah kita sebagai rakyat dan petugas negara mampu menempatkan keselamatan dan kejayaan negara diatas segala keserakahan dan ketamakan pribadi yang mengancam moralitas dan karakter negara? Mari terus berpikir dan bertindak !
*Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Aquinas PMKRI Cabang Yogyakarta edisi Mei-Juli 2016
**Penulis merupakan Sekjend Demisioner PMKRI Cabang Yogyakarta
KOMENTAR