Oleh: Rolyanus Perseveranda Nabal*
Guru adalah satu dari sekian banyak pelaku pendidikan dan
kehadirannya amat sangat penting bagi berlangsungnya sebuah dinamika pendidikan,
baik bersifat formal maupun non-formal. Guru sebagai jembatan antara siswa dan
ilmu pengetahuan yang sejatinya menjadi tujuan dari semua siswa yang mengenyam
dunia pendidikan.
Guru yang meskipun kehadirannya selalu dikaitkan dengan
fasilitator, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa guru juga merupakan sumber
pengetahuan bagi siswa memperoleh pengetahuannya selain buku dan berbagai media
dan sumber belajar lainnya.
Kehadiran guru selain sebagai fasilitator juga merupakan
seorang yang hadir untuk mendidik. Mendidik merupakan sebuah proses pembentukan
pola pikir dan tingkah laku menuju ke arah yang lebih baik. Pola pikir dan
tingkah laku yang baik dilihat dari bagaimana seorang siswa menempatkan diri
dalam proses kehidupannya, baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan
masyarakat umum.
Pembentukan pola pikir dan tingkah laku merupakan sebauh
proses yang amat sangat sulit dilakukan mengingat bahwa setiap orang pada
dasarnya memiliki pola pikir dan tingkah laku yang sangat berbeda dari yang
satu dengan yang linnya. Sehingga dalam proses mendidik, perlunya sebuah
pendekatan yang berbeda dari satu siswa dengan siswa yang lainnya adalah hal
yang sangat rentan terjadi.
Pendekatan yang berbeda tersebut antara lain berupa
pendekatan lunak dalam bentuk teguran (verbal) dan pendekatan non-verbal yang
salah satunya kontak fisik (yang masih bisa diterima akal sehat).Pendekatan-pendekatan
in adalah pendekatan yang biasa dilakukan oleh setiap guru apabila siswa dalam
hal pola pikir dan tingkah lakunya menyimpang baik dari aturan sekolah maupun
aturan yang telah anut oleh masyarakat pada umumnya.
Kekerasan Terhadap Guru
Dalam satu tahun terakhir, dunia pendidikan dibuat heboh
dengan maraknya tindakan kekerasan yang dialami oleh para guru. Tindakan
kekerasan tersebut dialami oleh para guru yang dilakukan oleh orangtua siswa
dan bahkan yang dilakukan oleh siswaitu sendiri dan tidak sedikit pula guru
yang berakhir di penjarabahkan sampai maninggal dunia.
Beberapa tindakan kekerasan yang dialami oleh para guru
tersebut diantaranya kasus pemukulan seorang guru yang dilakukan oleh seorang siswa
di salah satu lembaga pendidikan di Madura yang dimuat detik.com pada tanggal 02
Februari 2018, 06:09 WIB karena tidak terima mendapat sanksi berupa teguran dan
mencoret pipi dengan spidol karena sering kali melanggar aturan. Selain itu,
kasus pemukulan oleh orangtua siswa yang terjadi di salah satu lembaga
pendidikan menengah atas di daerah Kendari pada tanggal 20 Oktober 2017 sekira pukul 10.00 WITA (sumber:
okezone.com) karena ditegur atas tindakan siswa yang dinilai berbicara
tidak sopan kepada guru. Selain kedua kasus tersebut di atas, masih banyak lagi
tindakan kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan yang dialami oleh guru.
Tindakan-tindakan kekerasan tersebut lahir dari ketidakterimaan orangtua
maupun siswa atas pola didikan yang dilakukan oleh para guru. Kekerasan ini
lahir lebih banyak sebagai akibat pola didik dengan menggunakan pendekatan
non-verbal oleh guru. Dalih yang dipakai sebagai alasan melakukan tindakan
kekerasan ini cukup beragam yang salah satunya adalah pendekatan non-verbal
adalah pendekatan
yang tidak manusiawi. Dan dewasa ini, kekerasan yang terjadi dirasa cukup
lumrah dan patut dilakukan tanpa mengetahui sebab musabab pendekatan keras oleh
guru terpaksa dilakukan.
Ada berbagai alasan kenapa pendekatan non-verbal berupa
tindakan fisik (masih diterima akal sehat) harus dilakukan yakni karena
Dalih ini memang dapat diterima akal sehat, tetapi dalam
konteks pendekatan non-verbal (fisik), pendekatan dengan kekerasan memiliki
batasan-batasan yang masih diperhatikan oleh para guru. Hal ini berarti,
pendekatan secara fisik yang dilakukan oleh para guru masih dapat diterima akal
sehat, tidak menyebabkan luka parah dan bahkan membahayakan nyawa dari siswa.
Yang Melindungi Guru (?)
Dalam PP Nomor 74 Tahun 2008 telah dijelaskan posisi guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam Pasal 39 ayat 1 dijelaskan
bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang
melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis
maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan
pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang
berada di bawah kewenangannya. Dalam ayat 2 disebutkan, sanksi tersebut dapat
berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman
yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan
peraturan perundang-undangan. Pasal 40 disebutkan guru berhak mendapat
perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan
keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi
profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing. Dan
Pasal 41 menegaskan guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak
kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak
adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi,
atau pihak lain.
Namun, pada kenyataannya, PP tentang guru tersebut di
atas belumlah mampu melindungi guru dalam melihat masih maraknya guru yang
mendapatkan kekerasan dan terjerat hukum. Kekerasan dan terjeratnya guru dalam
kasus hukum tidak terlepas dari kurangnya penegasan dalam pelaksanaan peraturan-peraturan
tersebut di atas untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan sehingga
bahkan guru yang menjadi korban dari hukum itu sendiri.
Selain itu, PP tentang guru juga sangat tidak mungkin
ditegaskan mengingat adanya UU Perlindungan anak yang kenyataannya sangat
bertolak belakang dengan PP tentang guru, yakni diantara Pasal 77 huruf a UU
Perlindungan Anak tentang perbuatan diskriminasi terhadap anak. Pasal itu
berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi
terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun
moril sehingga menghambat fungsi sosialnya dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta”, Pasal 80
ayat 1 UU Perlindungan Anak, dan Pasal 335 ayat 1 kesatu KUHP tentang Perbuatan
Tidak Menyenangkan.
Pemerintah perlu menegaskan kembali PP tentang guru dalam
melindungi guru menjalankan tugas keprofesiannya yang salah satunya menetapkan
batasan-batasan dalam UU perlindungan anak untuk guru. Selain itu, penegasan
kembali Pasal 40 dan Pasal 41 adalah sebauh langkah yang sangat penting untuk
melindungi guru dari tindakan kekerasan oleh orangtua siswa dalam melaksanakan
tugas keprofesiannya.
*Penulis merupakan aktivis PMKRI
Cabang Yogyakarta, Pegiat di bidang Pendidikan
KOMENTAR