Oleh: Marz Wera*
Negara kita mengusung paham demokrasi. Berarti universalitas nilai adalah hakekat dasar prinsip hidup berdemokrasi. Kebebasan dan partisipasi warga menjadi sarana utama dalam penataan hidup baik bersama. Konteks yang demikian tampak juga dalam prinsip hidup beragama. Simpul pengikat antara agama dan demokrasi jelas, yaitu Pancasila.
Namun dua peristiwa mengawali tahun 2018 menjadi kerumitan dan tantangan sendiri soal gagasan negara demorasi dan praktik hidup beragama di negara demokrasi seperti Indonesia. Pertama, peristiwa penyerangan umat Kristiani yang sedang mengadakan ibadah, Gereja Santa Ludwina di Bedog, Sleman, DI Yogyakarta pada Minggu 11 Februari 2018.
Kedua, di media sosial beredar peristiwa yang sama terjadi di Palembang. Gereja Katolik Stasi Santo Zakharia di Dusun 3, Desa Mekar Sari, Kecamatan Rantau Alai, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Kamis (8/3/2018) dini hari (Tribun news).
Rupanya demokrasi belum sepenuhnya menjadi sarana utama dalam penataan hidup bersama sebagai bangsa dan negara. Meskipun prosesnya terus berjalan. Berbagai tindak kekerasan, intimidasi, ancaman, hingga perusakan rumah ibadah masih menjadi sarana yang paling dominan dalam mencapai tujuan politik pihak tertentu. ‘’Hukum tanpa pedang tidak akan ditaati’’ (Machiavelli). Inilah tantangan terbesar negara demokrasi. Apalagi Indonesia yang sangat beragam. Atas nama kebebasan-demokrasi orang bisa melakukan apapun sesuai dengan kemauan kelompoknya.
Hari-hari ini, perbedaan agama masih menjadi perdebatan di ruang publik. Apalagi ketika proses demokratisasi sedang bergulir. Dahulu Marx pernah mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat. Benar kata Marx. Realitas kehidupan umat beragama di negeri ini belum sepenuhnya benar-benar tulus dalam hal pluralisme dan wujud damai.
Bila demokrasi berhubungan dengan kebebasan, maka ruang gerak individu dalam tatanan sosial menjadi pedoman untuk membangun kebersamaan dan komitmen hidup bersama. Namun pertanyaan refleksinya, kebebasan yang seperti apa?
Dalam sejarah peradaban manusia, sebagai ideologi, agama bisa tampil dengan dua wajah. ‘’Sejuk’’ sekaligus ‘’seram.’’ Sejuk karena menjadi sumber inspirasi bagi kebajikan bersama. Seram karena bisa menjadi basis doktrinasi dalam melakukan tindakan destruktif.
Namun dalam politik, agama hadir untuk memperkuat keyakinan atas sumpah jabatan dan janji politik. Agama menjamin kepercayaan orang lain. Sehingga dunia politik dengan gampangnya memanfaatkan isu agama sebagai yang paling menjamin kepercayaan warganya. Hidup keagamaan akhirnya direduksi menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Kemanusiaan dan solidaritas
Perjalanan demokrasi perlu sebuah refleksi mendalam. Refleksi tersebut memperteguh esensi dari proses berdemokrasi. Demokrasi hadir berawal dari sebuah kesepakatan untuk memperjuangkan kehidupan bersama. Kesepakatan itupun terangkum dalam prinsip negara Pancasila, dimana latar belakang perbedaan suku, agama dan budaya bukan menjadi penghambat.
Demokrasi menjamin keberadaan setiap warganya. Hak individu ataupun kelompok akan terbatas ketika ia berhadapan dengan orang lain (kelompok lain). Baik dalam kelompoknya maupun di luar kelompoknya. Artinya ada kerterbukaan yang tertata. Ada kebebasan yang punya nilai etis sebagai wujud penghargaan pada sesama.
Prinsip hidup beragama adalah universalitas. Universalitas membuka ruang perjumpaan antara sesama untuk saling berinteraksi dan berdialog. Dalam bahasa filsafat adalah humanitas. Bagaimana kita hidup dalam kebersamaan. Menjalin relasi dengan lingkungan dan sesama. Di sinilah terbangunnya rasa solidaritas.
Pengalaman kebersamaan dalam kurungan kolonialisme sekian abad mendorong sesepuh bangsa ini tergerak hatinya untuk bergerak cepat mengembalikan keadaan. Semua itu terbentuk karena merasa senasib. Melihat sekelilingnya, manusia Indonesia sebagai pribadi yang beragama, ada rasa empati sosial, ada keterikatan yang terbentuk karena identitas dalam hal apapun akan kelihatan ketika kita berhadapan dengan orang yang berbeda.
Sesepuh bangsa ini khususnya yang beragama Islam ingin merdeka, tetapi mereka tidak mau berjalan menuju kemerdekaan itu sendiri, karena perjuangan mereka tidak membawa identitas apapun. Mereka merasa ada ikatan yang mengikat sebagaimana pesan keagamaan dari semua agama. Prinsip kebersamaan dan universalitas humanisme transendental adalah esensi hidup beragama. Semangat inilah yang dibungkus dalam solidaritas kebangsaan. Kemudian dibingkai dalam Pancasila oleh Soekarno bersama para tokoh perjuangan sebagai nada dasar bernegara.
Mangunwijaya sangat tepat soal konteks ini, bahwa, “nasionalisme Indonesia historis memang tumbuh karena keibaan hati, dan Republik Indonesia diproklamasikan atas kesetiakawanan sosial dengan the underdogs”. Singkatnya adalah solidaritas kebangsaan.
Membingkai martabat manusia
Secara harfiah, demokrasi, dari bahasa Yunani demos: rakyat dan kratein: menguasai. Kekuasaan dari rakyat untuk rakyat: demokrasi. Kekuasaan yang menjamin martabat manusia. Demokrasi membuka ruang kebebasan kepada warganya sekaligus mengatur pemaknaan tatanan sosial bersama. Tuntutan hak-hak individu dan kelompok akan punya batasan ketika hidup bersama dalam ruang demokrasi.
Dalam demokrasi, hakekat manusia diciptakan berbeda. Ia tidak seragam. Begitu juga dalam ajaran semua agama. Lahirnya bangsa ini, tidak dari satu keseragaman. Keseragaman justru lahir dari kesepakatan yang mengikat, ada rasa empati dan solidaritas sosial ketika terkurung dalam payung kolonial. Perjuangan tidak dilalui hanya oleh kelompok tertentu, melainkan kesatuan elemen yang berbeda.
Bila perbedaan menjadi hal yang terus diperdebatan maka solidaritas tidak akan terwujud. Karena pada hakekatnya kita sudah berbeda. Paham demokrasi lahir dari perbedaan. Demokrasi membuka ruang partisipasi warga untuk mengatur sendiri tatanan hidupnya. Segala aturan berdasarkan tatanan bersama. Tidak boleh mengakomodir satu kelompok saja. Kepentingan bersama adalah tujuan utama demokrasi. Demokrasi mengharuskan kekuasaan yang beretika. Punya moralitas dalam kebersamaan.
Demokrasi memungkinkan pemulihan martabat manusia. Ketika kepentingan umum menjadi patokan maka martabat manusia dihargai di situ. Yang perlu diperdebatkan dalam demokrasi adalah perbedaan pendapat bukan agama. Agama merupakan urusan pribadi manusia yang sangat intim dengan Sang Khalik. Keduanya punya hal yang sangat prinsipil yaitu universalitas. Agama memberikan refleksi dan penyadaran kepada manusia dalam memahami demokrasi ketika proses demokratisasi sedang berjalan. Hidup beragama menjadi dasar pembentukan demokrasi.
Gejala sosial bangsa kita yakni sentimen keagamaan justru mendominasi ruang publik. Demokrasi mengharuskan perbedaan pendapat, karena berawal dari pemikiran individu. Ada tuntutan untuk memenuhi hak. Namun hak tersebut akan dibatasi oleh kehadiran yang lain. Demokrasi menjawab konteks yang demikian.
Demokrasi memungkinkan bahwa semua agama mengajarkan pentingnya menghargai kemanusiaan, humanisme transenden. Pada kesempatan yang lain demokrasi membuka ruang perjumpaan. Saat yang sama prinsip humanitas terwujud. Kesempatan dimana orang-orang hadir berdialog. Saat dimana orang akan menyadari segala sesuatu tentang diri dan kelompoknya. Sementara pada konteks yang lain adanya usaha-usaha untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yaitu humaniora.
Gejala sentimen keagamaan akhir-akhir ini, terus terjadi karena agama sering dipolitisasi. Agama dimanfaatkan oleh oknum ataupun kelompok tertentu untuk memobilisasi massa sebagai basis dukungan dalam menempuh tujuan politik. Demokrasi memupuk rasionalitas publik bukan rasionalitas sarana, atas kepentingan bersama, sedangkan agama memupuk semangat soliditas bersama.
Dengan itu, prinsip universalitas menjadi simpul antara agama dan demokrasi. Kehadiran yang berbeda semakin memperkuat dan memperjelas identitas yang lain. E Levinas, filsuf Perancis, merumuskan dengan sangat bagus seperti ini "Hubungan tidak menetralisasi yang lain, tetapi memelihara yang lain. Yang lain sebagai yang berbeda bukan menjadi objek yang menjadi milik kita atau menjadi kita, tetapi menarik diri dalam misterinya".
*Penulis adalah Pengurus Pusat PMKRI Periode 2018-2020
KOMENTAR