Jakarta, Katakanlah - Diskusi
yang dimoderatori oleh Yensiana dari Lembaga Pemberdayaan Perempuan PP PMKRI
dengan mengusung tema “Perempuan Indonesia di Tengah Prahara Perdagangan Orang”
tersebut menghadirkan empat pemateri yakni, Thaufiek Zulbahary (Komisioner
Komnas Perempuan), Siti Badriyah (Migrant CARE), M. Restu Hapsari (Sekjend
TMP), Joseph Badeoda (DPR RI).
Hari
Kartini (21 April) adalah sejarah bagi Bangsa Indonesia untuk mengenang sosok
dan pemikirannya dalam meperjuangkan
hak-hak perempuan. hingga pada saat ini, perjuangan Kartini masih dijadikan
spirit bagi perempuan Indonesia dalam meningkatkan kesetaraan gender. adapun Sukarno
dalam bukunya Sarinah menjelaskan: “nasib kaum wanita Indonesia tergantung dari
tangan mereka sendiri.” Kaum laki-laki harus terus mengingatkan dan memberikan
keyakinan kepada kaum wanita Indonesia tentang pentingnya mereka ikut dalam
gerak perjuangan.
Presidium
Pengembangan Organisasi, Nus Daso dalam sambutannya menyatakan, Hari Kartini merupakan momentum yang baik
untuk merefleksikan situasi perempuan masa lampau dan masa sekarang untuk mempertegas
kedudukan dan peran perempuan. Lebih lanjut, dia menegaskan posisi PMKRI sebagai
garda terdepan untuk membela hak-hak perempuan yang terenggut karena persoalan Human trafficking melalui kajian, capacity building, advokasi, dan
pemanfaatan networking.
Di
Indonesia, tokoh feminis yang paling terkenal adalah Raden Ajeng Kartini. Keberanian
dan pemikirannya yang menentang dominasi budaya patriarkis yang mengesampingakan
perempuan hingga pada akhirnya, pemikiran Kartini diterima sebagai dasar dan
gerakan bagi perempuan Indonesia untuk terus maju dalam pusaran kesetaraan
peran laki-laki dan perempuan.
Di
akhir abad 20, gerakan feminis banyak dipandang sebagai sempalan gerakan
Critical Legal Studies, yang pada intinya banyak memberikan kritik terhadap
logika hukum yang selama ini digunakan, sifat manipulatif dan ketergantungan
hukum terhadap politik, ekonomi, peranan hukum dalam membentuk pola hubungan
sosial, dan pembentukan hierarki oleh ketentuan hukum secara tidak mendasar.
Perempuan Indonesia dalam
Pusaran Human Trafficking
Fenomena
human trafficking (perdaganagan
manusia) merupakan salah satu masalah kontemporer yang tengah mendapat
perhatian serius. Karakteristiknya bersifat represif dengan tujuan eksploitasi
manusia (individu atau kelompok). Luasnya pengaruh dampak ancaman yang
ditimbulkan, membuat isu human trafficking diklasifikasikan sebagai bentuk
kejahatan luar biasa. dan hal ini menempatkan perempuan pada posisi teratas
sebagai objek dan korban perdagangan manusia.
“Perdagangan
orang adalah suatu jenis kejahatan luar biasa terhadap martabat manusia yang
dilakukan secara sistematis dan massif”, demikian, Yosep. B. Badeoda, Anggota
DPR RI yang membidangi Komisi Hukum dan HAM.
Meski demikian, Undang-Undang kita tidak menegaskan
kejahatan tersebut sebagai kejahatan luar biasa sama seperti korupsi dan
perdagangan narkoba. “Tapi sayangnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Perdagangan Orang memandang kejahatan tersebut sebagai jenis kejahatan biasa,”
ungkap politisi Partai Demokrat.
Laporan UNAFEI tahun 2004 menunjukkan bahwa sepertiga
dari jumlah perdagangan manusia di seluruh dunia adalah perempuan dan anak,
dengan jumlah berkisar 200.000 – 225.000 orang tiap tahun.
International
Organization for Migration (IOM) mencatat, pada
periode Maret 2005 hingga Desember 2014, jumlah human trafficking di
Indonesia mencapai 6.651 orang. Dari jumlah itu, 82 persen adalah
perempuan yang bekerja di dalam dan di luar negeri sebagai tenaga kerja
informal dan 18 persen merupakan laki-laki yang
mayoritas mengalami eksploitasi ketika bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK). Dikutip
dari Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN) tahun 2015, mayoritas korban
sindikat perdagangan manusia didominasi kelompok Buruh Migran Indonesia (BMI) yang
lazimnya dikenal sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). hingga pada Juni 2017, di
antara 6.940 korban perdagangan manusia di Indonesia, sebanyak 970 di antaranya
anak perempuan dan 5.907 merupakan perempuan dewasa.
Pasal
1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (PTPPO) mendefenisikan human traficcking sebagai tindakan
perekrutan, penampungan, pengangkutan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan
seseorang. 3 Modus sindikat perdagangan manusia termanifestasi dalam beragam
bentuk yaitu Perdagangan anak dengan tujuan
untuk eksploitasi seksual dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang
signifikan.
Restu Hapsari, Sekretaris Jenderal DPP Taruna Merah
Putih menyebut kejahatan perdagangan orang sebagai kejahatan yang sistemik dan
bertujuan eksploitatif sehingga merugikan korbannya. “Ketika manusia dijadikan komoditas,
memindahkannya dengan semena-mena, sarat dengan berbagai pelanggaran dan tindak
kejahatan dan kesewenang- wenangan yang berlandaskan kekuasaan dengan tujuan
eksploitasi tenaga kerja untuk berbagai kepentingan yang merugikan korban dan
menguntungkan pihak lain, maka tindak pidana perdagangan orang yang terjadi.” ucapnya
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa penyelesaian kasus
perdagangan orang sampai sekarang masih terkendala buruknya sistem hukum kita
yang cenderung mengobati daripada mencegah. Banyak kasus perdagangan orang
diatasi setelah korban melaporkan ke pihak yang berwajib, bukan atas inisiatif
penegak hukum untuk mencegah kejahatan itu terjadi. “Sistem hukum kita buruk
sehingga sulit mengantisipasi kejahatan tersebut, minimnya kesadaran masyarakat
tentang bahaya perdagangan orang, minimnya sosialisasi tentang sistem
perundang-undangan, dan dampak kemiskinan yang membuat orang berani menantang
maut,” ujarnya.
Sampai dengan saat ini di Indonesia diperkirakan
40.000 – 70.000 anak Indonesia telah menjadi korban trafficking in persons khususnya
korban eksploitasi seksual komersial terutama ditemukan di Bali, Lombok dan
Batam. Women’s Crisis Center (WCC) Palembang mendampingi 37 perempuan
korban trafficking in persons tahun 2006 dan tahun 2007 menjadi 89
orang. Kenaikannya hampir 200 persen.
Mengapa terjadinya
perdagangan perempuan di Indonesia?
Terdapat
aspek universal yang melatarbelakangi terjadinya perdagangan manusia. Siti
Badriyah dari Migrant CARE dalam acara diskusi tersebut menjelaskan beberapa
faktor seperti: Kemiskinan, Ketiadaan
lapangan pekerjaan, Pendidikan Korban KDRT, jeratan utang, putus sekolah, pendapatan
di dalam negeri masih rendah, da daya tarik gaji tinggi di negara tetangga. kemudian
ia menambahkan, “fase pemindahan
korban dari satu lokus ke lokus lain sangat mudah, karena berbagai faktor
seperti Pengawasan/ inspeksi migrasi tidak jalan, migrasi sentralistik di
kota-kota besar, sehingga pemindahan dianggap wajar, daerah asal dan transit
belum ada koordinasi, komitmen bersama, apalagi mutual agreement, calon korban
dan keluarga terbatas informasinya, pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat umum
tentang trafficking belum menyeluruh, dan lemahnya aparat penegak hukum untuk
mengintervesi sindikat perdagangan manusia” pungkasnya.
Kemudian
Thaufiek Zulbahary dari Komnas Perempuan menambahkan bahwa faktor
yang turut serta merestui perdagangan perempuan adalah, lemahnya
penegakan hukum (law enforcement) kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang
issue perdagangan orang, kurangnya sosialisasi perundang-undangan terkait issue
perdagangan orang, pengangguran
dan kemiskinan di beberapa daerah di Indonesia.
Perdagangan orang terjadi bukan saja karena sistem
yang memungkinkan semua itu terjadi, tetapi juga karena faktor kemiskinan
structural di satu sisi yang membuat orang-orang miskin semakin terhimpit oleh
tekanan ekonomis sedemikian sehingga masyarakat miskin nyaris tak punya pilihan
selain ke luar negeri untuk menyambung hidup. Sayangnya, pilihan ke luar negeri
juga bukan tanpa akibat. Tak jarang mereka harus berhadapan dengan maut, dan
berujung pada kematian. Merupakan kewajiban semua pihak untuk meminimalisir
kejahatan ini di samping perarturan perundang-undangan yang melindungi segenap
tumpah darah Indonesia dan perhatian pemerintah dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan umum sehingga kecil kemungkinan orang Indonesia ke luar negeri
untuk menyambung hidup.
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia
sebagai organisasi kemahasiswaan harus mengambil bagian di dalam upaya
meminimalisir perdagangan orang sesuai dengan visinya “terwujudnya kemanusiaan,
persaudaraan sejati, dan keadialan sosial”.
“PMKRI harus terlibat secara aktif di dalam usaha untuk mengurangi angka
perdagangan orang sesuai dengan tuntutan visi dan misinya dan perjuangannya
bersama dengan kaum tertindas”, tutup Restu Hapsari.
KOMENTAR