HEGEMONI
KEKUASAAN DI ERA REFORMASI
Oleh:
Thomas Tukan[1]
Tulisan ini sebagai persembahan 20 tahun hari reformasi
Indonesia tanggal 21 Mei 2018. Mengevaluasi reformasi bagi saya tidak hanya
dilihat secara tahun per tahun berdiri sendiri, namun menjadi utuh apabila
evaluasi tersebut dilihat secara komprehensip dalam langkah satu periode setiap
kepemimpinan. Sebab rangkaian tahun yang berdiri sendiri tersebut akan
membentuk kesatuan kebijakan periodesasi negara dalam frame siapa pemimpinnya dan bagaimana kebijakannya.
Setelah orde baru memegang, mengendalikan dan
mempertahankan pemerintahan secara status
quo, lahirlah reformasi sebagai angin segar bagi masyarakat Indonesia. Reformasi (reform)
yang berarti memperbaiki atau memperbaharui, diharapkan mampu memberikan
perbaikan negara ke arah yang baru meliputi segala hal, berupa: sistem,
mekanisme, aturan, kebijakan, tingkah laku, kebiasaan, cara-cara, atau praktik
yang selama ini dinilai tidak baik dan diubah menjadi baik[2].
Soeharto mengeluarkan kebijakan Penanaman
Modal Asing (UU No.1/1967) di awal orde baru sekaligus sebagai pintu masuk investor asing melakukan penjarahan di
tanah air Indonesia. Orde baru
menyebabkan Soehartois menjadi mafia kapitalis yang tumbuh dan berkembang
menjadi sebuah kekuatan 1 persen kelompok inteketual yang menguasai kekayaan
Indonesia. Segelintir orang pentolan orde baru inilah yang menjadi aktor
pembawa pengaruh pola orde baru menjadi sebuah iklim hegemoni dalam sistem
pemerintahan era reformasi sekarang. Jelmaan kekuatan ini selalu mengevolusi
dari masa ke masa di era reformasi, semakin menguat dari satu kekuasaan ke
kekuasaan berikutnya hingga bisa diprediksi berada di titik nadir di kekuasaan
Jokowi-JK hari ini.
Sebagai pertanyaan pengantar saya mengapa dan bagaimana
negara bisa mendapatkan consensus atas kekuasaannya terhadap masyarakat? Negara
dalam segala kebijakannya selalu ada upaya penjinakan terhadap rakyat. Menurut
Antonio Gramsci[3]
kebijakan yang destruktif bisa menggunakan dua kekuatan hegemoni yaitu: Means of Coercion: Senjata dan Means of Establishing Hegemonic Leadership:
Media. Pada masa orde baru dua kekuatan ini ada dan sangat terasa. Pemerintah
mengendalikan kebijakannya lewat gerakan militer dan tentara dijadikan sebagai
alat politik. Sangat jauh dari harapan welfare
state dimana mimpi negara sebagai alat kesejahteraan. Masyarakat didekatkan
pada tungku pembangunan yang sangat kapitalis yang efek pengisapannya sampai
hari ini memasuki ulang tahun reformasi ke 20 masih kita dirasakan.
Hegemoni negara harus dipahami dari analisis terhadap
kelas dominan (kelompok intelektual) dalam suatu negara, seluruh aspeknya harus
diperhatikan sebagai kekuatan penguasa (force)
lalu ditambah persetujuan masyarakat (consent).
Ini merujuk pada situasi sosial politik dimana falsafat dan praktik sosial
masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang[4].
Hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai kelas oligarki.
Dan ini bisa dirasakan dalam pemerintahan Jokowi, ketika hegemoni itu
dikendalikan oleh kelompok oligarki 1 persen (kapitalis peninggalan orde baru)
yang menguasai 65 persen kekayaan Indonesia dan kru Soeharto (militerisme) yang
sekarang sedang berada dalam sistem pemerintahan RI. Bahkan kekuatan ini telah
berdiaspora membentuk stasiun TV dan partai-partai politik. Refleksi empat
tahun pemerintahan Jokowi semakin menjauh dari 6 (enam) amanat reformasi yang
tertuang dalam ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi. Gugatan
terhadap keenam pokok reformasi dapat saya utarakan sebagai berikut:
1)
Penegakan
supremasi hukum di Indonesia yang masih belum tegas. Terlepas banyak kekosongan
hukum, tumpang tindihnya hukum dan beberapa catatan hukum yang diskriminatif,
dari sisi penegakan juga masih dalam campur tangan dan interfensi politik.
2)
Sebagai
upaya pemberantasan terhadap KKN, posisi KPK semakin diperlemah dengan upaya
tekanan dari pemerintah dan DPR terhadap lembaga ini. Pelemahan KPK mencapai
titik paling mencemaskan dimana bila sampai KPK dibatasi wewenangnya maka
penghapusan KKN akan semakin sulit dilakukan. KPK sering dikriminalisasi.
Penyelidikan atas penyerangan terhadap penyidik senior Novel Baswedan dengan
air keras seolah mandek setelah berjalan 1 tahun dengan mengisahkan pertanyaan
siapa otak kejahatan ini. Pernyataan Presiden Jokowi yang berulangkali
menyampaikan akan memperkuat KPK sampai hari ini baru sebatas wacana dan belum
dikonkritkan dengan berdiri bersama KPK dan gerakan anti-korupsi[5].
3)
Sampai
hari ini tidak pernah ada pengadilan atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan
oleh Soeharto dan kru nya. Ada sejumlah utang sejarah pelanggaran HAM masa
lalu, misalnya Penculikan Aktivis dan kasus Trisakti, Semanggi I dan II, yang
harus dilunasi oleh negara. UU HAM No. 39 Tahun 1999 sebagai produk reformasi
telah menegaskan negara perlu membentuk dua lembaga yaitu: Komnas HAM dan
Pengadilan HAM. Namun sampai sekarang pengadilan HAM di Indonesia masih
bersifat Ad Hoc dan belum didorong
menjadi sebuah lembaga peradilan (permanen) yang independen. Ada ketakutan
negara untuk membongkar dosa sejarah atas dirinya sendiri. Hal ini dibuktikan
dengan sampai hari ini tidak pernah ada pengadilan atas kejahatan kemanusiaan
yang dilakukan oleh Soeharto dan kru nya. Bahkan kejahatan kemanusiaan yang
dilakukan Soeharto dan kru nya tidak pernah tersentuh pengadilan dan para
pelakunya justru mendapat impunitas. Impunitas itu masih terus diberikan sampai
sekarang dan bahkan Presiden Jokowi mengangkat sejumlah perwira yang seharusnya
bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan seperti masuk dalam jajaran pejabat
negara.
4)
Semangat
amandemen UUD Negara RI Tahun 1945 belum menyentuh sampai ke seluruh UU
pelaksananya. Konstitusi yang diharapkan harus berkedaulatan rakyat namun masih
ada yang jauh dari rakyat. Misalnya: UU No. 2 Tahun 2018 Tentang MD3
menyebabkan ada jarak bahkan terputusnya hubungan antara rakyat dan
perwakilannya. Sikap presiden yang tidak menandatangani UU tersebut sampai
tempo waktu berlakunya menjelaskan bahwa presiden Jokowi tidak memiliki sikap
tegas. Polemik UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang menjadi bermasalah dalam
pelaksanaannya karena dinilai tidak tidak berdasarkan semangat Pancasila dan
menabrak UUD 1945. Masih banyak UU lainnya bila dikaji secara baik berpotensi
tidak bersesuaian dengan Konstitusi Dasar kita.
5)
Pencabutan
hak politik tentara dan mengembalikan fungsinya sebagai pelindung rakyat dari
ancaman musuh negara adalah keinginan rakyat Indonesia. Selama 32 tahun
masyarakat Indonesia melihat bagaimana kisruhnya dwi-fungsi ABRI yakni ketika
politik dan senjata bersatu sehingga tentara tidak bersikap profesional dan
tidak setia melindungi rakyat. Namun beberapa tahun terakhir, peran politik sipil
kembali diberikan kepada tentara[6].
Ada sejumlah kebijakan pemerintahan yang melibatkan TNI dalam urusan sipil
misalnya:
·
MoU TNI dan Kementerian Pertanian dalam
mendukung kedaulatan pangan. Keterlibatan TNI diminta dalam
program bantuan produksi pangan di Kementerian Pertanian;
·
MoU TNI dan Kementerian Desa dan Daerah
Tertinggal dalam menyukseskan pembangunan kawasan perdesaan di Indonesia dan
pengawasan dalam penggunaan Dana Desa.;
·
MoU TNI dan PT. Bank Central Asia
Tbk (BCA) terkait dengan penyaluran bantuan Corporate
Social Responsibility (CSR);
·
MoU TNI dan Kementerian Agraria dan Tata
Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengenai Pensertipikatan dan
Penanganan Permasalahan Tanah Aset Kementerian Pertahanan RI/TNI. Ada dugaan
tanah-tanah tersebut merupakan hasil rampasan era orde baru oleh militer;
·
MoU TNI dan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan tentang perluasan dan peningkatan mutu layananan pendidikan dan
kebudayaan. Personel TNI akan dilibatkan dalam program pendidikan mulai dari
tingkat pendidikan anak usia dini hingga menengah atas atau SMA;
·
MoU TNI dan Kementerian Perhubungan terkait
pengamanan obyek vital;
·
MoU TNI dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
bertujuan sebagai wujud dukungan para pihak dalam penanganan pembangunan
infrastruktur yang bernilai strategis bagi NKRI dengan tujuan untuk melanjutkan
program pemerintah dalam rangka penanganan pembangunan infrastruktur;
·
MoU TNI dan BNPB dimaksudkan untuk meningkatkan
kerja sama para pihak dibidang penanggulangan bencana dengan tujuan sebagai
pedoman dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana secara cepat, terencana,
terorganisir dan terpadu;
·
MoU TNI dan BNPT terkait
upaya penanggulangan terorisme;
·
MoU TNI dan Kementerian BUMN dalam rangka
optimalisasi sumber daya BUMN dan sebagai bentuk sinergi saling mendukung
pelaksanaan tugas dan fungsi TNI dengan kemeterian BUMN;
·
MoU TNI dan Polri
melibatkan aparat TNI dalam fungsi kepolisian seperti menghadapi unjuk rasa dan
mogok kerja. Kerja sama soal
Kamtibmas ini membuat TNI Seperti di Era Orba sebab TNI dalam persoalan menjaga
ketertiban tidak sesuai dengan amanat reformasi.
Poin dikritik dari
semua kerja sama di atas karena saya menilai sebagai kemunduran dari amanat
reformasi. Jika tanpa pengawasan yang intens dan ketat maka MoU itu rentan
bertentangan dengan Undang-Undang dan agenda reformasi TNI. Bahkan hari ini ada
wacana didorongnya pelibatan TNI dalam urusan penanganan Tindak Pidana
Terorisme dalam RUU yang sedang dibahas oleh DPR RI. Ini semakin memperkuat
politik militer dalam kekuasaan negara tanpa kita menyadari akan hal ini.
6)
Adanya
otonomi daerah yang semakin luas dan menciptakan raja-raja kecil di setiap
daerah. Otonomi ini sekaligus menciptakan lahan KKN baru di setiap daerah
otonom, yang menjadikan kerja KPK semakin komples.
Kritik ini juga saya sampaikan dengan melihat kebijakan
pemerintahan hari ini yang tidak jauh beda dengan proses daur ulang kebijakan masa
lalu. Pemerintah bisa jadi gagal paham terkait konsep reformasi agrarian dalam
Nawacita. Sangatlah keliru kalau reformasi agrarian hanya dipahami sebagai
sertifikasi tanah. Reformasi agrarian dengan gerakan sertifikasi tanah hanya
untuk pemenuhan standar negara investasi bagi IMF dan World Bank. Utang luar negeri yang meningkat pada akhir 2017 tercatat sebesar 347,3 miliar dollar
AS atau sekitar Rp 4.636,455 triliun dengan kurs pada tanggal 21 Mei 2018
menembus level Rp. 14.200 per dollar AS[7]
(tidak stabil). Angka kurs naik tiga poin dari posisi sebelumnya di level Rp.
14.197 dan jumlah utang naik 9,1 persen secara tahunan. Wacana pembangunan
manufaktur industri Indonesia akan dibuat beberapa waktu kedepan namun
diskriminatif terhadap hak buruh terus berlanjut, misalnya dengan terbitnya PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan dan Perpres No.
20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Masa
kepemimpinan presiden Jokowi sangat dirasakan kekuatan kritis publik Indonesia
hampir lumpuh. Di beberapa wilayah terjadi sejumlah tindakan represif aparat
terhadap gerakan aksi massa. Banyak Perppu di era Jokowi yang dikeluarkan
dengan gampang dengan tidak secara penuh mendasari pada alasan kekosongan hukum
dan kegentingan memaksa. Ada kesan pemerintah menjadikan konsep negara kesejahteraan (Welfare State) yang harus didasari rule of law menjadi rule by the law. Janji politik Jokowi yang menuntaskan pelanggaran
HAM di masa lalu sampai sekarang pemerintahan tidak ada keseriusan dalam
menuntaskan kasus impunitas. Ada sejumlah kantor perwakilan HAM di daerah
kemudian ditutup dengan alasan pemerintahan kekuarangan dana. Kondisi dan
situasi yang berlangsung di Indonesia saat ini, memperlihatkan perempuan, LGBT
dan kebebasan kepercayaan serta agama lokal masih mengalami diskriminasi,
kekerasan, intimidasi, hingga kriminalisasi. Kekerasan terhadap persoalan
penggusuran, pemiskinan, ketenagakerjaan, agraria, sumberdaya alam, pendidikan,
kesehatan, akses pekerjaan dan masalah-masalah sosial lainnya memberikan dampak
yang signifikan pada kehidupan kelompok ini. Pemerintah sangat lemah terkait
sorotan publik atas pembangunan mega proyek kelapa sawit di tanah papua. Ada
dugaan proyek ini berdampak pada kejahatan genosida yang tersistematis dan
perampasan secara masif terhadap Hak Asasi Ekosob (Ekonomi, Sosial dan Budaya)
masyarakat Papua. Pemerintah sebagai penengah semestinya harus bisa
memperhatikan nasib masyarakat luas dari pada kepentingan para elite semata.
Mencermati rangkaian peristiwa tindakan pengeboman yang dilakukan oleh teroris
di wilayah Indonesia dalam beberapa hari yang lalu, menjadi sebuah “Rapor
Merah” dari publik terhadap Pemerintahan Indonesia melalui pihak Kepolisisan
Republik Indonesia (Polri) dan Badan Intejen Negara (BIN). Peristiwa teror
berantai ini menunjukan bahwa
masih ada sikap pembiaran oleh negara terhadap gerakan organisir teroris di
Indonesia, juga menjadi kelalaian dari Polri dan BIN dalam penanganan kejahatan
terorisme. Hal ini menjadi kritikan saya terhadap profesinalitas dan
transparansi kerja BNPT melalui Densus 88 dan BIN.
Pada sisi lain selama empat tahun sedemikan hebatnya
apresiasi masyarakat terhadap kepemimpinan Jokowi yang oleh Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) pada tahun 2018 mengatakan kepuasaan publik terhadap kinerja
Jokowi sebesar 74,90 persen. Tuaian apresiasi ini jauh panggang dari bara api
bila dikaji dari sudut pandang tujuan reformasi yang dicita-citakan. Secara
tidak sadar ada gerakan (silent dan smooth) yang mempengaruhi kepatuhan
masyarakat secara utuh atas kekuasaan tersebut[8].
Ada kekuatan ideologis kapitalisme-militerisme yang terjadi di Indonesia dan
alat untuk mendorong capaian ideologis tersebut membutuhkan kekuatan tokoh atau
orang sebagai penggerak. Kemasan tokoh penggerak itu ada pada diri Jokowi yang
oleh publik dilihat sebagai orang yang populis. Dua puluh tahun era reformasi
tidak jauh beda dengan orde baru. Bila orde baru penyatuhkan kekuatan ada pada kapitalisme-militerisme
berwajah diktaktor maka di era kekuasaan Jokowi penyatuhan kekuatannya adalah
kapitalisme-militerisme berwajah populis. Ada kesamaan dalam kekuatan kekuasaan
namun berbeda dalam cara pendekatan. Hegemoni itu tidak mengalir lewat kebijakan
saja, tetapi penguasaan media sosial masif dalam kontrol rel kaum intelektual
kapitalis yang berada di pusaran pemerintahan (oligarki).
Belajar dari pengalaman hegemoni yang
dimainkan oleh Jacobin[9]
dalam menciptakan bangsa Perancis, ia menentukan watak kerakyatan dari hegemoni
yang mereka bangun, dengan cara mengorganisir kehendak kolektif nasional
rakyat. Hal ini menjelaskan bahwa penyatuhan berbagai gerakan dalam prosesnya
tidak terlepas dari perubahan pandangan dan kesadaran masyarakat yang terlibat
yang oleh Gramsci disebut refolusi moral dan intelektual. Bila dipahami secara
historis sebuah negara yang pernah mengalami reformasi, antara aspirasi
nasional dengan aspirasi rakyat dalam sebuah reformasi tersebut kaum
“intelektual” memainkan perantara penting di dalamnya. Pengalaman inilah yang
terjadi di era pemerintahan Jokowi-JK. Gagasan nasional-kerakyatan mungkin
paling tepat dan akan mudah dipahami sebagai gerakan hegemoni. Apalagi saat
kekuatan hegemoni tersebut praktis tidak lagi memiliki rival (oposisi politik)
yang seimbang maka kekuatan hegemoni ini bisa jadi mengarah pada kesewenangan.
Dan kelompok inteketual orde baru tetap menguasai segala sumber daya yang ada
di bangsa.
Menurut Lenin, basis kritis tidak harus
ditunggu tetapi harus diusahakan, diciptakan dan direkayasa[10].
Paska reformasi sangat direfleksikan bahwa gerakan mahasiswa sangat lemah
sebagai ruang control terhadap perkembangan bangsa. Refleksi ini didasari
minimnya kelompok radikal-transformatif di kampus-kampus yang menjadi kegelisahan
tersendiri apakah transformasi sosial dapat mungkin terjadi lagi. Tragisnya
hari ini justru pada level gerakan sosial muncul fragmentasi dalam
gerakan-gerakan reaksioner yang elitis. Hal ini mungkin terjadi karena
keringnya ruang mediasi intelektual sebagai basis dialektika-refleksi atas
sekian aksi yang dilakukan. Sebuah hal yang mustahil kerangka kerja
revolusioner itu akan tercipta tanpa adanya sebuah transformasi wacana yang
masif dan tradisi dialektisnya yang tertuang dalam narasi gerakan yang sistemik.
Bahkan pada tataran penguasaan media juga ikut terjebak dalam iklim hegemoni
yang sedang dimainkan oleh kelompok inteketual dalam pemerintahan. Harapan
bahwa evaluasi 20 tahun reformasi ini bisa menyatuhkan kembali budaya kritis di
basis mahasiswa. Sebab bagaimana pun juga energi perubahan bangsa itu lahir
dari konstruktif pikiran dan sikap gerakan kritisnya generasi muda sebagai
penggerak masa depan bangsa. Pengaruh hegemoni ini bila tidak ada gerakan yang
menjadi “penginjak rem” maka energinya bisa semakin terjun bebas paska tahun
politik 2019.
[1] Wakil Sekjend PP PMKRI Periode 2018-2020
[2] Hlm. 112.,Miftah Thoha, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era
Reformasi, Jakarta, 2016
[3] Hlm. 447., Nur Sayyid Santoso Kristeva, Manifesto Wacana Kiri,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2015
[4] Hlm. 49., Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci Negara dan
Hegemoni, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2015
[6] Ibid.,
[7] Hlm. 12.,Makalah Laporan Bank Indonesia (BI), Utang Luar Negeri
Indonesia (ULN), 2018
[8] Roy Murtodho, Makalah materi Hegemoni dalam kegiatan KALABAHU LBH
Jakarta, 2018
[9] Hlm. 421.,Nur Sayyid Santoso Kristeva, Manifesto Wacana Kiri,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2015
[10] Ibid.,Hlm. 438
KOMENTAR