Gambar diambil dari sini |
Oleh: Fandis
Nggarang*
Hashtag dalam konteks
media sosial sudah merupakan proposisi tersendiri. Ia bisa seperti suara ‘hm’
yang berarti ‘iya’ atau bahkan ‘tidak’. Atau juga ‘ah’ yang menunjukkan adanya suara
kesakitan atau bahkan bahagia. Dalam hashtag,
struktur SPOK tidak perlu dihadirkan
karena ia sudah mengatasi keterbatasan ruang dan waktu, seperti dalam twitter
yang mengalah oleh tuntutan jumlah karakter (ruang) dan kecepatan membaca yang
menjadi ciri warganet (waktu); singkat, padat, dan jelas. Ia begitu kuat melekat dalam praktik diskursif
sebagai tanda yang tidak hanya sekedar ‘menyampaikan sesuatu’. Saya memaknainya
sebagai penanda yang di dalamnya memuat ajakan atau bahkan gugatan untuk melakukan
sesuatu. Oleh karena itu hashtag bagi
saya sudah merupakan tindakan, sebagaimana berbahasa itu sendiri yang sudah
merupakan praksis yang tidak hanya menyalin realitas tetapi juga
menciptakannya. Tetapi, tindakan untuk apa yang mau diajak oleh hashtag?
Hashtag adalah operasi
yang menunjukkan kecanggihan bahasa, karena di dalamnya dimensi kognitif kita
bertemu dengan pengalaman dan mengkonstruksi model mental kita dalam melihat
sesuatu. Inilah yang menyebabkan kita, barangkali secara sekilas, terpapar
ingatan pada ‘perang hashtag’
beberapa bulan terakhir yang ujung-ujungnya menganggap tanda itu sebagai indeks
atau simbol politis. Dalam hal ini, hashtag
memang menyimpan ingatan dan mengandaikan adanya pengetahuan bersama yang sudah
merupakan keniscayaan bagi siapapun yang melebur dalam ruang bersama seperti
media sosial. Tetapi ingatan seperti apakah yang paling kuat dimunculkan ketika
kita mendengar #Kita_Indonesia? Pengetahuan bersama apa yang bisa seseorang
ekstraksi dari silang sengkarut informasi yang ia terima dari jagat maya?
Dalam teori
diskurs kritis, bahasa sudah bersifat ideologis dan karenanya harus dicurigai.
Operasinya bersifat halus dan mengekses pra sadar kita. Dalam bahasa, ide bisa
dibekukan menjadi ideologi, hingga mandeg menjadi mitos. Dalam keterangan inilah,
apapun yang coba dibangun oleh kata ‘pancasila’, misalkan, atau ‘bhinneka’
harus tetap dicurigai, apalagi logika dikotomis atau oposisi biner seperti
‘khilafah atau pancasila?’ Operasi-operasi yang berorientasi mengekslusi satu
dari yang lainnya, atau dalam teori diskurs dikenal mekanisme ingroup vs outgroup dalam kata ganti
orang ‘kita’ (atau juga ‘kami’) vs ‘mereka’ bisa bermasalah. Tentang ini, saya
berpikir dan bertanya-tanya, kenapa tidak digunakan kata ganti orang ‘saya’
sehingga menjadi #Saya_Indonesia? Bila hashtag
tersebut dilihat sebagai pertanyaan retoris yang berorientasi kritik, bukankah
dalam ‘kita’ kritik diri (individu) justru disubordinasi? Bukankah dalam
‘kekitaan’, individu dimampatkan dalam kolektivitas dan tanggungjawab diri menjadi
lepas? Apa yang paling bermasalah dalam membangun Indonesia, ‘saya’ atau
‘kita’? Ini perdebatan dan jawaban apapun adalah pertimbangan. Bisa saja, dan
lebih baik seperti itu, jawabannya adalah ‘kedua-duanya’.
Tetapi, apakah
bahasa harus menyerah pada skeptisisme tersebut? Bagi saya tidak. Hashtag #Kita_Indonesia PP PMKRI,
kembali lagi, adalah proposisi yang memuat maksud dan maksud harus menjadi
catatan kaki yang betul-betul tersampaikan untuk membedakannya dari kemungkinan
interpretasi lain. Hashtag PP PMKRI
ini, menurut saya pribadi, adalah bentuk lain dari pertanyaan yang menggugat
Keindonesiaan kita termasuk saya di dalamnya. Keindonesiaan ‘saya’ yang
tergabung dalam ‘kita’ harus terus dipertanyakan karena identitas seperti itu
di tengah transformasi dimensi kehidupan yang luar biasa ini bukanlah entitas
yang statis melainkan dinamis. Pertanyaan ini penting bagi saya yang lahir di
tahun 1992 dan baru berumur 6 tahun di 1998 yang menerima potongan narasi yang
kebanyakan bias mengenai persitiwa masa lalu Indonesia. Bapak saya yang
memiliki memori tragedi 65 pun kurang berinisiatif bercerita dan mungkin juga
karena saya kurang berminat bertanya. Dan sekarang, dengan akses google yang
bisa saya manfaatkan, potongan-potongan informasi yang tidak ‘diceritakan’
tersebut bisa saya dapat dan baca. Karenanya, refleksi reformasi saya secara
pribadi kemarin berbentuk ucapan terima kasih kepada siapapun yang dalam diam
dan tenang menghadirkan kisah-kisah pinggiran tersebut, baik dari balik meja
jurnalistiknya (sebagai jurnalis), tanggung jawab akademiknya (sebagai ilmuwan),
panggung pementasan (sebagai seniman) atau yang paling pelik, testimoni
pengalaman pribadi; disiksa atau diperkosa. Bukankah dalam #Kita_Indonesia
kepingan-kepingan narasi tersebut kita bangun?
Aktivis PMKRI yang keberatan dengan hashtag ini tidak memahami bahwa hashtag ini mengajak kita pada sesuatu
yang lebih mendalam yang bukan hanya mendefinisikan ‘#Kita_Indonesia’ tetapi
juga ‘yang seperti apa’? Pertanyaan dalam hashtag
tersebut, bagi saya, adalah proses yang menjadi dan dalam proses seperti itu
kita terus bertanya, mendekonstruksi diri, bergulat dalam ‘tahu dan tidak
tahu’. Saya selalu bertanya-tanya, apakah saya seorang paranoid, ketika
membayangkan sekiranya di 20 tahun atau 30 tahun kedepan, politik identitas
masih terus dimainkan dalam narasi yang masih saja sama (PKI, Pribumi, Aseng,
dsb) dan pada saat itu generasi saya, karena tidak memadainya memori, merasa
kurang tahu apa-apa sehingga akhirnya gagap atau bahkan ‘kejang-kejang’? Dalam hashtag tersebut muncul kekuatan yang
merangkul siapapun tanpa pandang bulu untuk menyusun imajinasi bersama tentang
keindonesiaan di masa yang akan datang, sesuatu yang bagi saya cukup pusing
untuk dipikirkan. Bukankah imajinasi bersama itu membutuhkan titik tolak?
Ataukah sesuatu yang bersama itu benar-benar tidak diperlukan?
Apakah mungkin
membicarakan ‘kita’ tanpa bertitik tolak dari ‘mereka’, karena ‘mereka’ juga
‘kita’ atau ‘kita’ juga ‘mereka’. Ah ini Rumit karena proses berpikir manusia
dimungkinkan oleh kemunculan kategori-kategori dan bahasa bekerja dalam peran
tersebut. #Kita_Indonesia barangkali telos yang anda dan saya semua mengarah
kesana. Jadi, dalam #Kita_Indonesia anda dan saya belum benar-benar berada di
dalamnya karena anda dan saya sedang berproses dalam jatuh bangunnya musyawarah
dan silaturahmi yang dengan penuh muak saya protes sebagai proses yang kerap
dikatakan ‘sudah tuntas’ dalam Keindonesiaan kita ini. #Kita_Indonesia adalah
potensialitas, proses menjadi dalam sukses dan gagal, yang sebagiannya sudah
anda dan saya pegang, dan sebagiannya masih terletak nun jauh disana. Bukankah anda
dan saya, misalkan, memahami bahwa potongan cerminlah yang anda dan saya cari
justru ketika anda dan saya sudah menggenggam potongan cermin yang lain?
Sehingga #Kita_Indonesia adalah bangunan yang anda dan saya konstruksikan dalam
kerja-kerja kebudayaan yang memang letih sambil (barangkali) berkata; “kalaupun
kita harus berjalan dalam gelapnya gua, bukankah bergandengan tangan bersama
sudah cukup? Saya butuh memahami apa itu Indonesia dan harus menjadi Indonesia
yang seperti apa plus dimulai dari rentang waktu yang mana. Karena
keindonesiaan saya adalah keindonesiaan 2000an yang benar-benar ahistoris pada
masa sebelumnya ataupun bila historis artikulasinya kebanyakan narsistik dan
berorientasi heroik atau nostalgia. Apakah cara melihat masa lalu itu yang kita
perlukan?
Tetapi seberapa
jauhkah kegelapan itu dan apakah terang pada akhirnya menyingkapkan dirinya
sendiri? Dalam kekelaman sejarah masa lalu yang tidak kita terima secara utuh
lah semangat #Kita_Indonesia dibangun. Pelik bukan? Bung Juve, dalam refleksi
tadi malam, menyinggung ‘gerakan literasi’. Lalu seperti apakah itu? Toh
literasi, dalam aktivisme, punya mitosnya sendiri (ngobrol).
Selamat Ulang
Tahun Perhimpunanku.
*PP
PMKRI 2016-2018/ Kuliah S2 Linguistik (Bahasa dan Budaya) di Universitas
Indonesia.
KOMENTAR