Foto: Dok. Pribadi |
Oleh: Dendy Arifianto*
Hutan merupakan
warisan alam yang harus dilestarikan. Bayangkan jika hutan tidak ada, manusia
akan mengalami ketidakseimbangan dalam menjalani kehidupannya. Indonesia
memiliki hutan yang sangat lebat. Berdasarkan data infografis yang diterbitkan
oleh Forest Watch Indonesia (FWI), hutan seluas 82 hektar masih menutupi
wilayah Indonesia. Hutan tropis di Kalimantan dan hutan hujan di Papua memberikan
sumbangsihnya untuk membuat Indonesia menjadi negara ketiga yang memiliki hutan
hujan terluas di dunia. Hal tersebut merupakan prestasi yang membanggakan.
Pasalnya secara internasional, Indonesia telah memberikan kontribusinya sebagai
paru-paru dunia.
Selama
berabad-abad, hutan telah melakoni perannya sebagai tempat tinggal berjuta-juta
spesies flora dan fauna; sebagai paru-paru dunia; sebagai wadah resapan air
hujan; dan sebagai bank energi mikrobiologi dunia. Senior Advisor for Terrestrial Policy, The Nature Conservancy, Wahjudi Wardoyo menyatakan
bahwa energi mikrobiologi merupakan generasi kedua dan ketiga sumber energi di
dunia. Energi mikrobiologi hanya dapat ditemukan di hutan hujan tropis yang
kaya akan keanekaragaman hayati.
Selain itu,
hutan juga membantu Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Jenderal Sudirman
adalah pencetus taktik gerilya yang memanfaatkan kelebatan hutan untuk melawan
kuatnya penjajahan Belanda. Sungguh sangat disayangkan, hutan yang membantu
Indonesia merdeka, kini harus terenggut kemerdekaannya. Deforestasi yang
terjadi di Indonesia sungguh memprihatinkan. Menurut Guiness Book
Record, Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerusakan paling tinggi
di antara negara-negara dengan 90 persen sisa hutan aslinya. Pada buku tersebut
dikatakan bahwa, setiap jamnya, rata-rata hutan Indonesia mengalami kehancuran
seluas 300 lapangan sepak bola. FWI mencatat bahwa setiap tahunnya kurang lebih
dua juta hektar hutan di Indonesia mengalami kerusakan.
Pada
hakekatnya, hutan juga memiliki hak untuk hidup seperti manusia. Manusia
mempunyai hak asasi yang melekat pada dirinya. Salah satu hak tersebut adalah
hak mendapat lingkungan hidup yang layak. Mengingat kerusakan hutan ditimbulkan
oleh manusia sendiri, rasanya perumusan hak tersebut akan menjadi dongeng
belaka. Berdasarkan pasal 9 ayat 3 undang-undang 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia tertera bahwa, “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat”. Itu berarti manusia membutuhkan hutan untuk mendapatkan tempat
hunian dengan standar sesuai undang-undang hak asasi manusia. Meninjau
kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia, dapat disimpulkan bahwasanya manusia
dapat saja tidak menjamin haknya sendiri untuk hidup dengan lingkungan yang
sehat dan baik.
Di sisi lain secara medis, otak manusia
membutuhkan asupan oksigen 20 persen setiap harinya. Ketika asupan tersebut
tidak tercukupi, manusia akan mengalami ketidakseimbangan di dalam tubuh.
Terdapat sekitar 100 miliyar sel neuron dalam otak, ketika tidak mendapatkan
asupan oksigen selama 3 hingga 7 menit, sel-sel tersebut akan mulai mengalami
kematian.
Dewasa ini,
penumpukan karbon dioksida di dunia semakin meningkat. Hal ini terjadi, karena
sebagian zat dari efek rumah kaca, seperti karbon dioksida tidak dapat diserap
secara optimal oleh hutan. Kemajuan industrial dan ekonomi masyarakat
menciptakan momok yang disebut dengan pemanasan global. Global warming atau pemanasan global merupakan suatu keadaan
yang ditandai dengan meningkatnya suhu pada bumi karena efek rumah kaca. Ketika
hal itu terjadi, bumi menjadi suatu tempat yang tidak layak huni bagi seluruh
mahkhluk ciptaan Tuhan. Sadar atau tidak, berperang dengan pemanasan global
membutuhkan hutan sebagai ujung tombak atas fungsi hutan yang dapat menyedot
karbon dioksida dan mengubahnya menjadi oksigen untuk dikonsumsi oleh manusia
dan hewan di dunia.
Pemerintah
telah mengesahkan undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 3 UUPPLH huruf B bahkan dengan jelas menyebutkan,
”menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia”. Pada huruf D tertulis,
“menjaga fungsi kelestarian lingkungan hidup”. UUPPLH diciptakan untuk menjamin
kehidupan manusia dan hutan sebagai penyokong terlaksananya hak atas lingkungan
hidup yang sehat dan baik bagi manusia, namun hal tersebut berbanding terbalik
dengan kenyataan di lapangan.
Pembukaan
lahan dengan cara membakar hutan kerap dilakukan di Indonesia. Menurut Menteri
Lingkungan Hidup Siti Nurbaya, rata-rata kebakaran hutan di Indonesia
disebabkan pembukaan lahan tradisional secara serentak. Berdasarkan pasal 69
ayat 1 huruf H UUPPLH secara tegas menyebutkan bahwa “Setiap orang dilarang
membuka lahan dengan cara membakar” pada ayat 2 menyatakan, “Ketentuan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 huruf h memerhatikan dengan
sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing”. Kearifan lokal yang
dimaksud adalah melakukan pembakaran lahan dengan maksimal 2 hektar per kepala
keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar
sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Faktanya,
beberapa kasus kebakaran hutan di Indonesia menunjukan indikasi api desengaja
menyebar luas, seperti yang telah dilansir Harian Kompas edisi 15 September
2016. Artikel tersebut menyatakan bahwa dua perusahaan sawit bertanggung jawab
atas kebakaran hutan kala itu. Selain hal tersebut, seperti yang telah dilansir
BBC News Indonesia 21 Juli 2016, masih adanya kasus kebakaran hutan yang
dinyatakan dihentikan oleh pihak yang berwajib dapat dikatakan mengkhawatirkan.
Pasalnya, merujuk pada Tempo.co (20 September 2016), kurang lebih 100.300
kematian diakibatkan kebakaran hutan. Hal ini menurut direktur kampanye dan
legal LSM Lingkungan Mighty, Etelle Higonnet, merupakan kematian yang
disebabkan masyarakat menghirup partikel padat, seukuran 2,5 PM yang tidak bisa
dilihat dengan mata telanjang.
Seharusnya kearifan lokal dapat menjadi
sesuatu yang tidak menyebabkan kerusakan. Hutan akan selalu memberikan manusia
nafas yang berkelanjutan, NAMUN MANUSIA TIDAK MEMBERIKAN JIWA DAN RAGANYA UNTUK
MENGHIDUPKAN HUTAN. Hak Asasi Manusia atas lingkungan yang sehat dan bersih
akan selalu bergantung pada Hak Asasi Hutan untuk hidup. Ketika hutan punah,
siapa yang lebih menjanjikan HAM itu sendiri? Hari ini atau nanti, manusia
hanya dapat memilih untuk bersama-sama menyuarakan kehidupan hutan atau
berharap kelak manusia dapat berevolusi dari lingkungan yang rusak –namun
generasi itu bukanlah kita.
*Alumnus Universitas Brawijaya
KOMENTAR