Mohctar Lubis dalam ceramahnya pada tanggal 6 April 1977 di Taman Izmail
Marzuki – Jakarta dan kemudian dibukukan dengan judul Manusia Indonesia sebenarnya mendapatkan kritikan dari berbagai
kalangan yang kemudian dibantah olehnya sendiri seperti tergambar dalam buku
dimaksud. Adapun sifat-sifat manusia Indonesia itu adalah sebagai berikut: (1)
Munafik atau hipokrit, yang di antaranya menampilkan dan menyuburkan sikap ABS,
asal bapak senang, (2) Enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya,
(3) Bersikap dan berperilaku feodal, (4) Percaya takhayul, (5) Artistik,
berbakat seni, (6) Lemah watak dan karakternya[1].
Memang tidak semua manusia Indonesia memiliki ciri dimaksud. Tapi
melihat kejadian-kejadian belakangan ini, sungguh pendapat Mohctar Lubis di
atas tidak bisa dibantahkan. Bisakah kita temui manusia munafik atau hipokrit
di sekeliling kita? Jawabannya gampang. Coba hitung berapa orang yang membuat
status di facebook yang menyatakan kalau dia benci si A, tapi kalau sedang tatap
muka langsung minta foto bareng,
bermuka dua banget, bukan? Di dunia
kerja, jangan tanya, jauh lebih fantastis banyaknya. Selain bermuka dua itu,
sikap ABS juga tidak kalah banyak, mau melakukan apa saja tanpa berpikir apakah
yang dilakukannya salah atau benar, ah, yang penting bapak senanglah.
Kalau tiba saatnya, ditemukan bahwa yang dilakukannya itu salah, maka
jangankan mengakui kesalahannya, kesalahan itu akan dilempar ke temannya,
biasanya temannya yang lebih lemah dari dia, kalau di dunia kerja, kepada
bawahannya kalau sudah punya bawahan (Plis,
gak usah dikait-kaitkan dengan situasi politik saat ini!). Kalau tidak ada
bawahan, dia akan mencari seribu satu alasan untuk membuang bara api itu dari
pundaknya, dan karena bosnya juga tidak mau disalahkan atas kesalahannya itu,
dia akan ngomel terus sampai telinga
yang mendengar tidak sanggup menampung dan akhirnya tidak sempat hinggap di
telinga sudah ditepis duluan. Di dalam hatinya mengumpat, tidak berani
mengeluarkan umpatan itu, takut dipecat, atau takut ga dapat jatah, eh!
Sikap ABS tadi tentu sangat erat hubungannya dengan sikap atau perilaku
feodal di dalam kehidupan bermasyarakat. Hubungan itu kiranya sudah jelas
tergambar di paragraf sebelumnya. Selain itu tergambar pula ketika teman sedang
ditilang di jalan, karena tidak membawa SIM, harusnya dia didenda atas
perbuatannya itu, tapi nanti dulu, kalau ketepatan ada pamannya bekerja di
instansi yang sama, dia bisa lolos hanya dengan meneleponya dan membiarkan si
penilang berbicara dengan pamannya yang entah di mana berada. Sikap feodal ini
dipelihara dengan baik bahkan di dunia kampus. Hubungan antara senior dan
junior di mana pasal satu senior tidak pernah salah dan pasal dua kalau senior
salah kembali ke pasal satu. What the f—k,
kalau salah ya salah, benar ya benar.
Sifat yang ke-empat ini lebih parah lagi, dan rata-rata manusia
Indonesia masih mengidap penyakit ini. Tanpa pandang bulu (keriting atau lurus
bulunya) baik yang masih TK maupun yang sudah berpendidikan sampai S-nya sudah
banyak di belakang namanya. Setiap kejadian di Indonesia, misalnya saja bencana
alam, selalu dikait-kaitkan dengan takhayul. Misalnya saja ketika kapal Sinar
Bangun di Danau Toba tenggelam, banyak beredar pendapat manusia Indonesia yang
menyatakan bahwa penghuni Danau Toba sedang mengamuk, sudah jelas-jelas itu
adalah karena kesalahan manusia. Kesalahan yang manusia buat sendiri dilempar
ke takhayul, wajar saja sebenarnya (eh, ga
wajar deng!), lebih praktis.
Sifat artistik atau berbakat seni ini adalah satu-satunya sifat positif
manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis. Memang tidak perlu diragukan lagi,
untuk membuktikannya gampang, tinggal traveling
ke berbagai tempat di Indonesia, di setiap daerah pasti memiliki seni yang
nilainya tinggi. Dari lukisan, tenunan, musik, tari dan lain sebagainya.
Namun sayang, nilai artistik atau berbakat seni itu harus kalah karena
watak dan karakter manusia Indonesia yang lemah. Tidak sedikit beredar
lukisan-lukisan palsu, tenunan KW 1
sampai KW 5, dan beli CD bajakan. Beberapa patung di kota-kota
tertentu juga harus dihancurkan karena dianggap tidak layak dipajang di sana. Karakter
yang lemah karena manusia Indonesia sering inkonsisten. Di satu sisi mengutuk
adanya pembajakan tapi di lain kesempatan membeli CD bajakan. Tidak mau ditipu tapi suka menipu. Parahnya lagi, dia
mau halaman rumahnya bersih dari sampah, tapi dia nyapu sampahnya dipindahkan ke
halaman tetangga.
Sifat-sifat itu belum seberapa, akhir-akhir ini ada sifat baru (sebenarnya
tidak baru-baru amat sih) yang suka mengkultuskan seseorang di kalangan manusia
Indonesia. Akan dicari segala alasan yang bisa membenarkan idolanya dan mencari
segala alasan yang bisa menyalahkan oposisi idolanya. Tidak lagi memandang isi
dari pembicaraannya, yang penting kami benar dan kalian salah[2].
Dan hal ini mematikan nalar kritis manusia Indonesia.
Tidak hanya itu banyaknya korban meninggal karena dikeroyok cukup
menggambarkan matinya adab manusia Indonesia. Meninggalnya saudara Haringga
Sirilia, misalnya. Tidak sampai di situ, pernah beredar kabar bahwa Ratna
Sarumpaet dikeroyok orang tak dikenal di bandara di Bandung dan jadi viral
seketika. Kalau kejadian ini benar, sungguh menyedihkan. Dan parahnya, kabar
Ratna Sarumpaet dikeroyok ternyata tidak benar, dia hanya menyebarkan hoaks.
Drama sinetron kejadian di dunia nyata, bahkan pada seorang aktivis perempuan
yang ditengarai disukai ibu-ibu. Atau begitukah dunia para aktivis, banyak
dramanya? Ah entahlah! Apapun alasan dia menyebarkan hoaks itu, dia harus
berani bertanggung jawab atas perbuatannya agar apa yang Mohctar Lubis katakan
mengenai sifat-sifat manusia Indonesia sedikit terbantahkan.
Baca juga: Hoaks dan Kita Menyukainya
Masihkah ada asa untuk mengembalikan adab yang hilang itu? Kalau ada
siapa yang bertanggung jawab untuk mengadakan itu semua? Jawabannya hanya satu,
kita semua. Kebebasan untuk berpendapat sebenarnya sudah dijamin tapi ketakutan
untuk mengungkap kebenaran kerap muncul, itu karena kebebasan berpendapat itu
sebenarnya tidak benar-benar dijamin, ada beberapa yang kecolongan. Penegakan hukum
kita masih sangat buruk. Demokrasi kita cacat hanya karna kedunguan kita
sendiri memaknai demokrasi itu. Sekedar untuk diketahui, kritik adalah bentuk dukungan
yang paling mulia, ada tuh yang pernah bilang begitu. Pun demikian, kritik
harus logis. Agar peradaban kita tidak benar-benar mati. Sebelum lampu mati,
saya sudahi dulu tulisan ini sampai di
sini.
KOMENTAR