Gambar dari sini |
Rempah-rempah
menjadi komoditi yang paling dicari ribuan tahun sebelum masehi, hingga pada
abad ke-15 pencarian besar-besaran dilakukan. Tidak sedikit biaya yang
dihabiskan untuk mencari tempat penghasil rempah dan apapun akan dilakukan
untuk mendapatkan rempah. Misalnya saja demi pala, Belanda tega membantai
masyarakat Banda asli yang pada awalnya menyambut para tamu begitu ramah. Tidak
cukup di situ, Belanda juga melawan sekutu sendiri dari Eropa yakni Inggris
demi pala.
Banyaknya
manfaat rempah dari penambah cita rasa makanan, pengawet makanan, obat, parfum,
sampai pada pembangkit gairah seksual membuat rempah menjadi barang yang mahal
bahkan melebihi harga logam mulia seperti emas.
Tanpa
meninggalkan rempah, karena sampai sekarang masih dikonsumsi, sumber daya alam (SDA)
lain menjadi sasaran baru. Revolusi industri, kalau sebelumnya tenaga kerja
menggunakan hewan dan manusia, setelah revolusi industri tenaga itu sebagian
(besar) digantikan oleh mesin. Mesin semakin populer karena bisa memproduksi
barang jauh lebih banyak ketimbang menggunakan tenaga hewan atau manusia, lebih
efektif dan efisien. Karena penggunaan mesin itu, meningkatlah penggunaan sumber-sumber
energi misalnya batu bara yang bersumber dari alam.
SDA dan pengetahuan mengolah dan mengelolanya
SDA mutlak
dibutuhkan oleh manusia demi kelangsungan hidupnya. Namun demikian keberadaannya
tidak merata di berbagai belahan dunia. Indonesia termasuk negara yang kekayaan
alamnya melimpah. Tetapi kekayaan alam yang melimpah itu tidak berbanding lurus
dengan perkembangan ekonomi Indonesia. Berbagai alasan dikemukakan mengapa hal
ini bisa terjadi, antara lain karena teknologi belum memadai untuk mengola
SDA-nya, korupsi, perang saudara, sampai dengan lemahnya pemerintahan yang ada.
Walaupun sudah
lama merdeka rasa-rasanya kita (bangsa Indonesia) masih saja dijajah oleh
bangsa lain yang memiliki teknologi yang lebih canggih. Senada dengan pendapat
Harari dalam Homo Deus, kalau dahulu sumber kekayaan adalah aset material, kini
bergeser menjadi pengetahuan[1].
Pemerintah Indonesia masih menganggap bahwa pengetahuan sumber daya manusia
(SDM) kita belum mumpuni untuk mengolah kekayaan material yang kita miliki.
Maka tidak heran sebagian besar SDA kita masih dikelola (kalau tidak mau dibilang dikuasai) oleh asing. Di sinilah
letak permasalahannya, yang kerap menjadi bahan perdebatan di antara pro
pemerintah dan pihak oposisi, nasionalisasi pengelolaan semua SDA.
Revolusi
industri telah menggiring manusia untuk mengeksploitasi SDA, dan bangsa yang
belum memiliki teknologi yang mumpuni, yang pemerintahnya lemah dan korup
kembali dijajah melalui peralatan teknologi yang memang dibutuhkan untuk
mengolah SDA yang ada. Namun beberapa tahun belakangan pemerintah Indonesia
sudah mulai berusaha agar SDM Indonesia mampu mengelola SDA yang ada dengan
memberikan beasiswa bagi masyarakat yang ingin belajar baik di dalam maupun di
luar negeri demi mendapat pengetahuan dan keahlian yang mumpuni untuk mengolah
dan mengelola SDA. Namun entah sampai kapan sampailah kita pada waktu bilamana
kita boleh benar-benar tidak tergantung dari bangsa asing untuk mengelola SDA
sendiri.
Dilema revolusi industri
Pengelolaan SDA
dengan adanya revolusi industri memang sudah memecahkan banyak persoalan
manusia seperti kelaparan dan wabah. Dengan ditemukannya peralatan yang canggih
dalam industri pertanian maka hari-hari ini walau masalah kelaparan masih ada
tapi sudah jauh jumlahnya jika dibandingkan dengan yang kelebihan berat badan.
Pada tahun 2010, jumlah manusia yang meninggal akibat kelaparan dan gizi buruk
ada sekitar satu juta orang, sedangkan obesitas membunuh tiga juta orang[2].
Obesitas atau
penumpukan lemak yang sangat tinggi[3]
di dalam tubuh mengindikasikan bahwa orang yang mengalami obesitas adalah orang
yang asupan makanannya yang berlebihan. Dan kemungkinan orang mengalami
obesitas jika ketersediaan pangan untuk dimakan yang berlebihan. Korporasi yang
memproduksi barang secara besar-besaran dengan biaya yang sedikit menghasilkan
barang yang tentu lebih terjangkau.
Produksi barang secara
besar-besaran memberikan keuntungan ekonomi yang tidak sedikit, apalagi kalau
semua barang itu laku dan diminati khalayak luas. Korporasi-korporasi besar
dunia terus melakukan produksi dan promosi demi meraup keuntungan. Hasrat ingin
memiliki lebih dari yang ada tidak bisa dihentikan, semua orang berkompetisi
agar tidak kalah selangkahpun dari yang lain. Kesenjangan sosialpun kian melebar,
apalagi di negara-negara yang pemerintahannya korup.
Perilaku konsumtif dan iklan promosi barang
Kini di abad
ke-21 rempah-rempah dan SDA lainnya seperti batu bara, minyak, gas dan aneka
tambang lainnya masih tetap digunakan, tentu dengan bahan-bahan baku lainnya
yang bersumber dari hasil pertanian, perkebunan dan atau peternakan sesuai
dengan produk yang akan dihasilkan. Sembari memproduksi barang
sebanyak-banyaknya demi untung yang sebesar-besarnaya, tentu dengan tetap
mengeksploitasi SDA yang ada, para produsen yang jumlahnya tidak sedikit itu
berlomba-lomba memperkenalkan produknya kepada calon konsumennya.
Awalnya
produk-produk yang (belum, sedang atau telah) diproduksi diiklankan di media
tradisional seperti surat kabar, televisi dan radio. Namun seiring dengan
berkembangnya industri digital, iklan sudah beralih ke sosial media seperti
facebook misalnya. Data-data para pengguna berbagai aplikasi media sosial
dikumpulkan.
Kini dengan kehebatan
algoritma iklan-iklan yang dipaparkan kepada setiap pengguna internet sudah
diseleksi dan ditayangkan sesuai minat calon pelanggan. Minat seorang pengguna
internet sudah diprediksi oleh komputer canggih dengan hitung-hitungan
algoritma. Berdasarkan data-data yang diberikan pengguna sendiri ketika
menggunakan internet seperti suka, tidak suka, super, dan komentar di berbagai
sosial media.
Sialnya, iklan
yang memiliki daya persuasif itu belum beralih fungsinya dari mendorong manusia
menjadi semakin konsumtif. Semakin sering manusia terpapar dengan iklan yang
sama, apalagi iklan produk itu mengiklankan produk yang kemungkinan besar
disukai manusia yang sedang melihatnya, maka kemungkinan manusia itu membelinya
akan semakin besar pula. Inilah yang sering disebut-sebut Yuval Noah Harari
dalam beberapa kesempatan bahwa pada era ini manusia banyak yang meninggal
bukan karena kekerasan, perang dan tindak terorisme tetapi karena obesitas dan
kecelakaan saat berkendaraan.
Makin ke sini,
selain semakin konsumtif manusia juga akan selalu mencari kemewahan. Yuval pun
mengingatkan kita dalam Sapiens: “Begitu
orang terbiasa terhadap satu kemewahan tertentu, mereka pun menerimanya sebagai
suatu kewajaran. … Akhirnya mereka mencapai satu titik di mana mereka tidak
bisa hidup tanpa kemewahan itu[4].”
Setetlah itu mulai mencari kemewahan yang baru lagi, ketergantungan lagi, dan
lagi.
Yang paling diincar pebisnis dan politikus
Dari perang memperebutkan
rempah, bahan bakar, dan sekarang perebutan calon konsumen, kini data-data
konsumen menjadi barang yang berharga melebihi harga rempah, bahan bakar dan
emas. Kalau masih ingat cara yang dilakukan Trump memanfaatkan data-data
pengguna facebook[5]
dalam kampanyenya?
Indonesia akan
mengadakan pesta demokrasi terbesar di tahun 2019. Untuk itu tidak tertutup
kemungkinan hal yang sama kan terjadi pada data-data pribadi kita. Para
politikus yang ketepatan akan terlibat dalam konstestasi pemilihan mendatang
bisa saja sudah mengincar data itu. Demi kemenangan, bisa saja berapapun jumlah
yang harus dibayar, dibayar.
Data itu bisa
digunakan untuk mengetahui preferensi politik kita, hal-hal yang kita sukai dan
sebagainya. Dengan mengetahui keberadaan kita yang sesungguhnya, maka dengan
mudah para calon itu akan memengaruhi hingga membelokkan preferensi politik
kita.
Penjajahan demi penjajahan
Dari
rempah-rempah, tambang, data pribadi yang kita miliki, kita akan senantiasa
dijajah bila kita tidak memiliki pengetahuan yang memadai. Masyarakat kecil
yang tidak memiliki pengetahuan dan kuasa untuk melawan penjajahan ini akan
rentan menjadi korban dari satu gaya penjajahan ke gaya penjajahan yang
lainnya. Di sisi inilah harusnya kehadiran negara muncul untuk melindungi
masyarakatnya untuk tidak lagi dijajah. Namun
apa daya, negara kerap tidak berada di sisi masyarakatnya sendiri. Lebih mudah
membela orang besar, orang kecil cenderung diabaikan. Kalau sudah demikian
realitanya, tidak usah ragu lagi, pemerintahan yang seperti itu adalah
pemerintahan yang nyata korup.
Oleh: Tomson Sabungan Silalahi
[4] Yuval Noah Harari, Sapiens
– Riwayat Singkat Umat Manusia, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2018), h. 106-107
[5] Ruby Alamsyah, https://news.detik.com/kolom/d-3986071/skandal-facebook-dan-data-kita?,
diakses pada 10 November 201 pukul 03.53
KOMENTAR