Semoga kartu baik di tahun yang akan segera datang. |
Tak terasa satu tahun telah
berlalu, kata orang-orang. Kalau saya, terasa sekali. Banyak yang sudah
dilalui. Target yang ditulis dalam resolusi tahun sebelumnya memang tidak semua
tercapai, tetapi semuanya harus disyukuri. Yang tercapai harus disyukuri agar
syukur-syukur yang lain segera menyusul dan yang belum tercapai juga harus
disyukuri karena dengan itu kita telah belajar untuk tetap rendah hati. Tidak
semua apa yang sudah kita rencanakan akan tercapai sesuai target, akan selalu
ada error-nya. Artinya tahun yang
akan datang harus lebih giat lagi. Namun sebelumnya, harus ada pengakuan diri
atas kelemahan-kelemahan kita hingga target-target itu tidak tercapai maksimal.
Ada banyak hal yang sudah kita
lalui tahun ini (2018). Oleh negara-negara lain, tidak sedikit yang memuji
toleransi yang dipraktikkan oleh anggota-anggota warga negara kita yang berbeda
baik suku dan agamanya. Namun kita tidak lantas tutup mata dengan munculnya
aksi-aksi intoleran oleh oknum-oknum[1]
yang tidak mampu bersryukur atas keragaman (yang indah) yang dianugerahkan
kepada kita, Indonesia. Reaksi akan aksi-aksi yang merugikan itu, banyak pihak
yang telah berusaha dengan segala upaya yang ada untuk merekatkan kembali
simpul-simpul yang mulai longgar itu.
Kenyataan bahwa kita terdiri dari
identitas-identitas yang berbeda seharusnya sudah tuntas, namun tenaga kita
harus dikuras kembali untuk mengingatkan hal itu pada generasi sekarang. Dengan
kemajuan teknologi yang tidak disangka-sangka sangat pesat, manusia Indonesia
dituntut untuk lari lebih kencang lagi untuk mengejar ketertinggalannya dengan
negara-negara lain. Energinya tentu saja tidak maksimal karena kita masih
bergelut pada masalah perbedaan yang tidak kunjung tuntas.
Nasionalisme versus kosmopolitanisme
Nasionalisme kita bercampur
dengan kosmopolitanisme yang kian berkembang. Di Indonesia, nasionalisme orang
mudanya dipertanyakan hanya karena perbedaan-perbedaan itu, tidak jarang kita
dengar persekusi karena perbedaan baik agama sampai pada pandangan politik. Sementara
di negara lain, yang tekhnologinya sudah mumpuni pun nasionalisme orang mudanya
dipertanyakan namun justeru bukan kerena alergi dengan perbedaan, tapi karena
kerinduan untuk bersatu, menjadi satu negara, satu pemerintahan, bahkan satu
mata uang.
Keyakinan orang muda akan dunia
yang lebih baik akan dicapai jika tidak ada lagi sekat-sekat negara yang
memisahkan teritori negara yang satu dengan yang lain, terlalu boros, tidak
efektif dan tidak efisien – seperti yang dianut oleh penganut kosmopolitanisme.
Biaya visa yang orang muda Indonesia bayarkan di kedutaan Amerika kan
seharusnya tidak ada kalau kita sudah menjadi satu negara, biaya traveling jadi jauh lebih murah. Bea
masuk barang dari negara tetangga tidak akan pernah ada lagi dan harga
barangnya tentu akan lebih murah, dunia akan jauh lebih ekonomis.
Setiap perubahan memang selalu
memiliki konekuensi positif dan negatifnya. Demikian pula kalau suatu saat
negara di dunia tinggal satu, dan dipimpin oleh satu pemimpin. Akan terjadi
monopoli ekonomi oleh korporasi-korporasi raksasa yang memiliki modal lebih
besar dibandingkan usaha-usaha kecil menengah yang tidak memiliki modal besar
untuk bersaing dengan korporasi trans nasional. Maka dengan waktu yang
sesingkat-singkatnya, kesenjangan sosial akan semakin melebar.
Berkenalan dengan Prof. Yuval Noah Harari[2]
Tahun inilah (2018) perkenalan
saya dengan Profesor Yuval Noah Harari dimulai. Saya membaca bukunya “Homo Deus[3]”,
setelahnya “Sapiens” dalam waktu yang berturut-turut. Saya bersyukur karena
banyak pelajaran yang saya dapatkan dari bukunya itu, di satu sisi. Di sisi
yang lain, saya juga akhirnya menyadari bahwa tantangan kita akan semakin sulit
di tahun-tahun mendatang. Percepatan demi percepatan akan kita hadapi.
Singkatnya, akan semakin banyak orang-orang yang tidak berguna (useless people)
di berbagai belahan dunia.
Kerap saya juga berpikir, apakah
saya sungguh-sungguh berguna di dunia ini? Apa yang membuat saya berguana? Apa
yang bisa saya buat? Dan untuk menjawab itu, saya berusaha dengan semua
kekuatan yang ada untuk menulis sebuah buku[4]
sebagai aktualisasi diri, seperti yang saya tulis di dalam buku itu, manatahu
ada orang-orang yang terinspirasi dengan apa yang saya tulis?! Karena kita
tidak pernah tahu bilama kita telah menginspirasi orang lain. Dengan konyolnya,
saya berbisik di dalam hati saya, semoga saya tidak termasuk dalam useless people yang diterangkan Yuval
dalam bukunya Homo Deus.
Betapapun hasil dalam usaha
penulisan buku itu, saya harus tetap bersyukur. Semoga akan lahir lagi
buku-buku lain yang lebih menginspirasi orang lain (ini sekaligus resolusi saya
di tahun 2019, selain saya harus memaksakan diri untuk menyelesaikan thesis
yang selalu dinomor duakan).
Banjir informasi yang mengecohkan
Sampai di sini, kalian mungkin
sudah mulai muak. Mengapa catatan akhir tahun ini begitu membosankan dan
meloncat-loncat dari satu bahasan ke bahasan yang lain yang tidak ada
nyambungnya sama sekali. Baiklah, saya coba buat senyambung mungkin.
Kemunculan sosial media yang
begitu massif di tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya telah menimbulkan banyak
huru-hara. Walau banyak juga positifnya, seperti mempertemukan teman lama yang
sudah pisah puluhan tahun. Tahun ini, banyak dibahas di berbagai kesempatan
mengenai hoax yang akhirnya diserap
katanya menjadi hoaks dalam KBBI. Hoaks yang didampingi oleh fake news atau berita palsu, setelah
lagu alamat palsu menjadi populer di tahun-tahun sebelumnya. Ternyata lagu itu adalah
“kode” awal bahwa akan banyak kepalsuan-kepalsuan nyata yang akan kita hadapi
di tahun ini bahkan mungkin akan berlanjut di tahun depan dan tahun-tahun yang
mengikutinya, mungkin juga akan lebih parah, siapa tahu!? Ya, selama tingkat
literasi kita masih sangat rendah. Hm, PR pemerintah terpilih nanti masih
sangat berat.
Banyaknya informasi yang kita
terima dari berbagai sumber membuat kita cepat lelah. Belum lagi satu jam
informasi itu setelah kita baca, sudah ada klarifikasi dari pihak berwenang
bahwa informasi itu tidak benar. Waktu kita habis hanya mendengarkan
klarifikasi-klarifikasi. Walau lebih baik sebenarnya daripada tidak mendapat
klarifikasi dan kita terus mengamini informasi yang salah itu.
Kerap pula pertemanan dan kekeluargaan
menjadi korban dari berita palsu yang beredar. Fitnah yang terlalu diobral di
media sosial karena berita palsu menjadi alasannya. Yang rasional menjadi
irasional, yang diam dianggap kurang peduli karena kurang tanggap. Yang
bereaksi dituduh reaktif karena tidak sepaham dengan apa yang dipahaminya.
Terlalu banyak chaos di tahun ini
hingga tidak jarang kita gamang untuk bertindak bijak. Satu sama lain saling
tuduh hingga cebong dan kampret yang tidak tahu menahu (karena mereka tidak
suka tahu pun tempe) dicatut namanya, seolah-oleh kita lebih mulia dari seekor
cebong dan seekor kampret.
Sebelum saya tutup catatan ini,
semoga kalian tidak lagi bingung hubungan dari topik-topik yang berbeda yang
saya sajikan di atas. Tapi yang pasti, tahun depan, tanggal 17 April ada pemilu
di seluruh Indonesia. Kita akan memilih Presiden dan wakilnya beserta caleg-calegnya
(yang akhir-akhir ini semakin ramah dan sopan), semoga kandidat yang terpilih
nanti mampu memulihkan martabat cebong dan kampret, hak asasinya dipenuhi
hingga tidak ada lagi cebong dan kampret yang dilukai martabatnya. Terima
kasih.
Tasikmalaya, 31
Desember 2018
Tomson Sabungan
Silalahi
[1]
Mereka juga merasa bahwa pemerintahan yang ada tidak mampu memberikan keadilan,
hingga muncullah kelompok-kelompok radikal yang berpotensi ekstrimis, hingga
ada yang bercita-cita ingin mengganti mitos berasam yang selama ini diyakini
sebagai alat perekat anak-anak bangsa – Pancasila, dengan ideologi yang lain
yang menurut mereka lebih pantas untuk mencapai keadilan itu.
[2]
Profesor lulusan Oxford dan sekarang mengajar di salah satu Universitas di
Israel.
[3]
Salah satu buku best seller yang direkomendasikan oleh Barrack Obama untuk
dibaca.
[4]
Buku perdana saya berjudul .id – Jejak Pencarian, diterbitakan oleh penerbit
Jejak Publisher tahun 2018.
KOMENTAR