Gambar Noam Chomsky diambil dari sini. |
Oleh: Ahmad Sirulhaq*
Bagi mereka yang
belum pernah membaca Chomsky, sebaiknya jangan coba-coba memulainya. Di era
digital ini, kuliah-kuliahnya memang mudah diakses tapi, sekali lagi, sebaiknya
jangan Anda dengarkan kata-katanya. Jika kita rangkum, Chomsky hanya ingin
menyampaikan satu pesan telak pada umat manusia: “kiamat sudah dekat”. Bukan
suatu lelucon jika kita bisa berbicara tentang kiamat dengan enteng di sini
sebagai bahan guyonan hanya karena suatu kebetulan-kebetulan kecil, untuk tidak
mengatakan bahwa terompet sangkakala malaikat Izrail itu masih ditunda dulu
untuk jangka waktu tertentu.
Sebaliknya,
mungkin celaka bagi mereka yang terlalu banyak membaca atau mendengar
kuliah-kuliah Chomsky. Hidupnya bisa jadi dua kali lipat tidak tentram
dibanding mereka yang tidak sama sekali pernah mendengar kuliahnya atau membaca
bukunya. Pasca-berakhirnya perang dingin, dunia berangsur-angsur menuju akhir
sejarah dalam arti yang sesungguhnya, bukan akhir sejarah versi Fukuyama atau
menurut ramalan Huntington. Setidaknya, ada dua ancaman nyata umat manusia hari
ini, perang nuklir dan bencana lingkungan yang salah satunya dipicu oleh
perubahan iklim yang dramatis.
Anehnya, ancaman
nyata itu justeru sebagian besar berasal dari institusi-institusi yang kita
anggap paling demokratis, seperti negara-negara pejuang kebebasan dan hak asasi
manusia. Jika bertanya tentang panggung demokrasi pada Chomsky hari ini,
mungkin sambil tersenyum kecut dia akan dengan segera menjukkan kepada kita,
lihatlah kiprah Partai Republik di Amerika Serikat, ia adalah organisasi
kriminal paling berbahaya di dunia. Selain bukan hanya karena kebetulan hari
ini dikendalikan oleh sosok pemimpin yang tingkah polahnya tidak bisa
diprediksi, Partai Republik diurus oleh para pembajak demokrasi yang paling
tidak percaya pada bencana ekoligi. Adakah tempat paling indah di dunia di mana
demokrasinya masih belum dibajak? Kita bisa mencari jawabannya pada cebong dan
kampret setelah menunggu mereka berhenti berperang seharian tentang siapa yang
paling fasih melafalkan ayat suci dan siapa yang paling pantas menjadi imam
solat berjamaah.
Mari kita
kembali pada lonceng kematian umat manusia versi Chomsky. Tidak perlu kita
bicarakan semuanya, cukup beberapa saja. Januari 2015, Bulletin of the Atomic
Scientist memajukan Doomsday Clock (Jam Kiamat Dunia, jam simbolis yang
digunakan oleh para ilmuwan untuk menunjukkan seberapa dekat manusia dengan
kehancuran secara saintifik) menjadi tiga menit sebelum tengah malam (tiga
menit menuju kehancuran). Seiring dengan makin dekatnya ancaman nuklir dan
perubahan iklim yang tak terkendali, jam kiamat dunia berputar lebih cepat.
Bahkan, baru-baru ini dilaporkan bahwa, gara-gara Trump, jam kiamat dunia
bergerak maju ke posisi 2,5 menit menuju tengah malam. Nyaris tidak ada hari
berlalu tanpa krisis, kata Chomsky. Ia pun mengutip apa yang menjadi perhatian
para ilmuwan dan pemerhati lingkungan, tentang gletser raksasa di Greendland,
Zachariae Isstorm, yang mengalami pergerakan dari posisi stabil secara
glasologi pada 2012 dan memasuki tahap pergerakan yang makin cepat disebabkan
oleh perubahan iklim dan atau pemanasan global. Gletser itu menyimpan cukup
banyak air untuk meningkatkan permukaan air dunia lebih dari 45 sentimeter.
Berbicara
tentang ancaman nuklir, ketika krisis Kuba 1962, Stanislav Petrov, seorang
perwira Rusia, ialah salah seorang penyelamat dunia yang berhasil menahan jarum
jam kiamat menuju tengah malam. Saat itu Uni Sovyet berada di bawah ancaman
rudal yang diterima dari kapal selam Amerika Serikat. Sejatinya, mengacu pada
sistem deteksi otomatis yang diterima, secara protokoler Petrov hendaknya melaporkan
hal itu pada atasannya dan meluncurkan torpedo nuklir ke arah kapal perusak
Amerika Serikat. Ajaibnya, kita selamat berkat pembangkangan laknat sang anak
buah. Pada tahun 1979, presiden Amerika pun pernah hampir melakukan hal serupa.
Ketika itu, rekaman latihan peringatan dini Komando Pertahanan Ruang Angkasa
Amerika Utara yang menggambarkan serangan strategis skala penuh dari Soviet,
secara tidak sengaja, masuk dalam jaringan peringatan dini yang sebenarnya.
Presiden Carter ditelefon tengah malam untuk diyakinkan agar melakukan serangan
balasan tepat ketika adanya panggilan yang memberi tahu bahwa peringatan itu
palsu.
Barangkali,
semua itu hanya kebetulan-kebetulan kecil bahwa kita telah beberapa kali
selamat dari lonceng kematian sebelum jam kiamat benar-benar mencapai titiknya.
Kita belum menghitung mengenai peringatan-peringatan palsu lainnya yang terjadi
setiap tahun, yang menurut catatan Chomsky, mencapai rentangan 43—255 kali per
tahun. Jika kita bertanya pada Chomsky,
siapakah yang paling bertanggung jawab dalam upaya tak henti-hentinya dari
orang-orang suka yang bermain-main dengan takdir ini? Jawabannya terletak pada
negara-negara pemegang hak veto, yang di dalamnya berisi banyak bajak
demokrasi. Atau, barangkali, jawaban paling tepat bisa kita cari pada
orang-orang berseragam, yang terburu-buru ke toku buku, tanpa perlu menunggu
sidang pengadilan, lalu memilah dan memilih buku-buku mana yang paling pantas
dibakar hari ini.
Kita tidak
tengah memperdebatan ramalah-ramalan siapa yang paling tepat mengenai akhir
sejarah umat manusia. Lepas dari itu, hampir dalam setiap lembarnya, buku
Chomsky berisi catatan-catatan kaki dan referensi yang mengacu pada buku-buku
dan jurnal-jurnal yang mutakhir sebagai penguat argumentasi bahwa waktu kita
tinggal di dunia sudah semakin sedikit. Jangan salah, jangan membayangan
Chomsky akan mengutip meme-meme picisan yang digarap oleh seniman yang paling
cebong atau kampret. Tentu, Chomsky bukan sendirian yang berdiri pada barisan
pesimistis jika tabiat manusia tidak kunjung berubah, dengan mulai
memperhatikan lingkungan dan mencegah terjadinya perang nuklir. Masih ada
Hawking dan ilmuwan-ilmuwan terkemuka lainnya, meski nasib Hawking jauh lebih
beruntung, ajal menjemputnya duluan sebelum sempat melihat Trump memainkan
pemicu nuklir pada Kim Jong Un, seperti ia bermain boneka pada anak kecil.
Tapi, tunggu
dulu, bukankah ancaman paling nyata di sini berasal dari hantu komunis dan
monster agama garis keras yang datang membawa bendera khilafah? Kita bisa tanya
hal ini belakangan pada Ngabalin atau Rocky Gerung. Atau deretan manusia paling
berpengaruh di dunia, Denny JA, bisa melakukan jajak pendapat tentang ini
kapan-kapan. Tapi, bagi Slavoj Žižek,
komunis telah menjelma menjadi pemimpin kapitalis yang paling efektif di dunia.
Artinya, jika toh komunis menjadi
ancaman, itu setelah ia menguasai sembilan puluh persen dari sumberdaya di muka
bumi yang dihasilkannya dari bisnis perang melawan teroris dan bisnis-bisnis
kecil lainnya, seperi mencari ladang minyak di negara-negara di mana para
diktator bisa dengan mudah mendapatkan dukungan berkuasa oleh para pebisnis
demokrasi dan dengan sedikit sentuhan CIA. Bagaimana dengan Islam garis keras
dan teroris? Bagi Chomsky, teroris hanya julukan bagi bajak laut kecil yang menangkap
ikan dengan perahu kecil di tengah upaya kaisar yang menjarah seluruh isi perut
bumi dengan segenap armada perang yang dimilikinya – kapan-kapan kita
diskusikan pada waktu yang lain mengenai hal ini.
Kita masih bisa
menghibur diri, biarkan saja negara-negara pemegang hak veto itu mungutak-atik
Doomsday Clock. Jarak kita cukup jauh dari tanah sengketa antara negara NATO
dan Rusia. Selain itu, bukankah tanah kita adalah tanah sugra? Chomsky bisa
membantu memberi jawaban. Jika perang nuklir terjadi, untuk bisa musnah, negara
lemah tidak perlu menghabiskan peluru untuk bertahan. Tidak juga seperti kata
Prabowo, yang mengutip menteri pertahanan RI, kita hanya bisa bertahan paling
lama dalam tiga hari. Yang terjadi adalah negara-negara lemah akan ikut hancur
dengan sendirinya dengan bahaya dahsyat yang ditimbulkan oleh senjata nuklir
itu sendiri di manapun ia meledak, baik di tepi barat jalur Gaza, maupun di
tengah permukiman penduduk Yaman. Segera setelah ledakan itu terjadi, ia akan
menciptakan bencana luar biasa terhadap ekosistem. Cahaya matahari akan
terjebak dalam gumpalan-gumpalan jelaga yang berkepanjangan, segala yang hidup
pun menjadi sangat rapuh sebelum akhirnya binasa.
Dari Amerika
hingga ke Indonesia, dari proyek bencana hingga proyek Meikarta, keserakahan
manusia itu nyata adanya. Semuanya menggunakan jubah demokrasi. Dunia macam apa
yang bisa terus bertahan di tengah keserakahan seperti itu, kata Chomsky.
Hutan-hutan Kalimantan dan Sumatra secara konstan mengalami penyusutan setelah
dibabat dan dibakar dengan cara membabi buta, World Wildlife Fund melaporkan,
pada 2020, diperkirakan Kalimantan akan kehilangan 75 persen luas hutannya. Di
tempat-tempat lain, kita bisa melihat bukit-bukit menjadi gundul setelah
dicukur lalu ditanami dengan jagung, yang oleh pengendali Doomsday Clock
sejati, kemudian diganti dengan banjir bandang yang bertubi-tubi. Di
belakangnya kita bisa melihat bagaimana mereka mengendalikan demokrasi cukup
dengan memegang bidak catur sambil mengintai dari jauh, siapakah yang punya
kuda dan benteng yang paling jago menelikung. Menurut imam yang paling soleh,
jangan hubung-hubungkan bencana dengan kebisaan-kebiasaan manusia, itu pertanda
imanmu belum terlalu sempurna.
Kiamat yang kita
bicarakan ini memang memiliki episentrum jauh di seberang benua sana, tapi
jangan tersenyum dulu, seperti yang dikatakan orang-orang, hanya dengan
membalik sebuah nama, untukmulah riwayat yang diceritakan Chomsky ini
dituliskan. Karena itu, saya ulangi, jika Anda ingin hidup tenang, janganlah
baca Chomsky; dan jika Anda ingin hidup
jauh lebih tenang lagi, selain Chomsky, jangan pula dengarkan kata-kata
Prabowo. Seperti Chomsky, narasi politik Prabowo dua hari lalu, yang belum
sempat disiarkan metro tivi, hanya berisi omong kosong apokaliptik. Jika kau
belum pernah menonton, kau bisa menyaksikan sampahnya berserakan pada
media-media berselera rendahan – meminjam bahasa Geotimes – penjilat pantat
Search Engine Optimization (SEO).
Prabowo tidak
lebih dari seorang genderuwo yang tengah menjelma menjadi hantu suci,
pekerjaannya hanya datang untuk menakut-nakuti dan mengusik ketentraman. Kali
ini, jemarinya menunjuk tepat ke arah jarum tiga menit menuju tengah malam
Doomsday Clock, yang tergantung anggun pada dinding pemilu paling netral tanpa
money politic, berkotak suara kardus paling bagus. Padahal, kita tahu kiamat masih jauh, kuncinya masih dipegang
bukan oleh Jack Sparrow, melainkan oleh kaisar sejati: si bajak-laut demokrasi.
Kalaupun kiamat benar-benar terjadi hari ini, toh kita masih bisa berlindung di
bawah naungan megah megastruktur infrastruktur. Bukankah manusia telah
menunjukkan kemampuannya yang cukup menakjubkan sebagai penyintas sejati?
Datanglah ke tempat-tempat di mana gempa bumi pernah terjadi baru-baru ini, kau
akan terpana melihat kemampuan manusia mampu bertahan hidup mulai dari titik
nol, cukup dengan menghadirkan para pemimpin mereka berkali-kali secara silih
berganti, datang membawa janji dan sembari sekali-sekali memberi sedikit
siraman rohani.
*) Penulis
adalah fesbuker yang terjebak di jaring laba-laba Dildo. Selebihnya,
sehari-hari ia pengajar mata kuliah Analisis Wacana, Jurnalistik, dan
Linguistik di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas
Mataram, serta menjadi peneliti di Lembaga Riset Kebudayaan dan Arus Komunikasi
(LITERASI) NTB.
KOMENTAR