Oleh: Tomson Sabungan Silalahi*
Tulisan
ini akan dibagi dalam beberapa bagian kecil, dari pertanyaan mengapa harus
berubah, melihat kembali identitas (yang di dalamnya termasuk nilai-nilai yang dianutnya)
PMKRI dan implementasinya dalam seluruh aktivitas kadernya (sejauh ini), kemudia
kembali lagi ke pertanyaan awal dalam bentuk yang lebih reflektif, haruskah
berubah? Dan akhrinya ditutup dengan daya kader yang meberdayakan.
Di
beberapa paragraf akan sada pertanyaan-pertanyaan reflektif yang mungkin tidak
terjawab secara eksplisit maka harus dijawab sendiri sesuai pengalaman
masing-masing pembacanya.
Mengapa
harus berubah?
Diskursus
untuk bertransformasi tentu tidak hadir begitu saja. Perubahan zaman selalu
memaksa organisasi untuk turut berubah (baca beradaptasi, menyesuaikan diri),
agar tidak ketinggalan, seperti yang digambarkan Rhenald Kasali dengan kejam dalam
slogannya: berubah atau mati!
Niat
untuk bertransformasi harus datang dari kesadaran dan kejujuran melihat
kenyataan yang ada. Kalau dipaksa (baca: datang dari pihak luar) justeru akan
menjadi gamang bahkan kehilangan arah. Sebelum beranjak melakukan transformasi
atau perubahan rupa (baik bentuk, sifat, fungsi dan lain sebagainya) sangat
perlu mengetahui posisi kita sedang di mana. Mengapa harus berubah? Apa yang
memicu?
Dialektika
di dalam organisasi maupun karena dialektika dari luar organisasi menumbuhkan niat
untuk berubah. Di dalam organisasi, dialektika yang semacam apa yang sedang
berlangsung? Apa kerisauan-kerisauan yang sering terlontar terkait eksistensi
PMKRI kalau harus berubah?
Memulai
menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, mari kita lihat ‘kader’ yang menghidupi
PMKRI sendiri, subjeknya. Apa yang (telah) dilakukan kader-kader PMKRI selama
ini? Kita mengenal ada 6 (enam) identitas kader yang sudah diperkenalkan sejaka
masuk PMKRI yang adalah turunan ketiga nilai dasar PMKRI yang kita kenal dengan
‘tiga benang merah’. Selama ini sudahkan tindak tanduk kita sudah menggambarkan
keenam identitas itu?
Kader
PMKRI dan identitasnya
PMKRI
dalam semua pembinaan yang ada di dalamnya sebenarnya ditujukan untuk membantu
para anggotanya untuk mencapai keunggulan pribadi yang ditunjukkan dengan
integritas pribadi yang utuh. Integritas yang utuh itu dapat diuraikan dalam 6
ciri-cirinya, yakni: (1) SENSUS CHATOLICUS, Rasa Kekatolikan, (2) SEMANGAT MAN
FOR OTHERS, panggilan hidup misioner yang menuntut sikap siap sedia. Bahwa setiap kegiatan hidup tidak hanya
didasarkan pada kepentingan diri sendiri melainkan sejauh mungkin diabdikan
pada kepentingan sesama yang lebih besar, (3) SENSUS HOMINIS, rasa kemanusiaan,
terdapat kepekaan terhadap segala unsur manusiawi yang meliputi solidaritas
pada setiap pribadi manusia, (4) PRIBADI YANG MENJADI TELADAN, kemampuan untuk
menjadi pribadi yang menjadi garam dan terang dunia, dalam pola pikir, sikap,
dan tingkah laku, (5) UNIVERSALITAS, sikap siap sedia untuk memasuki
celah-celah dan dimensi kehidupan masyarakat yang paling membutuhkan dan
menerobos tembok-tembok diskriminasi dalam bentuk apapun, (6) MAGIS SEMPER,
semangat lebih dari sebelumnya yang hanya dapat dicapai dengan kerja keras,
mutu, magis, dan profesional. Pribadi
demikian selalu mengacu pada on going formation[1].
Sensus
Chatolicus, rasa kekatolikan. Kader PMKRI tidak harus menjadi seorang (yang
beragama Katolik) tetapi memiliki rasa kekatolikan, artinya setiap tindakan dan
reaksinya berlandaskan nilai-nilai kekatolikan, minimal mengerti dan
menjalankan ‘Ajaran Sosial Gereja’. Hayo ada yang masih ingat? Ini materi saat MABIM
(masa bimbingan) loh.
Semangat
Man for Others. Bila ada kader PMKRI yang masih egois, mementingkan diri
sendiri, dia merupakan kader yang gagal. Kader-kader PMKRI diajarkan untuk
selalu mengedepankan kepentingan bersama, maka tidak heran banyak orang-orang
di sekitar kader PMKRI yang merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah sia-sia,
menghabiskan banyak waktu bahkan tidak rasional, tidak sedikit pula yang
mencibir. Namun, masihkah semangat mengabdi itu semata-mata untuk kepentingan
bersama atau kepentingan pribadi yang mendahului? Rasanya tidak lagi, untuk
menjadi Pengurus Pusat saja menjadi rebutan (yang kalua menggunakan logika
orang di luar PMKRI harunya Ketua Presidium terpilih susah merekrutnya karena
harus mengorbankan waktunya selama dua tahun untuk perhimpunan), sudah menjadi
rahasia umum bahwa sudah ada deal-deal-an saat MPA (ataukah ini sekedar rumor
yang kerap dilontarkan kubu lawan sebagai black campaign?), demi menjadi
pimpinan utama di Perhimpunan.
Sensus
Hominis, rasa kemanusiaan. Kata kuncinya adalah solidaritas, solidaritas
terhadap sesama manusia. Peka terhadap unsur-unsur manusiawi dan diterapkan
pada semua manusia. Memperlakukan manusia lain selayaknya manusia. Jika ada
orang lain yang hak asasinya dilecehkan, kader PMKRI harusnya peka terhadap itu
dan segera melakukan apa yang bisa dilakukan untuk mendukung korban, menunjukkan
dengan tulus solidaritasnya.
Pribadi
yang menjadi teladan, seperti garam dan terang, kader PMKRI harus memiliki pola
pikir yang baik, sikap dan tingkah laku yang baik, yang mencerminkan ketiga
ciri yang di atas.
Universalitas,
kader PMKRI tidak lagi berlaku ekslusif tetapi inklusif. Memastikan bahwa tidak
ada lagi diskriminasi terjadi di sekitarnya, tidak lagi hanya membantu orang
yang sama identitasnya. Berlaku adil terhadap semua golongan tanpa memandang
RAS. Celah-celah dan dimensi perbedaan-perbedaan itu harus bisa dirobohkan,
harus berlaku adil sejak dari pikiran (pesan Pram dalam Bumi Manusia), tanpa
memandang baju apa yang orang lain pakai.
Magis
semper, dengan memegang prinsip on going formation, kader PMKRI harus tumbuh
dan berkembang dari hari ke hari menjadi pribadi yang lebih baik. Semua itu
dicapai dari hasil kerja keras bukan menggergaji teman. Selalu menjaga mutu-nya
mengingat banyaknya godaan di dunia ini, bukan mundur dari mutu sebelumnya
namun lebih bermutu lagi, dan selalu bersikap profesional. Maka jika ada kader
PMKRI yang malas mengasah kemampuannya bahkan malas mendengarkan materi yang
disampaikan dalam kesempatan-kesempatan belajar karena merasa sudah pintar, itu
bukanlah ciri kader PMKRI.
Dari
narasi keenam ciri di atas, sudahkah kita layak disebut atau menganggap diri
kader PMKRI yang seutuhnya?
Jika
keenam identitas di atas sudah melekat pada setiap kader PMKRI, kurang
kontekstual apa lagi kader kita di dunia yang selalu berubah ini? Bila keenam
identitas kader PMKRI di atas adalah keseluruhan pengetahuan setiap kader sebagai
makhluk sosial (di PMKRI dan di masyrakat) yang digunakan untuk memahami
lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya, maka
jangan ragukan lagi betapa relevannya PMKRI hadir di tengah zaman yang kian
bergerak cepat ini.
Haruskah
PMKRI berubah?
Seperti
slogan Rhenald Kasali di atas, karena Dunia berubah, maka mau tidak mau PMKRI
juga harus berubah kalau tidak mau mati. Namun apakah budaya (baca: nilai-nilai
PMKRI) yang kita hidupi selama ini yang harus berubah?
Dunia
memang berubah, namun bukan sifat alamiahnya. Manusia misalnya, masih marah
jika diperlakukan dengan tidak adil. Kita masih bersedih jika ada teman kita
yang sedang kemalangan.
Mengingat
hal-hal yang kita perjuangkan adalah keadilan sosial, kemanusiaan, dan
persaudaraan sejati, karena dunia sudah berubah, apakah hal-hal itu sudah
berubah? Di satu sisi kita harus mengakui bahwa ada perubahan yang lebih baik. Misalnya,
sudah ditemukan banyak obat medis untuk menjamin kesehatan umat manusia. Namun,
masih banyak juga kasus malapraktek. Maka tidak salah PMKRI tetap
memperjuangkan ketiga hal itu.
Di
tengah itu semua (pergumulan-pergumulan manusia), ada anggapan bahwa PMKRI
tinggal menunggu mati. PMKRI kini hidup dalam kenyamanan, kita tidak lagi mau mencium
bau keringat orang tertindas (pada bagian ini, perlu diskusi lebih lanjut).
Karena
PMKRI dibentuk dari latar belakang semangat untuk mengubah dunia yang lebih
baik karena dunia yang tidak adil. Maka PMKRI lahir untuk memperjuangkan,
prinsip perjuangan ini yang harus dihidupi selalu. Memperoleh pekerjaan
(setelah ber-PMKRI) karena relasi adalah harus dianggap sebagai bonus saja
bukan tujuan utama ber-PMKRI.
Jadi
apa yang ingin kita ubah, dan berubah ke mana? Maka, ternyata, bukan
nilai-nilai PMKRI-nya yang sudah tidak relevan lagi. Yang harus berubah (yang
harus pertama-tama sekali berubah) adalah kader-kadernya, dengan segala
kebiasaannya yang terlanjur tidak lagi mencerminkan manusia yang menjiwai nilai-nilai
pancasila dan kekatolikan.
Dunia
berubah, Skenario terbaik dan terburuk dunia, lantas apa yang harus diubah?
Pertama-tama
sudah disinggung di muka, bahwa kebiasaan-kebiasaan kader PMKRI yang sudah
melenceng dari identitas yang seharusnya itu yang harus diubah. Bukan mengbubah
orientasinya karena justeru orientasi PMKRI kian relevan karena dunia yang
berubah sangat cepat ini.
Kini
kita mulai mengenail masyarakat 5.0[2]
yang diperkenlakan oleh Jepang di mana teknologi digital diaplikasikan dan
berpusat pada kehidupan manusia. Tujuan penerapannya tentunya untuk mewujudkan
tempat (dunia) di mana manusia dapat menikmati hidup.
Dalam
hal itu, big data dan internet of things akan berubah menjadi artificial
intelligent (kecerdasan buatan) yang menyentuh semua aspek kehidupan
masyarakat. Dengan kecerdasan buatan ini manusia akan dengan gampang mengetahui
jika ada bibit penyakit di dalam tubuhnya, hingga sebelum penyakit itu
melumpuhkannya sudah diambil tindakan pencegahan.
Namun
tentu saja kita tidak bisa percaya (baca: lengah) begitu saja (karena kekaguman
yang berlebihan). Semua teknologi awalnya diciptakan demi memudahkan hidup
manusia tanpa memandang golongan, namun dalam perjalanannya manusia kerap jatuh
dalam keserakahan untuk memiliki lebih dari yang lain. Hingga untuk
kesenangannya sendiri tidak jarang manusia mengorbankan manusia yang lain.
Profesor
Yuval Noah Harari dalam Homo Deus memprediksi akan semakin banyak manusia yang
tidak berguna[3]
(useless people) pada masa yang akan datang seiring dengan perkembangan
teknologi dengan adanya artificial intelligent yang dimodifikasi dengan bio
teknologi. Kesenjangan sosial akan sangat mungkin semakin melebar. Yang
menguasai dunia dan semua sumber dayanya hanyalah segelintir orang.
Kalau
di muka, Jepang telah memperkenalkan skenario terbaik di masa depan, maka (salah
satu) skenario terburuk yang sangat mungkin terjadi adalah kesenjangan sosial
yang semakin melebar dan terciptanya manusia-manusia tidak berguna. Karena
keserakahan yang melekat pada diri manusia, pada akhirnya, bisa saja manusia
pemilik modal (data dan teknologi) yang menguasai kebanyakan sumber daya akan
melakukan genosida terhadap manusia-manusia tidak berguna itu.
PMKRI
harus bisa memberikan solusi terbaik untuk menjawab skenario-skenario terburuk
yang akan terjadi di masa yang akan datang. PMKRI dalam niatnya untuk berubah
harus mengarah pada skenario itu. Mencipta kader yang berdaya sekaligus
memiliki hati.
Menjadi
kader yang berdaya dan memberdayakan
Kehdarian
PMKRI tentunya harus mampu menciptakan kader-kader yang berdaya yang menjiwai
semua nila-nilainya, yang bercirikan keenam identitas kader di muka. Selain
berdaya mampu pula memberdayakan orang lain. Benang ‘intelektual populis’ yang
telah terajut di dalam diri kader PMKRI akan semakin kontekstual jika semua
ilmu yang dimiliki bukan semata-mata digunakan untuk dirinya sendiri namun untuk
memberdayakan orang lain di sekitarnya.
Mengingat
dunia yang berubah ke arah ‘digitalisasi’ dengan semua dampak baik dan buruknya,
kader PMKRI harus segera mempelajarinya dengan serius. Arus informasi yang kian
cepat harus ditanggapi dengan bekerja dengan tempo yang semakin meningkat
sembari menjaga irama agar tetap berpegang pada nilai-nilai PMKRI.
Silabus
pembinaan PMKRI, misalnya, sudah saatnya mengakomodir materi yang membahas
dunia digital ini. Kalau saat ini surat-menyurat dipelajari agar setidaknya saat
melamar pekerjaan kader PMKRI tidak lagi gagap menulis surat lamaran, kini
dunia teknologi harus dipelajari agar tidak tergilas zaman dan menjadi
manusia-manusia tidak berguna.
Agar
bisa memberdayakan yang lain, seseorang harus memiliki daya dahulu. Karena
hanya orang yang memilikilah yang mampu memberi. Intinya, kalau ingin mengubah,
mari mulai dari diri sendiri.
Jakarta, 06 Februari 2019
*Sekretaris Jenderal PP PMKRI
Periode 2018-2020
Note:
Tulisan ini terbit pertama kali di Majalah Petra Komda III PMKRI No. 01
KOMENTAR