Oleh: Dominikus Dhima*
Pemilihan Umum serentak 17
April 2019 merupakan pemilu perdana yang menyertakan antara pemilihan
legislatif dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Penyelenggaraan pemilu
serentak merupakan titah dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
14/PUU-XI/2013 hasil dari judicial review dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam pandangan MK,
penyelenggaraan Pilpres haruslah dikaitkan dengan rancang bangun sistem
pemerintahan menurut UUD 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial.
Lebih lanjut, undang-undang Nomor
7 tahun 2017 diterangkan bahwa tidak semua pemilih bisa mendapatkan surat suara
yang sama yakni, surat suara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD,
DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sebab ada kalanya pemilih hanya
mendapatkan satu surat suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden jika pemilih
yang bersangkutan merupakan pemilih pindahan bukan pada daerah pemilihan
anggota DPR, DPD maupun DPRD pemilih tersebut.
Momentum Pemilu serentak 2019
juga merupakan pesta demokratis terbesar di Indonesia dan mengandung banyak
ancaman yang melebihi pemilu pasca tahun 2014. Ancaman pemilu gagal bisa datang
dari sebelas arah. Pertama, dari arah
kelompok revolusioner yang menggelindingkan tema sentral “menolak pemilu”.
Mereka berdalih pemilu tidak akan bisa berjalan jujur dan adil, besih dan
demokratis. Alasan dikaitkan pengelaman
pemilu-pemilu pasca orde baru tahun 1999 bahkan 2014 yang penuh dengan intrik
dan manipulatif. Kelompok ini menghendaki perubahan cepat ekstra konstitusional
melalui pembentukan tim transisional yang direkrut dari tokoh masyarakat ke beberapa
wadah seperti; gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), gerakan Salafy Dakwah dan
Sururi dan masih banyak pelabelan gerakan lainnya. Ide ini sulit dipraktikan,
banyak yang memandang dan menilainya absurd.
Kelompok ini terdiri dari beberapa elemen gerakan mahasiswa seperti forkot,
famred, dan sebagainya.
Kedua, dari fenomena konflik
internal komisi pemilihan umum (KPU). Sejak awal KPU terbentuk, potensi
konfliknya tinggi dan bisa berdampak menunda pemilu. Walaupun para anggotanya
bersemangat luar biasa agar pemilu tetap berlangsung 17 April 2019, namun
apabila konflik antara kubu reformis dan status
quo ataupun kubu oportunis tak teratasi, gagalnya pemilu justru bisa datang
dari KPU. Karenanya, konflik di internal KPU harus selalu dicermati secara
cerdas. Konteks ini KPU diuji
kemampuannya mengelola konflik.
Ketiga, dari kelompok apatis pemilu
yang nyaris tidak memiliki kepedulian politik sama sekali terhadap pemilu.
Walaupun gegap gempita, tatkala simbol partai-partai politik mudah ditemui
diberbagai tempat, mereka tetap cuek atau apatis saja. Pemilu bagi mereka
bukanlah momentum istimewa perubahan nasib bangsa. Walaupun iklan di televisi
amat menggugah masyarakat daftar ramai-ramai ikut pemilu, kelompok ini tidak
menggubris. Meskipun demikian, tak
semua kelompok apatis memiliki penyebab sama. Mungkin mereka memang tidak
sempat mendaftarkan diri, sementara petugas pendaftaran pun tidak lagi keliling
dari rumah ke rumah.
Kelima, dari arah ancaman konflik
terbuka yang diwarnai kekerasan fisik antarmassa politik lapisan bawah (grass root). Menjelang pemilu serentak 17 April 2019 intensitas konflik
lapisan bawah cendrung semakin meninggi. Kerusuhan di Riau, Pekan Baru yang merusak
atribut Partai Demokrat dan menyasar massa politik pendukung Demokrat oleh Heryd
atas perintah oknum politikus PDIP belum lama ini, sekedar contoh konflik
politik lapisan bawah mudah terjadi. Intensitas konflik politik massa lapisan
bawah penyebabnya beraneka mulai dampak psikologis sosial yang memicu
resistensi terhadap negara, rendahnya pengelaman berdemokrasi, menipulasi elite
hingga menonjolnya politik identitas.
Keenam, apabila militeri tidak
profesional dan independen dalam politik. Militer dalam massa reformasi ini
biasanya menunggu kesempatan came back, berupaya
mengendalikan kekuasaan dengan bedil. Kekhawatiran ini diperkuat oleh lemahnya
kalangan sipil yang sulit membangun konsensus. Pemilu 2019 merupakan momentum
eksperimentasi demokrasi. Apabila gagal, intervensi militer tidak terelakkan.
Tetapi apabila menyimak dukungan TNI terhadap pemilu, Kekhawatiran ini kecil
saja.
Ketujuh, dari kalangan petualang atau
broker politik yang memanfaatkan
momentum jelang pemilu. Mereka termotifasi secara material dan kekuasaan untuk
melakukan aksi-aksi, bahkan dengan cara-cara kotor sekalipun. Kehadirannya bak
siluman, rapi menjalankan aksi politiknya. Sulitlah kiranya menuduh sebuah
kelompok politik sebagai kumpulan petualangan politik yang menerapkan poltik
materi. Namun biasanya, para petualangan mudah diamat, lewat manuver-manuver
politiknya.
Kedelapan, skenario asing, inilah yang
sering dipandang paling “berbahaya”, namun sebenarnya fenomena biasa saja.
Tidak dapat dipungkiri pihak-pihak asing memiliki kepentingan. Jatuhnya orde
lama dan orde baru, menurut sementara kalangan, tidak lepas dari skenario pihak
asing. Menjelang pemilu, mereka menerapkan skenario besarnya. Mereka memiliki
catatan “hitam-putihnya” Indonesia. Perlu diingat bahwa kepentingan asing
berbeda-beda, ada yang menghendaki pemilu sukses, namun ada yang menghendaki
gagal.
Kesembilan, politik uang. Hal ini dapat
mencederai prinsip demokrasi sehingga berpotensi menimbulkan sederat persoalan.
Di antaranya, mengganggu ketertiban, persaingan tidak sehat, tidak memberikan
pembelajaran politik yang benar dan bermartabat, serta menimbulkan
kecurangan dan kejahatan lain.
Kesepuluh, kampanye hitam (black campaign) melalui media digital.
Kecendrungan hal ini dilakukan dengan menyebarkan berita hoaks, palsu, dan
negatif. Hal tersebut mengedepankan praktik politik identitas dengan
memanfaatkan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Kesebelas, manipulasi penghitungan
suara dilakukan dengan modus kerjasama antara saksi kandidat atau partai dan
oknum penyelenggara pilkada atau pemilu. Untuk tindakan ilegalnya, seperti
mengurangi, merusak, bahkan menambah suara.
Ancaman pemilu di atas layak dipertimbangkan sebagai
ranjau-ranjau reformasi dalam pesta demokrasi menuju pemilu serentak 17 April
2019. Tantangan utama kelompok reformis bagaimana mengelola potensi konflik.
Perbedaan pandangan tidak lantas memicu permusuhan. Apabila kekerasan, dendam,
dan politik machiavelistik dikedepankan, maka demokrasi kita semakin menangis.
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik di Pascasarjana Universitas Nasional - Jakarta sekaligus Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Manajemen Pemerintah Indonesia (LPMPI) di Jakarta.
KOMENTAR