Sebuah Pengantar Dari Sahabat Untuk Buku .id - Jejak Pencarian*
Oleh: Yogen Sogen[1]
Buku “.id – Jejak Pencarian” yang
diseduh oleh Tomson Sabungan Silalahi sungguh merupakan penggalian dan
kebermaknaan atas eksistensi hidup seorang manusia. Membaca sejarah-sejarah hidup
manusia yang diliput oleh setiap penulis, saya kemudian mendaratkan satu rasa
syukur bahwa kita patut bersyukur karena adanya penulis. Dari penulislah kita
dapat menyulut daya pikir ke dalam ruang penghayatan. Gagasan yang dinahkodai
oleh penulis, berkenaan dengan rekonstruksi waktu di setiap penggalan-penggalan
pengalaman, merupakan sejarah penghayatan yang panjang. Dari penggalan
pengalaman itulah manusia kemudian menemukan makna dari hidup itu sendiri
seperti gradasi yang diungkapkan oleh Tomson bahwa, “dalam segala sesuatu ada sesuatu-sesuatu yang lain yang lebih kecil
yang menjadikan sesuatu menjadi sesuatu yang lain yang lebih besar”.
Historisitas kehidupan sejatinya
merupakan kebutuhan. Dalam konteks pergumulan atas ruang dan waktu di dalam
kehidupan, saya kembali teringat akan sebuah khotbah seorang uskup pada misa
malam Natal tahun 2016 silam, yang mulia Mgr. Paskalis Bruno Syukur, O.F.M
(Uskup Bogor), dalam khotbahnya dengan tegas menginterupsikan kepada setiap
pribadi untuk kembali merefleksikan perjalanan kehidupannya selama
pengembaraanya di dalam dunia ini. Hal ini bukan sekadar untuk “mengenang” akan
tetapi lebih kepada memaknai tapak-tapak kehidupan itu sendiri. Karena dalam
mengenang kehidupan, kita akan berada dalam satu ruang pembaharuan atas lahir
dan laju waktu yang terus bergerak menuju perubahan-perubahan di dalam nadi
kehidupan.
Baca juga: Review Buku .id - Jejak Pencarian (Part 1)
Substansi dari khotbah Bapak Uskup
Paskalis itulah kemudian saya kaitkan dengan inti dari buku “.id – Jejak
Pencarian” yang oleh Tomson
mengintruksikan ke dalam fakta sejarah (dibukukan), maka di sinilah
titik temu lahirnya refleksifitas kehidupan manusia yaitu, kronos dan kairos. Dalam
terminologi bahasa Yunani, waktu dikenal sebagai kronos dan kairos
kemudian dalam Alkitab dipakai oleh para penulis Perjanjian Baru untuk menunjuk
keimanan dalam persekutuan dengan Tuhan.
Secara umum kronos berarti perjalanan waktu seperti jam ke jam, hari ke hari,
bulan ke bulan, tahun ke tahun, singkatnya urutan peristiwa hidup atau hal apa
saja yang terjadi di dalamnya. Di dalam kronos
ada lintasan peristiwa seperti yang diceritakan oleh Tomson di dalam buku
ini. Di sini akan menjadi permenungan dari kegagalan-keberhasilan, suka-duka,
dan segala yang tercatat di dalam detak peristiwa yang dilakoninya. Kemudian kairos lebih menitikbertatkan kepada
kualitas diri dalam peristiwa yang ada. Singkatnya hal bermutu yang terjadi di
dalam waktu. Akan tetapi tidak semua waktu menampilkan peristiwa yang bermutu.
Waktu akan terus bergerak,
pengalaman akan terus mengukir pengalaman, namun kualitas hidup selalu berbeda.
Manajeman waktu yang baik akan menunjukkan kualitas hidup yang baik. Begitupun
sebaliknya. Oleh karena itu kairos harus
terus berdetak dalam kronos karena,
di dalam peristiwa hidup yang berembus dalam waktu akan ada karya-karya yang
menampilkan kualitas hidup seseorang. Seperti yang diceritakan oleh Tomson di
dalam buku ini. Jika mencermati serpihan-serpihan pengalaman dalam buku ini
maka, kita akan masuk pada keindahan rasa yang bernyawa dan mendekap refleksi
intelektualitas. Dan intelektualitas berarti menyelami yang tersembunyi,
membaca yang kabur, menerangi kegelapan. Melalui intelektualitas, kebenarana
akan menyatakan dirinya, sebagaiamana kata orang-orang Yunani tentang kebenaran
sebagai alethia, sebuah penyingkapan
diri. Di dalam penyingkapan ada kebenaran, dan kebenaran adalah apa yang
dikatakan sendiri oleh sesuatu mengenai dirinya, bukan hasil rekayasa seorang
pengamat.
Baca juga: Review Buku .id - Jejak Pencarian (Part 2)
Meneropong “.id – Jejak Pencarian” di dalam dimensi
kehidupan, kita mesti mengakui bahwa hidup manusia adalah anyaman relasi yang
terlampau kompleks untuk dapat terbaca seluruhnya, bahwa dunia tidak sepenuhnya
dapat diperhitungkan. Akal memang telah berjasa untuk menerobos banyak
kegelapan yang memenjarakan manusia dalam kekerdilan, kemiskinan, kebodohan,
tetapi akal yang demikian tajam serupa belati tak sanggup mengurai pengalaman
yang berdenyut dalam horizon kehidupan. Dominasi akal budi dalam setiap
lembaran pengalaman adalah dominasi pola pikir, budaya dan politik tertentu.
Kebudayaan yang bernafas dalam nadi penulis buku “.id – Jejak Pencarian”
menjadi narasi besar yang menentukan kelayakan segala sesuatu yang kemudian
membuka lemabaran-lembaran pemikiran penulis dalam meretas seluruh kisahnya
secara gamblang di dalam buku ini.
Dari pengahayatan saya terhadap apa
yang diungkapkan oleh Tomson di dalam buku inilah yang menjadi alasan saya
untuk menguras teka-teki pengalaman hidup seorang Tomson. Pengalaman menjadi
sebuah narasi kemisteriusan manusia dan kedalaman dunia. Semuanya menyimpan
rahasia dalam kanvas hidup seorang manusia. Hidup adalah perhitungan
sebab-akibat, hidup adalah seperti membaca huruf konsonan, bukan hanya melahap
hal mudah seperti membaca abajd-abjad A-Z, hidup adalah dilektika
intelektualitas, bukan sebuah sylogisme lurus dengan premis-premis yang jelas
dan argumentasi yang logis. Karena pada roh kehidupan itu sendiri terdapat hal
yang paling sensitif yaitu ketika kekalahan dalam menghadapi yang tanda tanya.
Akhirnya, “siapa saya” adalah hal
misterius yang harus dibuka untuk melihat dan menghayati seberapa jauh kita
“mengenal kehidupan” yang sesungguhnya. Jika telah menemukan kemisteriusannya,
sempatkanlah untuk menulis, jika tidak, berdiamlah dan ceritakan pada ruang
hampa. Karena dengan mengungkapkan fakta sejarah secara tertulis, kita sudah
menginterupsikan identitas kehidupan untuk dijawab oleh orang lain yakni
membaca roh motivasi di dalam pengalaman orang lain, iya, seperti yang disuguhi
oleh Tomson dalam “.id – Jejak Pencarian” ini. Ada sebuah interupsi menarik
oleh Tomson yang menjadi refleksi yang setidaknya dan sepertinya seksi
untuk dihayati bersama yakni, “Untuk melakukan sesuatu yang benar-benar
baik, orang harus melihat, menilai, dan melakukan sesuatu, selanjutnya
merefleksikan kembali untuk melakukan yang lebih baik, demikianlah seharusnya
untuk seterusnya”.
Saya menyebut ungkapan ini layaknya
“interupsi” karena di dalam penggalian maknanya kita menemukan sebuah libasan
protes, dan meminta waktu secara beradab demi sesuatu yang penting. Interupsi
mengingatkan kita pada sebuah wadah penghayatan akan hari kemarin, hari ini dan
sebuah entah.
Demikianlah pengantar
dari saya, semoga buku ini memberi inspirasi dan memantik ruang refleksi untuk
pencerahan bagi sejagat mata dan hati para pembaca. Akhirnya saya menyampaikan
serimbun selamat kepada penulis dan
segenap pembaca sekalian. Semoga dalam hidup kita semua diberkati dan
dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin.
*Ditulis ulang dari buku .id - Jejak Pencarian h. 15-20
[1] Penulis Buku
“Nyanyian Savana”, Ketua Presidium PMKRI Cabang Bogor St. Joseph a Cupertino
Periode 2016-2017.
Penasaran dengan buku ini, langsung pesan melalui link berikut ini:
https://jejakpublisher.com/product/id-jejak-pencarian/
Penasaran dengan buku ini, langsung pesan melalui link berikut ini:
https://jejakpublisher.com/product/id-jejak-pencarian/
KOMENTAR