Oleh: Tomson
Sabungan Silalahi*
Dalam bukunya
“Homo Deus” Prof. Yuval Noah Harari memprediksi akan semakin banyak manusia
yang tidak berguna[1]
(useless people) pada masa yang akan datang seiring dengan perkembangan teknologi
dengan adanya Artificial Intelligent
– kecerdasan buatan yang dimodifikasi dengan bio teknologi. Tenaga manusia yang
digunakan saat ini, misalnya kasir, bisa saja digantikan oleh mesin/robot.
Kalau kita perhatikan, beberapa tahun belakangan ini, ada banyak mesin penjual
makanan dan minuman di tempat-tempat tertentu, bandara dan stasiun kereta,
misalnya. Hal ini tentu boleh mengafirmasi prediksi Yuval di atas. Singkatnya,
angka pengangguran akan meningkat tajam di seluruh dunia.
Di Indonesia, bisa
diprediksi angka pengangguran akan signifikan meningkat. Pasalnya, alih-alih
menguasai teknologi, tingkat literasi masyarakat Indonesia masih
memprihatinkan. Dari 61 negara, Indonesia menempati urutan ke-60 di bawah
Thailand yang menduduki peringkat ke-59. Rendahnya tingkat literasi ini selain
karena membaca belum menjadi kebiasaan juga diperparah oleh fasilitas
pendidikan yang belum memadai[2].
Di tengah
kenyataan literasi yang rendah itu, bermunculan pula hoaks di berbagai platform
sosial media yang sering digunakan masyarakat Indonesia. Kampanye untuk perang
melawan hoaks memang selalu didengungkan, namun apa daya, apabila tingkat
literasi masih pas-pasan, tetap saja akan gampang termakan hoaks. Belum lagi
dengan ujaran-ujaran kebencian, semua itu akan memperparah keadaan. Masyarakat
Indonesia akan dengan gampang disulut amarahnya ketika tidak mampu menyaring
informasi secara kritis.
Sudah tidak melek
teknologi, kemampuan literasi kurang memadai (kalua tidak mau dibilang
hancur-hancuran), kemudian muncul hoaks di mana-mana, lengkaplah. Tentu saja
akan tetap menjadi momok jika tidak segera diselesaikan.
Korupsi dan Daya Literasi Indonesia
Pemerintah baik
Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif harus benar-benar bekerja secara jujur
untuk memutus rantai permasalahan dasar di atas. Sudah saatnya berhenti
memperkaya diri. Mencukupkan diri dengan gaji yang ada. Berhenti melakukan
tindakan-tindakan korup agar bisa memberikan fasilitas yang memadai bagi
sekolah-sekolah di pelosok Nusantara. Agar bisa meningkatkan mutu pengajar di
seluruh Indonesia dan pada akhirnya hoaks dan ujaran kebencian tidak lagi
memecah belah anak bangsa. Harapannya, suatu saat kita akan menjadi bangsa yang
memiliki anak-anak yang melek teknologi dan ikut berpartisipasi membangun dunia
yang lebih baik, tidak lagi duduk di bangku penonton sambil menunggu uluran
tangan kasih bangsa lain atas semua masalah-masalah yang kita hadapi.
Semoga kita masih
bisa berpengharapan, pasalnya sejak KPK, lembaga anti rasuah itu didirikan
tahun 2002, masalah korupsi masih saja menjadi trending topic di media-media besar (pun kecil) Indonesia sampai
saat ini. Ini menjadi pekerjaan rumah bersama untuk dituntaskan. Mulai dari
diri sendiri. Mengapa? Karena sadar atau tidak sadar, kita (termasuk penulis) sering
memaklumi perilaku korup diri sendiri (atau orang dekat kita) dan kerap
mengutuk perilaku korup orang lain atas keterlambatannya untuk menghadiri
rapat, misalnya. Semua manusia Indonesia harus tobat nasional.
Isu korupsi belum
selesai muncul pula isu radikalisme. Indonesia tidak luput dari paham itu. Kebangkitan
pihak-pihak ekstrimis ini bukanlah tanpa sebab. Ketidakpercayaan akan
pemerintahan adalah salah satu alasannya. Tidak percaya karena orang-orang yang
seharusnya menjamin kesejahteraan masyarakat Indonesia malah menyengsarakannya
dengan memelihara perilaku korup masing-masing.
Korupsi, Radikalisme, dan Nasionalisme yang Usang
Selain kehadiran
paham radikal, muncul pula pendapat para milenial dunia bahwa nasionalsime
sudah usang, tidak relevan lagi. Para milenial lebih memilih menjadi masyarakat
dunia yang memiliki satu pemerintahan[3]. Survei
dilakukan di 15 negara termasuk di dalamnya Rusia, Amerika dan India. Milenial
di negara-negara yang disurvei sudah berpikiran lebih terbuka. Tidak hanya satu
pemerintahan tapi juga satu mata uang, keinginan untuk bersatu daripada
dipisah-pisah oleh teritori-teritori negara.
Sedikit berbeda
dengan keadaan di Indonesia, pemerintah[4]
merasa bahwa rasa nasionalisme orang muda Indonesia sudah berkurang. Di luar masalah ekonomi, yakni kesenjangan
sosial yang ada. Nasionlaisme tergerus (sepertinya) bukan karena milenial di
Indonesia sudah berpikiran lebih terbuka, namun lebih kepada dicekcoki dengan
paham-paham radikal yang menganggap bahwa kebenaran ada di pihak mereka dan
milik mereka sendiri, malah lebih tertutup. Semua yang berbeda dengan agama dan
atau suku sendiri adalah salah, sampai tidak mampu melihat sisi positif dari
suku dan atau agama yang berbeda. Singkatnya sejumlah milenial Indonesia
menganggap ideologi Pancasila[5]
yang dianut bangsa ini sudah tidak relevan lagi dan harus diganti.
Jujur: Mengatasi Masalah dan Menjawab Tantangan Kita
Masalah-masalah
sebelumnya belum tuntas diselesaikan malah muncul tantangan baru yang butuh
untuk dicarikan solusinya. Disrupsi teknologi, perubahan iklim, dan perang
nuklir yang sudah di depan mata butuh solusi sesegera mungkin. Bagaimana
Indonesia boleh perpartisipasi menjawab tantangan itu sementara kita masih
bergelut dengan rasa nasionalisme kian tergerus?
Nasionalisme ibarat
cinta, tidak akan tumbuh jika sang kekasih (baca: pemerintah) tidak bisa
menjamin yang mencinta untuk memperoleh hak-haknya sebagai warga negara. Bebas
dari tindakan represif, misalnya. Secinta apapun saya terhadap sang pacar,
kalau saya selalu dipukul dan disakiti, cinta itu akan saya lepaskan, harus
malah. Lebih baik saya mencari cinta yang lain. Untuk apa mencintai kalau
derita yang didapat?!
Kalau masih
mencintai Indonesia dan mau ia tetap utuh, sudah saatnya kita melihat diri
sendiri secara jujur. Mengakui kekurangan kita, meminta maaf jika memang pernah
melakukan kesalahan. Mulai berlaku adil, saran Pram, sejak dari pikirian, sambil
menunggu robot-robot yang canggih (yang mungkin akan) menguasai peradaban. Mari
kita selalu berusaha membaharui diri.
Milenial Melek Teknologi Berpolitik
Sebagai agen
perubahan, pemuda dan pemudi milenial harus mampu menjawab tantangan zaman dan
senantiasa membaharui diri. Pada era
disrupsi ini, manusia dituntut untuk semakin fleksibel agar senantiasa relevan
dengan tuntutan zaman. Bisa diawali dengan membangun channel YouTube yang baik, dengan konten yang boleh meningkatkan
kesadaran sosial masyarakat, selain sangat memungkinkan untuk menghasilkan duit.
Karena selama kita berada dalam satu negara dengan semua regulasinya, melek
teknologi tidaklah cukup, milenial juga harus sadar politik.
Mumpung lagi musim
politik, mari kita tanyakan pertanyaan-pertanyaan berikut kepada orang yang
menawarkan diri untuk mewakili suara kita di parlemen; Apa yang akan dilakukan
untuk menjawab tantangan-tantangan dunia saat ini seperti disrupsi teknologi,
perubahan iklim, dan perang nuklir yang mengancam? Akan munculnya
manusia-manusia tidak berguna karena kehadiran robot-robot pekerja yang lebih cerdas?
Karena kalau ditanya komitmen untuk tidak korupsi, semua pasti menjawab dan
dengan berapi-api tidak akan melakukannya bahkan sampai berjanji untuk tidak menerima
gaji se-rupiah-pun. Kalau mereka tidak bisa menjawab, jangan pilih!
____
Tomson Sabungan
Silalahi, milenial kelahiran Siantar.
Penulis buku .id-Jejak Pencarian terbitan Jejak Publisher, saat ini sedang
menempuh studi di Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Catatan:
Artikel ini pernah dilombakan dan mendapat Juara 1 dari 949 opini yang diselenggarakan oleh Jejak Publisher Bersama FORKOMSI FEB UGM pada tanggal 27 Januari s.d. 15 Februari 2019 dan telah dibukukan bersama 59 tulisan terpilih lainnya.
Silakan pesan bukunya melalui Jejak Publisher, klik link berikut: http://jejakpublisher.com/product/pemuda-milenial/
[1] Bdk. Yuval Noah
Harari, Homo Deus – Masa Depan Umat
Manusia, (Ciputat: Alvabet, 2018),
h. 366-377
[2] Bdk. https://student.cnnindonesia.com/edukasi/20170910122629-445-240706/mengapa-literasi-di-indonesia-sangat-terendah/
[3] Bdk.
https://www.huffingtonpost.co.za/2017/11/23/millennials-were-global-citizens-nationalisms-outdated_a_23286163/
[4] Bdk. https://news.detik.com/berita/d-4010647/pimpinan-dpr-nasionalisme-perlu-ditanamkan-pada-anak-muda
[5] Bdk.
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/17/17040081/kesenjangan-ekonomi-jadi-alasan-penurunan-publik-yang-pro-pancasila
KOMENTAR