Oleh: Carla Makay
Saat menulis artikel ini, saya sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika masyarakat menelan mentah-mentah artikel ini tanpa mempertimbangkan sisi positif yang terkandung di dalam tulisan ini. Sudah lama saya ingin mempersembahkan tulisan dengan topik ini, hanya saja langkah saya terhenti dikarenakan minimnya bahan dan sumber yang mendukung buah pikir ini. And then saya menemukan keberanian dan orang-orang yang sepaham dengan topic ini dalam sebuah akun media social instagram “indonesiafeminis, mawarmerona, lawanpatriarki, asmar*ku_id” yang akhirnya memantapkan niat saya untuk mulai buka suara tentang apa yang salah dan sudah terlanjur hidup di dalam paradigma masyarakat Indonesia. Untuk teman-teman yang care dan mau belajar tentang teori feminisme dan keperempuanan, saya anjurkan untuk bisa ikuti akun di atas.
So...Let’s talk about “Keper*wanan”
Ada tidak di antara teman-teman baik laki-laki maupun perempuan yang pernah mendengar ungkapan seperti ini “aku nggak maulah dapat cewe uda nggak per*wan, masa aku uda menjaga punyaku, terus malah jadi sama cewek yang nggak menjaga keper*wanannya”, dan satu lagi; senakal-nakalnya cowok juga tetap pengen dapat cewek yang baik.
Dikira cewek baik-baik mau kali sama cowok nakal (pikirku).
Hahaha…sorry, ngakak…sumpah!
Jika punya teman laki-laki kalian pasti sering mendengar ungkapan di atas.
Apakah ada yang salah dengan ungkapan di atas (renungkan sejenak)?
Bagi saya “YA” dan bagi sebagian orang tentu “TIDAK!”
Jika demikian, sebagai perempuan bolehkan saya mengajukan pernyataan dan pertanyaan yang sama sesuai dengan apa yang ada di benak kami?
Hallo… senakal-nakalnya cewek, dia juga ingin laki-laki yang baik? lalu, salahnya di mana? karena dia perempuan?
Jika kalian meminta kami untuk menjaga keper*wanan kami, apakah kalian bisa jujur tentang keperj*kaan kalian? Karena perempuan per*wan berhak menolak laki-laki yang tidak perj*ka. Sayangnya ketidakperj*kaan itu tidak bisa dibuktikan seperti keper*wanan kami!
Perempuan selalu dituntut untuk tetap menjaga keperaw*nan dan tidak melibatkan diri dalam hal apapun yang berkaitan dengan s*ksualitas, sementara laki-laki bebas melakukan apa saja. Perempuan yang menunjukan s*ksualitas entah dari omongan atau perbuatan dianggap perempuan nakal sementara laki-laki dianggap wajar padahal kita sama-sama manusia, kenapa harus dibeda-bedakan?Maaf, mungkin beberapa orang tidak mendukung kesetaraan gender.
Komentar dan Tanya jawab di atas sering kali kita temui dalam keseharian kita. Lalu apakah tanggapan kita tentang hal tersebut? Apakah mengiyakan atau membantah argumen tersebut?
Pada dasarnya konsep tentang PER*WAN VS PERJ*KA berasal dari konstruksi sosial masyarakat yang menjujung tinggi nilai-nilai sosial. Masyarakat Indonesia terutama laki-laki banyak yang salah kaprah tentang arti keper*wanan sehingga mereka terjebak dalam kontruksi sosial itu sendiri. Banyak orang yang beranggapan bahwa perempuan yang tidak menjaga kesuciannya adalah perempuan tidak baik. Berbeda dengan laki-laki, perj*ka ataupun tidak masyarakat tetap menganggungkan mereka.
Sayangnya, setiap tingkah laku, gaya berbicara, gaya berpakaian, dan setiap aktivitas perempuan selalu diberi label dengan tanda “WARNING”? Perempuan selalu diberikan peringatan untuk tidak merokok, tidak miras, no s*x, tidak boleh memakai bikini, tidak boleh ini, tidak boleh itu dan seterusnya. Terkadang terlintas di benak bahwa apa yang perempuan lakukan adalah bentuk kompromi terhadap budaya. Berbeda dengan laki-laki yang dengan bebasnya bisa melakukan apa saja. Dosakah jika kita dilahirkan sebagai perempuan? Apakah salahnya jika perempuan menjadi manusia bebas, menjadi seperti apa yang mereka inginkan sama seperti laki-laki? bukankah kita diciptakan sama? Lalu siapakah mereka yang berani dan berhak memberikan batasan melebihi Tuhan yang menciptakan kita?
Menariknya di bebrapa kesempatan diskusi ataupun pertemuan dengan beberapa teman-teman ada hal baru yang kita jumpai yakni pengetahuan yang lebih maju melewati peradaban. Benar kata pepatah, lingkungan membawa pengaruh besar bagi kemajuan berpikir. Banyak dari mereka yang menyayangkan konsep berpikir sebagian orang terutama laki-laki yang menilai perempuan karena selangkangan. Bagi mereka, tidak ada alat ukur yang dapat mengukur seseorang itu suci atau tidak, baik dan buruknya seseorang takarannya bukan keper*wanan karena perawan itu hanya selaput yang ada di organ tubuh dan bukan soal moral. Selain dari pada itu, yang jauh lebih penting dan harus diperhatikan dari perempuan adalah kepribadian, karakter, kecerdasan, dan kedewasaan. Dan jika keperawanan perempuan masih dijadikan diskriminasi maka konstruksi sosial yang ada di masyarakat masih ada. Bagaimana bisa sebuah organ tubuh menjadi takaran bagi seorang manusia, sungguh tidak adil dan berat sebelah. Wanita berhak penuh atas tubuhnya, mengalahkan semua dalil-dalil semu yang ditulis oleh laki-laki. Masyarakat Indonesia harus sadar bahwa virginity bukan menjadi patokan kualitas moral seseorang. Salah satu contoh nyata kontruksi sosial yang masih melekat di dalam masyarakat kita yaitu adanya pemberlakukan tes keper*wanan di beberapa instansi seperti TNI. Terus kapan ada tes keperj*kaan?
Tulisan ini tidak mengajak kita untuk melakukan “s*ks bebas”, ulasan ini lebih kepada proses penyadaran mindset kita yang masih dijajah oleh konstruksi sosial. Ada beberapa fakta mengejutkan yang jarang diketahui masyarakat tentang beberapa aktvitas yang dapat mengakibatkan selaput darah sobek atau hilangnya keper*wanan. Pertama, saat lahir selaput darah tebal dan celahnya kecil. Seiring waktu, selaput darah menipis dan celahnya membesar. Kedua, selaput darah bisa sobek karena aktivitas nonseksual (olahraga, kecelakaan, penggunaan tampon). Ketiga, tidak semua selaput darah sobek pada pengalaman s*ks pertama. Berdarah saat s*ks bisa disebabkan kurangnya lubrikasi pada vagina. Keempat, selain selaput darah yang masih utuh, vagina lebih sempit karena kontraksi otot pelvis. Ketegangan pada otot pelvis bisa menyebabkan kecemasan si perempuan. Pada intinya keperawanan itu tidak ada, keperawanan hanyalah konstruksi dalam budaya patriarki.
Modernasi boleh berkembang begitu cepat tapi belum mampu menghancurkan dinding stigma keper*wanan yang dibangun oleh pemikiran manusia. Seharusnya manusia sudah bisa berpikir sesuai dengan tuntutan zaman yakni berpikir global walaupun berada di dalam masyarakat pedesaan. Maksud saya bukan tentang hal-hal negatif seperti meninggalkan budaya kita dan menerima budaya barat sebagai pola hidup yang baru, atau mengajak setiap anak perempuan untuk melepaskan masa lajangnya. Tidak! Tidak seperti itu, sekali lagi tujuan tulisan ini lebih kepada perubahan mindset dan cara pandang setiap orang yang masih dikekang oleh pemikiran kuno seperti ini. Paradigma masyarakat sangat sensitif ketika mendengar seorang anak perempuan yang hamil di luar nikah atau berhubungan s*ks dengan laki-laki yang dicintainya. Perempuan akan menjadi tontonan dan bahan gosip terhadap apa yang dilakukannya sedangkan laki-laki akan berada jauh di luar jangkaun masyarakat. Dua orang yang membuat kesalahan tapi perempuan yang menanggung derita tersebut. Jika benar masyrakat kita sudah cerdas, kenapa mereka lupa bahwa laki-laki juga ikut bertanggung jawab atas aib yang menyebar di masyarakat. Jika konstruksi sosial masyarakat tentang konsep keper*wan ini benar, maka biarkan ia tetap berdiri kokoh di tengah-tengah kita, namun jika hal ini dianggap keliru maka kita perlu bekerja sama untuk meluruskan pemahanan ini.
Kemajuan ilmu pengetahuan seharusnya menjadi motivasi bagi setiap orang untuk mulai peka pada kejanggalan-kejanggalan sosial budaya yang ada di sekitar kita. Referensi bahan bacaan yang bisa didapatkan di mana saja seharusnya menjadi ajang bagi kita untuk bertukar pikiran dan bisa memberikan asupan gizi pada otak kita demi kokohnya wawasan. Sayangnya, banyak orang pintar yang sudah paham namun pura-pura pintar ketika dihadapkan pada masalah seperti ini. Ilmu pengetahuan yang sudah lama bersarang di kepala menjadi tertimbun oleh paradigm lama masyarakat yang salah.
Banyak cinta yang terpaksa digantung karena kecewa mendapatkan perempuan yang tidak per*wan. Banyak kasus KDRT karena kehadiran orang ketiga padahal perempuannya masih per*wan. Banyak kasus kekerasan s*ksual pada laki-laki yang masih perjaka dan perempuan yang masih perawan. Banyak kasus perceraian karena kebutuhan s*ksual tidak terpenuhi. Banyak laki-laki perj*ka yang nikah dengan perempuan yang tidak per*wan namun hidup bahagia.
Lalu darimanakah pemikiran dangkal itu berasal bahwa keper*wanan menjadi landasan keberhasilan dalam suatu hubungan? Apa yang membuat kamu merasa lebih mulia dari seorang wanita hanya karena urusan selaput? Apakah kamu suci?
Jika yang dicari laki-laki hanya perempuan yang per*wan untuk apa perempuan harus sekolah dan kerja? Percuma perempuan per*wan tapi tidak bisa diajak bicara, tidak cerdas, sifafnya jelek, tidak setia, tidak jujur, yakin hubungan akan bahagia jika patokannya seperti ini?
Mari berpikir yang realistis, tidak ada manusia yang sempurna. Sekalipun perempuan sudah tidak per*wan lagi bukan berarti itu akhir dari kebahagiannya untuk mendapatkan laki-laki yang baik. Setiap orang berhak mendapatkan seseorang yang baik meskipun dia tidak per*wan dan tidak perj*ka lagi.
Mari saling jujur pada diri sendiri dan berhenti bersikap egois.
Jangan menjadi hakim bagi sesama manusia. Jika keper*wanan bukan menjadi ukuran kebahagiaan seseorang jangan pernah mencari celah untuk menyalakannya.
Stop menghakimi seseorang hanya karena masalah selaput. Ingat, selaput adalah organ tubuh bukan ukuran moral seseorang! And Kehormatan wanita tidak bisa dinilai dengan ker*wanan!
Kalo kamu menemukan perempuan yang tulus mencintaimu, baik hati, setia, dan ingin menjadi istri dan ibu yang baik, terus kamu mecampakannya hanya karena dia tidak per*wan, selamat kamu baru saja kehilangan masa depan yang bahagia hanya karena masa lalu yang tidak bia dihapus anyway.
Semoga saja setelah tulisan ini tersebar, ada hal positif yang diperoleh seperti rangkaian percakapan cantik seperti ini:
Cewek: Aku uda nggak per*wan?
Cowok: Terus kalo aku sayang bagaimana? Emang ngaruh?
Justeru setelah kamu tidak per*wan kamu bisa tahu mana laki-laki baik dan jahanam.
Persembahan untuk feminis: kultur memuja keper*wanan adalah perwujudan dari masyarakat yang amat PATRIARKIS!
#lawanpatriarki
KOMENTAR