Oleh:
Tomson Sabungan Silalahi
Joaquin Phoenix begitu apik
memerankan perannya dalam film ini, begitu riil. Saya mengingat bahwa saya menjadi
paranoid terhadap orang lain bahkan pada saat filmnya sedang diputar di depan
layar besar. Ada ketakutan kalau-kalau tiba-tiba ada orang dari salah satu
penonton berbuat hal aneh yang bisa membahayakan saya dan penonton yang
lainnya. Film ini begitu menyentuh setiap manusia yang menontonnya sampai bisa
separanoid itu. Dengan begitu egoisnya dan atau entah karena menyadari begitu
banyaknya persoalan yang sedang menimpa Indonesia dan dunia sampai-sampai bisa
berpikir seseorang akan melakukan hal sekonyol yang ada di dalam pikiran saya saat
itu. Dan saat menulis ini saya ingat, tidak semua orang bisa menonton di
Bioskop. Saya ingat pertama kali ke Bioskop setelah di Jakarta dan dibayari
sama seorang Kakak (yang tingkat ekonominya jauh lebih baik dari saya).
Kadang kita tidak tahu apa yang
telah memotivasi kita melakukan sesuatu tapi dalam film ini jelas digambarkan
apa yang membuat seorang Arthur yang awalnya baik menjadi seorang “Joker”
pembunuh berdarah dingin (darahnya jadi sedingin itu karena terlalu sering
dipanas-panasi/diperlakukan tidak adil). Tapi yang pasti adalah, setiap orang
berjuang untuk mendapat pengakuan, dengan caranya masing-masing, baik dan
buruk. Film ini menjadi beda karena menggambarkan cara yang buruk itu dengan
baik, walah.
Filmmaker dalam membuat sebuah
film tentu tidak pernah lepas dari ideologi yang dianutnya. Apakah Todd
Phillips (sebagai sutradara film ini) memang sedang menyampaikan keadaan rill
dunia saat ini? Dimana para elitnya begitu egois, demi karir dan pengakuan
(recognition) dari orang banyak bahwa dia mampu dan ingin diakui sebagai
seorang “pahlawan” yang bisa memberikan kehidupan yang lebih baik kepada orang
lain namun sanggup mengorbankan orang-orang terdekatnya yang ketepatan tidak
menguntungkan (atau bahkan menghambatnya) untuk mendapatkan “pengakuan” itu.
Joker menjadi film yang membuat manusia
yang menontonnya berpikir ulang tentang kehidupannya. Seperti beberapa kali
dalam adegan film ini, Arthur kelihatan bingung dengan peliknya hidup yang
dijalaninya, betapa orang bisa memuja orang-orang jahat (yang kaya) dan
mengutuk orang yang berusaha membela diri (yang miskin).
Di tengah kegamangan
manusia-manusia modern saat ini, Joker membuat manusia itu semakin gamang.
Setelah usai menonton film ini, saya tidak tahu harus bangga, marah atau malah
kasihan. Perasaan yang muncul tidak bisa digambarakan dengan mudah, memuji
sekaligus mengutuk datang bersamaan. Di titik ini, saya baru mengerti mengapa
film ini dibuat bukan untuk anak-anak, bukan untuk adolesen, atau apakah saya
terlalu sepele dengan kemampuan mereka menganalisis sebuah film? Entahlah.
Baca juga: Perjuangan Perempuan di Bumi Manusia
Satu yang pasti adalah, film ini
sesungguhnya dibuat bagi para elit-elit, para politikus, bagi pemangku
kepentingan umum. Memang tidak digambarkan bagaimana peran para elit membuat
kota Gotham begitu kacaunya. Yang lebih digambarkan adalah seorang ayah yang
berambisi mejadi orang nomor satu di kota itu. Dalam setiap kesempatan dia
meyakinkan para calon pemilihnya bahwa dia adalah orang yang paling tepat
memimpin Gotham yang sedang kacau balau.
Dalam kampanyenya kekacauan di
Gotham digambarkan banyaknya tikus-tikus yang menyebarkan penyakit tifus. Calon
pemimpin itu lebih memilih membicarakan tikus dan mengabaikan permasalahan
sosial yang sedang menimpa banyak orang di Gotham. Bahkan subsidi untuk klinik
tempat orang miskin seperti Arthur-pun harus diputus, para elit benar-benar
tidak peduli dengan orang-orang kecil. Menghindari membicarakan secara langsung
masalah sosial yang dialami masyarakat Gotham seolah ingin melindungi para elit
lain (mungkin pengusaha yang memodalinya) dan bermain retorika untuk meraup
suara dari masyarakat yang kurang kritis yang senang dengan lips service.
Joker dengan semua permasalahan
yang menimpanya akhirnya keluar dari ketidaknyamanannya. Dalam satu wawancara
yang disiarkan secara langsung dia berkata bahwa “Komedi itu subjektif. Sama
dengan apa yang lucu yang bisa membuatmu tertawa juga subjektif.” Tekanan demi
tekanan hidup yang dialaminya membuat dia semakin tidak terkendali. “Jahat juga
sangat subjetif karena tidak ada yang mengerti orang lain (dengan sangat baik)”.
Kejahatan yang dilakukannya (yang awalnya membuatnya tidak nyaman) semakin ke
sini semakin membuatnya nyaman, semakin lucu. Kejahatan baginya adalah jalan
keluar oleh karena ketidakadilan. Film ini asli ingin mengolok-olok arti
seorang pahlawan yang oleh media-media dan orang kaya/elit dipuja-puji.
Dari semua teror yang
dilakukannya, dia akhirnya hanya ingin kisah kematiannya menjadi lebih menarik
daripada kisahnya selama hidup yang penuh dengan ketidakadilan. Kalaupun dalam
aksi terornya akhirnya dia harus mati, dia sudah ikhlas untuk mati, setidaknya
dia tidak diam ketika dia didiskriminasi, setidaknya dia sudah berjuang demi
dirinya sendiri.
Walau film ini diberi judul
“Joker” (Pelawak) film ini benar-benar tidak lucu, secara subjektif kuputuskan
film ini tidak ada lucu-lucunya. Yang lucu adalah betapa banyaknya film “seram”
seperti ini untuk menyadarkan kita bahwa di sekeliling kita masih banyak
diskriminasi, ketidakadilan, rasisme dan para elit kita tidak berbuat banyak
malah mengutuk orang yang sedang protes ketika diperlakukan tidak adil oleh
sekitarnya tapi kita tidak sadar-sadar.
Seperti Joker, Greta Thunberg yang
menjadi sorotan dunia hari-hari belakangan ini dalam tuitannya di twitter 17
September 2019 lalu, atas apa yang dilakukannya sungguh tidak ingin
dipuja-puji, mereka berdua (Joker dan Greta dengan caranya masing-masing) hanya
ingin aksi nyata dari para elit, media dan pengusaha. Greta menulis “Please save your praise, we don’t want it. Don’t invite us here to tell us how inspiring we are without doing anything about it. It doesn’t lead to anything.” Sungguh, Joker adalah film untuk para
elit dunia.
KOMENTAR