Gambar: muslim.or.id |
Oleh: Hendra Sinurat*
Beberapa waktu lalu, bersama segelintir teman-teman sepermainan di sebuah warung tuak nyambi warung kopi, saya terlibat perdiskusian yang menarik, serius, namun bernada jenaka yang membuat ironi dengarnya: soal Sumpah. Ya, sumpah Sodara-sodara!
Perdiskusian yang sebenarnya tidak terencana dan mengalir begitu saja layaknya alunan gitar dan rangkaian lagu yang menemani kebersamaan kami saat itu. You know lah ya kan, namanya ngobrol ngalor-ngidul. Serempet sana-serempet sini. Semua bahasan didiskusikan dan dianalisa layaknya pakar segala ilmu. Uhuk!
Kami sendiri membahas soal kemirisan pemaknaan dan pemakaian kata sumpah yang rasa-rasanya semakin hari semakin gampang diucap serta semakin tidak bermakna saja.
Kita tahu, kata sumpah memiliki nilai sakralitas, suci, dan sebahagian besar berhubungan dengan otoritas di atas manusia, yakni Tuhan Yang Maha Esa – tentunya, konsep sumpah ini memiliki konsekuensi hukum pada (kepercayaan) kehidupan setelah kematian nanti.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri memberi arti kata Sumpah sebagai berikut:
1.Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dan sebagainya);
2.Pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar;
3.Janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu).
Sodara lihat, kan? Begitu bernilai sakral dan suci maknanya.
Tetapi yang terjadi saat ini, term daripada sumpah sendiri seolah-olah sudah kehilangan daya magis dan kesakralannya; terlalu mudah diucapkan dan dipekikkan sebagai sebuah kamuflase; pemekiknya mulai dari kalangan masyarakat kota sampai masyarakat desa, dari kalangan terdidik sampai kalangan tidak terdidik.
Padahal saya ingat dulu, saat masih bocah ingusan, kalau berucap sumpah dilarang oleh natua-tua saya. “Unang gampang sipanganonmi sai mandok sumpah,”* begitu ucap Inang itu sembari kecupan lembut ehh maksudnya jitakan mendarat di kepala gundul saya. Bahkan saya ingat, kedudukan antara konsep janji dan sumpah itu berbeda levelnya menurut tradisi kami; lebih baik berucap janji ketimbang bersumpah. Entah, apa tradisi di daerah lain menganut prinsip demikian.
Lah, yang terjadi sekarang, orang gampang dan sembarang mengucapkannya. Bahkan dari persoalan-persoalan sepele turut dibumbui ucapan sumpah membawa nama Tuhan.
Dikit..dikit..,”Sumpah! demi Tuhan,”..Dikit..dikit..,”Sumpah! Demi Tuhan.”
Ehh, kok rasa-rasanya gak asing ya omongan itu? Macam pernah viral gitu. Oh..maaf..maaf..Om Arya Wiguna. Pinjam kata-katanya dulu. Saya jangan dimarahi dan dikeplak ya. Apalagi di depan media. Hi hi hi.
Kembali ke topik.
Yang lebih ngehek lagi, tradisi sembarang ini juga dipakai oleh oknum pejabat kita yang melakukan kejahatan, semisal, ehem, korupsi. Berucap sumpah mengatasnamakan Tuhan tak lepas dari strategi-strategi pengelakan mereka. Ya, guna mengelabui dan penggiringan opini bahwa mereka bukan pelakunya.
Dengan gesture menyakinkan ala playing victim, di depan awak media mereka dengan entengnya bersumpah bahwa tidak melakukan dan terlibat dalam korupsi dan – lebih menohok lagi – merasa menjadi korban yang dizalimi dan dikriminalisasi. Ehh, tahunya tak berselang lama malah dijatuhi vonis hukuman dan dijebloskan dalam penjara. Syukur dan alhamdulilahnya, para penegak hukum kita bukanlah orang yang mudah terperdaya dengan strategi murahan itu. Respek, pak Pol!
Iya, meski apresiasi patut kita berikan kepada profesionalitas penegak hukum yang senantiasa tidak terperdaya dengan strategi sumpah ini, namun “prestasi” ini bukanlah menyelesaikan persoalan mendasar tradisi sembarang bersumpah di masyarakat kita.
Ini yang menjadi akar masalah bagi kita serta kiranya perlu ditutup kerannya.
Berangkat dari kenyataan ironi ini, rasanya perlu dibuat semacam solusi alternatif terkait pembaharuan konsep sumpah untuk mengurangi kelatahan kita yang sembarang berucap sumpah ini.
Hal yang turut menjadi pokok rumusan masalah yang kudu dipecahkan dalam diskusi ngalor-ngidul kami, hingga akhirnya kami dapatkan solusinya.
Mungkin Anda juga suka video ini: Literasi: Tak sekadar membaca | Antara Empati, Hoaks, Radikalisme dan Komunisme
Mungkin Anda juga suka video ini: Literasi: Tak sekadar membaca | Antara Empati, Hoaks, Radikalisme dan Komunisme
Adapun hasil dari diskusi tersebut menawarkan pemikiran, ke depan hendaknya perlu dipertimbangkan konsep sumpah yang lebih membumi tanpa melibatkan otoritas di atas manusia, Tuhan Yang Maha Esa.
Loh, maksudnya apa nih? Menista kamu ya? Hah!
Sabar..sabar, Sodara-sodara ku. Bukan apa-apa. Selain kita memang dilarang sembarang menyebut nama Tuhan, tawaran ini juga turutlah menghindari reduksi terhadap keagungan Tuhan. Ya, dengan begini kita tidak melibatkan keagungan nama Tuhan dalam aktivitas sembarang sumpah kita yang memuakkan itu.
Lalu, bentuknya sumpah yang membumi itu gimana?
Begini, Sodara-sodara.
Kami sendiri menemukan solusi alternatif soal konsep sumpah yang membumi yang relevan ditawarkan: bersumpah atas nama Kemistisan, semisal roh keramat atau arwah nenek moyang.
Loh, maksudnya gimana itu? Mengapa tawaran konsep bersumpahnya seperti itu?
Pertimbangannya begini. Salah satu ciri khas sebahagian besar masyarakat nusantara ialah masih mempercayai berbagai mitos dan legenda yang berhubungan dengan mistis. Meski kita sudah hidup di era digital, kepercayaan terhadap mistis itu tampaknya amat melekat.
Ini menjadi keunikan tersendiri; masyarakat kita dapat memadukan dan selaras hidup dengan 2 hal kontradiksi ini: mitos dan teknologi.
Hal ini semakin dikuatkan dengan marak dan populernya produksi film-film bertema horror nusantara yang semakin menghinggapi dan memproduksi kepercayaan masyarakat kita akan hal-hal mistis. Singkatnya, kepercayaan terhadap hal mistis ini sudah mengakar. Orang akan lebih mudah mengamini suatu hal yang dikemas dengan mitos.
Salah satu contoh baik, akan jauh lebih mudah ditaati masyarakat imbauan atau larangan membuang sampah di sungai karena sungai tersebut dibumbui narasi keramat, ketimbang imbauan atau larangan membuang sampah di sungai karena hal tersebut dapat menyebabkan banjir, Sodara-sodara.
Nah, dengan kenyataan dogmatis ini, dengan memanfaatkan ketakutan masyarakat terhadap hal-hal mistis, bukankah lebih elok jika ada konsep sumpah yang mengatasnamakan dan dikemas dalam balutan kemistisan? Iya, guna mengubah tradisi sembarang berucap sumpah ini. Terlebih diterapkan dalam hal pembuktian atau pengungkapan suatu fakta.
Dengan memakai media sajen berupa rokok gudang garam merah atau cerutu, dupa, daun sirih, jeruk purut, dan lain-lain di hadapannya serta mengatasnamakan "oppungnya", orang-orang yang sembarang berucap sumpah akan keringat dingin dan berpikir seribu kali untuk bersumpah, bukan?
Dengan demikian, ini akan jitu memangkas kebiasaan para pengucap sembarang sumpah ini. Ini akan menjadi solusi untuk memutus mata rantai tradisi yang mereduksi sakralitas sumpah itu. Serta yang terpenting, cara ini dapat dengan mudah diaplikasikan oleh semua orang.
Iya. bisa dimulai dari Sodara-sodara sekalian. Silakan coba dan buktikan sendiri!
Iya, mengujinya bisa diawali dari pasangan Sodara-sodari yang suka ngegombal bersumpah setia sehidup-semati dan berjanji palsu pada Sodara. Ketika dia mulai memainkan jurus gombal sumpahnya, langsung sertakan media sajen, cerutu, dupa, daun sirih tadi di hadapannya. Kalau dia berpikir seribu kali dan keringat dingin, tinggalkan saja.
Kan, masih ada aku yang setia menunggumu. Uhuk!
*Penulis adalah alumnus Universitas Simalungun
KOMENTAR