Oleh: KOKASI*
KOKASI (Komunitas Kartini Indonesia) melalui programnya BBSoK (Bincang-Bincang Sobat Kokasi menyelenggarakan Diskusi Daring dengan mengangkat topik “Kebebasan Berpendapat di Kampus, Dikebiri?” pada Kamis,11 Juni 2020 dengan memakai Zoom Cloud Meeting.
Diskusi yang dimoderatori oleh Asrida Sigiro (Founder KOKASI) ini menghadirkan pembicara salah satu mahasiswi aktif di kampus swasta Kota Pematangsiantar Emi Lidia yang juga merupakan Founder KOKASI, Aktivis Mahasiswa Siantar Alboin Samosir, Alumnus Fakultas Hukum USI Hendra Sinurat, Awak Media Host Kabar Lestari yaitu Lestari Simanjuntak, dan Direktur Institute Law and Justice (ILAJ) Bung Fawer Full Fander Sihite.
Diskusi dibuka oleh Friska Liska Sihombing (Founder KOKASI), dalam sambutannya Friska mengapresiasi kegiatan diskusi daring yang dibalut dalam program Bincang-Bincang Sobat Kokasi (BBSoK). Diskusi ini berangkat dari keresahan sesama kita masyarakat sipil terkhusnya Mahasiswa yang belakangan kebebasan berpendapat nya dikorupsi oleh pihak kampus. Berikut hasil perdikusian yang kami rangkum dalam sebuah narasi.
Indonesia Negara Demokrasi
Indonesia adalah salah satu Negara yang menganut demokrasi. Demokrasi di Indonesia didasarkan pada nilai-nilai pancasila. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan di mana semua warga negaranya mempunyai hak dan kesempatan yang sama atau setara untuk berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka. Dari penjelasan arti demokrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa rakyat memiliki kekuasaan tertinggi dalam hal pembuatan keputusan yang berdampak bagi kehidupan rakyat secara keseluruhan.
Dalam Negara demokrasi, hak asasi warga negara dijunjung tinggi. Salah satunya adalah hak untuk menyampaikan pendapat menunjukkan akan adanya usaha dalam membentuk kehidupan lebih dinamis sesuai dengan perkembangan zaman, dan secara norma dasar sudah diakmodir/dijamin melalui konstitusi pada UUD 1945 pasal 28 E ayat 3 bahwa setiap orang berhak atas berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Kebebaan berpendapat merupakan hak asasi semua orang. Semestinya kampus menjadi contoh dalam membangun ruang dialog antar mahasiswa, yang menumbuh kembangkan kreatifitas dan intelektualitas terhadap mahasiswa. Jaminan itu sudah diderifasi didalam sebuah produk aturan yaitu UU no.9 tahun 98.
Kebebasan Berpendapat di Kampus dikebiri?
Pertanyaan mengenai judul ini adalah “kenapa ada yang mengkebiri?” inilah yang disebut garis persinggungannya. Garis persinggungan itu adalah soal interpretasi atau tafsiran apa-apa saja yang menjadi produk atau apa saja yang perlu disampaikan dalam hal kebebasan berbicara itu. Kebebasan berbicara itu memiliki aturan atau disebut kebebasan berbicara yang bertanggung jawab.
Persinggungannya adalah antara tafsiran mahasiswa(dalam hal ini kampus) sering kali bersinggungan mengenai kebebasan berpendapat itu. Contoh dalam sebuah rencana perdiskusian yang akan digelar di kampus ketika topik diskusinya adalah produk UU, hak-hak secara umum, dll. Biasanya yang menjadi pembungkaman itu adalah topik/tema-tema tabu, misalnya tema tentang LGBT, PKI, sejarah genosida PKI atau tema atheisme.
Semuanya berbicara tentang interpretasi, apakah itu layak diperbincangkan atau tidak?
Sama halnya tentang perdiskusian pemngenai pemakzulan, jika dibingkai dengan norma kampus tidak akan menjadikan polemik. Yang menjadi polemik adalah ketika dibingkai secara publik.
Kita telah ketahui bersama bahwa pada dasarnya kebebasan berpendapat itu secara hokum telah ada regulasinya seperti yang sudah dipaparkan diatas bahkan berpendapat di ruang lingkup kampus/pendidikan tinggi itu sendiri juga ada uu tersendiri yang mengatur. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi pasal 8 ayat (1) pasal tersebut berbunyi “Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.”
Selain itu, dalam ayat (3) disebutkan, “Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggungjawab pribadi Civitas Akademika yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan perguruan tinggi.”
Berkaca dari regulasi yang sudah disebutkan diatas tadi lantas, masihkah kebebasan berpendapat di kampus itu dikebiri? Faktanya adalah iya. Secara payung hukum mungkin sudah sangat jelas akan tetapi pada prakteknya kebebasan berpedapat dikampus itu jelas masih dikebiri. Sekalipun topik diskusinya katakanlah tendensius kampus tidak berhak semena-mena membubarkan perdiskusian lewat aparatnya yaitu satpam. Dalam kebebasan berpendapat tidak ada topik-topik yang dilarang atau tidak boleh untuk dibahas.
Fakta yang ada dilapangan adalah perkumpulan atau perdikusian semacam ini acapkali mendapatkan tindakan represif dari pihak kampus. Contoh kasus ketika Unit Pers Mahasiswa (UPM) UPI akan menggelar dikusi terbuka bertemakan ‘Indikasi Korupsi Kampus” pada Rabu (30/01/2019) pihak kampus melalui security nya membubarkan kegiatan diskusi dengan dalih tidak memiliki surat izin. Padahal bukankah dengan status sebagai mahasiswa dikampus tersebut juga berhak difasilitasi ruang? Yang didapat malah tindakan represif . dan apabila temanya dirasa terlalu tendensius pihak kampus bisa bersikap biasa-biasa saja kalau hal korupsi tadi tidak terjadi diruang lingkup kampus dan berdialog secara terbuka. Dan hal itu sangat melecehkan pasal 8 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2012.
Contoh lain lagi adalah ketika panitia diskusi dari Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Ugm akan mengadakan diskusi yang berujung panitia dan narasumbernya mendapatkan terror. Hal ini diduga karena topik diskusi yang sangat tendensius terkait “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang kemudian diubah menjadi “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan.”
Memang belum ada yang tahu tindakan terror tersebut dilakukan pihak kampus atau pihak manapun. Padahal kalau diingat-ingat kan ya engga semuadah itu memberhentikan presiden, ga perlu ada yang ditakutkan. Kalau boleh malah diadu argument saja. Ini bentuk kebebasan berpendapat yang pula dikebiri.
Kampus Merdeka?
Mewujudkan kampus merdeka agaknya masih jauh dari yang diharapkan. Ini menjadi perlu kita paham bersama. Kapan sih kampus itu bias merdeka? Ternyata bahkan kampus tidak memberikan ruang. Bung Fawer dalam tulisanya “Kampus Sebagai Penjara Kemerdekaan Mahaiswa” bahwa praktek penindasan atau penjara di kampus itu adalah terbatasnya ruang gerak mahasiswa untuk berkreasi, berinovatif, menyampaikan pendapat, berorganisasi. Seakan mahasiswa dikampus ada hanya untuk mengejar nilai dan nilai.
Hal ini tidak mencerimkan tumbuhnya demokrasi di kampus. Sementara diruanglingkup yang seperti bagaimanapun demokrasi itu perlu. Kampus belum merdeka dalam berdemokrasi dan dengan ini baik pihak kampus pun pemerintah telah gagal mengedukasi public tentang kemerdekaan untuk berbicara. Yang mana hal itu harusnya menjadi menu sehari-hari untuk berdemokrasi. Kampus gagal mengatmospher suasana demokrasi itu sendiri.
*Penulis merupakan Founder KOKASI
Friska el Sihombing (K1. Founder)
Asrida Sigiro (K2. Founder)
Emi Lidia Nadeak (K3. Founder)
Perempuan adalah Masa Depan!!!
KOMENTAR