Oleh: Reijefki Irlastua*
●
Apakah masyarakat merasa Pancasila sudah usang atau lebih tertarik
dengan pemikiran baru yang lebih relevan?
●
Apakah kita masih diam padahal sadar penuh bahwa keretakan bangsa
seribu kali lipat lebih fatal dari pandemi covid-19?
Beberapa waktu terakhir, iringan gejolak berbagai lini kehidupan
manusia terus berirama. Sejak awal tahun media massa terus memberitakan
tingginya virulensi corona virus
disease-19 (Covid-19). Kota Wuhan terus dikabarkan sebagai episentrum
tersebarnya sebuah penyakit yang bergejala sesak, demam hingga kematian. Ribuan
orang terdampak dan harus segera mendapatkan penanganan khusus berupa isolasi
dan pengobatan yang belum terstandarisasi.
Kawasan di berbagai belahan dunia menerapkan upaya untuk memagari
masifnya penyebaran virus dari keluarga coronavirus ini. Bersama dengan itu,
lumpuh sektor-sektor penting yang menghidupi manusia modern. Transportasi
terpaksa berhenti yang membawa perlambatan sektor logistik dan pergerakan
manusia antar wilayah. Sektor ekonomi terpukul dengan cepat sehingga
hiruk-pikuk perkotaan melandai. WHO sebagai organisasi PBB yang membidangi
kesehatan melalui Direktur Jenderal Tedros Adhanom menyatakan kondisi ini
sebagai pandemi pada hari Rabu, 11 Maret 2020. Istilah pandemi menjadi tidak asing terdengar.
Kata yang menurut definisi KBBI adalah penyakit yang berjangkit serempak pada
wilayah geografi yang luas.
Fakta membuktikan bahwa negara mampu melampaui batas-batas kemajuan
karena adanya musuh bersama yang berhasil menyeragamkan ideologi ribuan
persepsi manusia dalam satu lingkaran bangsa mereka. Rakyat Singapura
sepemikiran untuk memenangkan persaingan hidup dengan bangsa melayu
tetangganya. Rakyat Amerika sepemikiran untuk berinovasi tanpa batas untuk
mendapatkan perhatian dalam perang dingin dengan Uni Sovyet. Gelombang kemajuan
Korea bergerak cepat karena himpitan saudaranya Korea Utara dan Jepang
tetangganya pula. Begitu halnya Tiongkok menyeragamkan upaya untuk maju dengan
menciptakan Amerika sebagai “musuh” dan patokan dalam kesukesan perdagangan.
Pendiri Negara Indonesia telah mencurahkan segala kecakapan mereka pada
waktu itu, untuk menyelesaikan penggalian ideologi yang berhasil menyeragamkan
persepsi ribuan etnis dan istiadat pada belasan ribu pulau di gugusan Nusantara. Melalui sidang
BPUPKI kalimat pancasila yang merupakan serat dari fragmentasi nilai luhur asli
Nusantara disepakati unuk menyeragamkan dan menyatukan suku menjadi sebuah
bangsa yang memiliki musuh berupa penjajahan. Perjalanan tahun setelah tahun
1945, gelombang kebangsaan yang telah mengalami loncatan sejak tahun 1908 dan
penegasan sumpah pemuda 1928 terjadi begitu dahsyat. Segala sendi kehidupan
seratus lima puluh juta rakyat saat itu dengan cepat berubah, sorak sorai
kebangsaan dengan cepat melipatganda. Radio-radio memberitakan hingga sudut
Nusantara seketika pula bendera merah putih dipandang sangat sakral sebagai
simbol jantung pemompa kesatuan berbangsa.
Kondisi sangat memprihatinkan terasa nyata sejak pesta demokrasi tahun
2014. Politik identitas membelah kesamaan persepsi bangsa. Arah demokrasi
menjadi tidak sehat, keretakan bangsa merambat. Sekelompok masyarakat diarahkan
dan terus disuarakan berulang-ulang agar menjadi masyarakat yang berbeda dengan kelompok masyarakat
lainnya. Alam bawah sadar masyarakat digiring agar mencintai kelompok tertentu sekaligus
membenci tokoh lainnya yang sebangsa. Kondisi tentu berbeda dengan pergerakan
separatis di sudut-sudut NKRI yang bisa ditumpas dalam beberapa operasi
militer. Sungguh berbalik dengan ketika seluruh elemen bangsa sepakat dan semangat
untuk mereformasi pemerintahan pada tahun 1998. Keadaan ini beriring pada kasus
Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama dan mencapai puncak ketika Pesta
Demokrasi lima tahun selanjutnya. Upaya maksimal untuk meneguhkan Ideologi
Pancasila dan pilar kebangsaan yang dipimpin Presiden Joko Widodo tidak
memberikan dampak signifikan. Apakah masyarakat merasa pancasila sudah usang
atau lebih tertarik dengan pemikiran
baru yang lebih relevan? Apakah upaya tujuh puluh lima tahun merawat ideologi
dan kebhinekaan sia-sia?
Kejutan gelombang besar Covid-19 yang dikabarkan kepada seluruh dunia
membuat manusia dipaksa patuh dan
menyamakan pemahaman akan pola hidup sehat dan bersih. Apalagi berita kematian
pada penderita beresiko tinggi yakni
orang tua dan anak-anak serta penderita berpenyakit
penyerta seperti diabetes terus terkabar. Status pandemi dengan cepat
mempengaruhi semua sendi kehidupan manusia, terutama cara-cara hidup sehat yang sudah
disepakati bersama untuk mempertahankan hidup sehat. Upaya serentak untuk
menghasilkan kesamaan persepsi pola kehidupan untuk pengendalian secepat
mungkin dilakukan. Mencuci tangan sesering mungkin, menjaga jarak interaksi
dengan sesama manusia hingga membiasakan diri menggunakan masker setiap hari.
Setiap hari media massa dan media sosial bersahutan memberitakan segala aspek
mengenai penyakit ini. Masyarakat mulai terbiasa dengan perubahan pola kerja
dari rumah. Pelajar dan mahasiswa memaksimalkan pembelajaran dari rumah hingga telemedicine menjadi pilihan utama
tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan bagi pasien. Walaupun, perubahan
pola ini tidak memberikan pilihan bagi kalangan yang mengandalkan satu hari
kehidupan pada satu hari bekerja. Mereka tetap berjuang mempertahankan hidup
dengan menerapkan sedikit sekali perubahan pola kehidupan yang seharusnya.
Apakah cara-cara pola hidup sehat sederhana seperti mencuci tangan, tidak mengabaikan
istirahat dan peduli nutrisi hingga tidak menganggap remeh penderita resiko tinggi dan penyakit penyerta adalah
yang cara lama yang sudah usang pula? Ternyata tidak, kesadaran manusialah yang
terabaikan. Pemikiran kita selama ini cenderung mengurangi prioritas pemahaman
akan perilaku ini. Padahal inilah cara terbaik yang diberitakan untuk
mengendalikan virulensi Covid-19. Masyarakat Indonesia selama ini telah
menurunkan prioritas pemahaman mereka dalam menghayati kunci utama dalam
mengisi kemerdekaan. Filsafat paling dasar berupa kesamaan persepsi dan
ideologi dalam membangun bangsa dan negara di segala lini. Terutama pada
kelompok masyarakat milenial yang gagal menyerap teladan Pancasila dari
generasi terdahulunya sambil menghadapi serangan paham-paham baru yang
tampaknya lebih benar dan menarik.
Perubahan besar dalam memahami dan memaknai ideologi pancasila sangat
diperlukan untuk mengendalikan keretakan bangsa. Masyarakat Indonesia harus
cepat kembali menyamakan persepsi mengenai sakralnya ideologi pancasila dalam
menumpas sekat sekat prinsipil yang berulang-ulang memperlambat kemajuan. Harus
cepat berlari dan mengejar pergerakan negara-negara lain dalam membangun
kemajuan. Pemerintah harus segera beralih dari cara-cara biasa dalam meneguhkan
ideologi pancasila. Pemerintah tidak boleh sendirian pula hanya dengan
mengandalkan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) nya untuk membuat buku
panduan atau seminar-seminar. Generasi muda harus terlibat dan kreatif dalam
mengabarkan Pancasila. Milenial harus segera menghiasi gawai-gawai dengan
bersuara betapa pentingnya ideologi ini. Generasi tua dan tokoh agama harus
meneladankan sikap penghayatan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, menegakkan
kemanusiaan adil dan beradab kepada semua manusia, membina persatuan akan semua
keberagaman di Indonesia, menjunjung musyawarah dalam setiap keputusan dan
bergerak untuk mewujudkan keadilan sosial di setiap jangkauan pengaruhnya
masing-masing. Keretakan bangsa dan kemajuan yang sudah tertinggal jauh seribu
kali lipat lebih berbahaya dari covid-19. Jangan anggap remeh keretakan
internal yang akan menjadi bom waktu yang cepat atau lambat bisa bergejolak
fatal. Mari serentak mempandemikan Pancasila, untuk menyeragamkan pemahaman
akan pola kebangsaan terbaik bagi bangsa Indonesia.
*Penulis adalah Dokter Lulusan Universitas Sriwijaya
yang kini menjadi Dokter Khusus Covid-19 di RSUD Sungai Lilin. Pada masa kuliah
adalah Ketua Lembaga Pers Mahasiswa FK UNSRI dan Sekretaris Jenderal
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia cabang Palembang.
KOMENTAR