Oleh: Ekaristi Sidauruk**
“Aneh kali Bapak ini, macam orang gila” kataku dengan sedikit membentak. Sontak Edo terkejut mendengarnya. “Ini pertama kali bagi saya mendengarkan seorang anak gadis membentak ayahnya dan menyebutnya gila” kata Edo sambil menggeleng-gelengkan kepala. Bapak terdiam dan aku tertunduk malu. Wajahku memerah seperti tomat yang sudah hampir busuk.
Bapak dan aku memang selalu begitu, sering berdebat walaupun dalam hal kecil. Terkadang perdebatan kami berujung dengan saling emosi dan saling diam. Dalam berdiskusi Bapak sering kurang mendengarkan pendapat dari anak-anaknya. Dia selalu ingin menang sendiri tanpa memperdulikan perasaan anak-anaknya. Ibu yang berperan sebagai penonton dalam perdiskusian kami tidak dapat berkata apa-apa, sesekali dia hanya menghela nafas panjang sambil memeluk kami anak-anaknya.
Ibu juga sudah gerah dengan sikap Bapak yang sok tegas dan sok pintar itu. Bagaimana tidak, ketika Ibu berusaha berbicara dan menyampaikan pendapatnya dalam diskusi keluarga kecil kami Bapak selalu mencegat. “Nungga be, dang diattusi ho i, dang sahat hali-halimu tusi” kalimat ini selalu terucap dari mulut Bapak saat Ibu ingin bicara. Kejadian ini bukan hanya sekali dua kali saja, hampir disetiap waktu diskusi kami. Hati siapa yang tidak sakit diperlakukan seperti itu.
“Berdebat boleh, emosi jangan, apalagi sampai menyebut Bapak sendiri gila” sambung Edo memecahkan keheningan kami malam itu. Aku meminta maaf kepada Bapak dan menjelaskan bahwa Aku tidak sengaja mengatakannya. Saat Bapak, Ibu, dan Adik-adik melanjutkan diskusinya, aku mengajak Edo ke teras rumah untuk bercerita. “Bapak adalah orang yang sangat keras kepala. Bayangkan saja, dia sering pulang tengah malam ke rumah hanya karena bermain judi bersama teman-temannya. Aku malu saat tetangga menyebutnya tukang judi” kataku mengawali cerita kami. Edo hanya diam, dia tidak tau yang sebenarnya karena itu pertama kali dia berkunjung ke rumah.
Dulu aku sangat mengagumi Bapak. Dia seorang pekerja keras dan suka menolong orang lain.
Walaupun sedikit keras namun Bapak tetap memperhatikan kami anak - anaknya. Sejak aku masuk di SMP, sikap Bapak mulai berubah. Dia menjadi tempramen dan sering bermain judi. Ibu berusaha memperingatkan namun Bapak tidak peduli. Terkadang Bapak tega menampar Ibu saat menegurnya lebih dari satu kali. Kejadian itu disaksikan oleh kami anak – anaknya. Ibu menangis, namun tidak menunjukkan kepada kami. Kejadian itu terus berulang sampai sekarang. Hal itu yang membuatku semakin membencinya.
“Sekarang aku sudah dewasa, adik – adikku juga demikian tapi Bapak tidak malu. Dia masih saja bermain judi dan pulang larut malam ke rumah. Menurutmu apa yang harus kulakukan?” tanyaku pada Edo. Edo masih terdiam dan menatapku dengan penuh iba. Ibu sering datang berkunjung ke kontrakanku untuk melepaskan penat dan beban pikirannya. Aku tahu itu walaupun Ibu berusaha menutupinya dengan alasan hanya melepas rindu kepada kami anak-anaknya. Ibu tidak ingin sakit hati yang dirasakannya diketahui oleh anak-anaknya.
Suatu hari Ibu pernah memelukku sambil menangis, dia berkata “Bagaimana jika aku berpisah dengan Bapakmu? Sudah banyak kok sekarang keluarga yang bercerai walaupun anak-anak mereka sudah besar, bahkan yang sudah punya cucu sekalipun.” Aku hanya diam, mencoba menahan emosi dan air mataku namun perlahan bendungan itu tidak tertahan lagi. Aku menangis dipelukan Ibu sambil memaki-maki Bapak dalam hati. “Bu, kalau Ibu marah dan benci sama Bapak, Ibu lihatlah kami anak – anakmu yang sedang berjuang untuk membahagiakanmu” kataku memecah keheningan dalam tangisan itu. Ibu masih diam sambil berurai air mata di pelukanku. “Ibu doakan saja semoga kami anak – anakmu tetap semangat dalam perjuangan membahagiakan kalian” sambungku.
“Nak Ibu selalu berdoa kepada Tuhan agar kalian sukses dan Bapakmu bisa mengubah sikapnya itu” jawab Ibu. Empat belas tahun bukan waktu yang singkat dan Ibu harus sabar menghadapi sikap Bapak yang sok tegas dan sok pintar itu. Ibu memang sangat luar biasa walaupun dia sering menangis dalam kesendiriannya. Aku tahu Ibu semakin kurus dan menjadi sedikit pendiam karena mencoba memahami sikap Bapak.
“Banyak keluarga yang mengalami hal yang sama dengan keluargamu, bahkan lebih parah” jawab Edo. Aku tahu bahwa Edo berusaha menenangkanku dan meredam emosiku yang hampir meledak saat itu. Bagaimana tidak, masalah ini sudah kusimpan sejak lama. Aku malu menceritakannya kepada sahabat – sahabatku yang memiliki keluarga yang harmonis. Saat bercerita tentang keluarga, sahabat – sahabatku selalu menceritakan keharmonisan keluarganya, bagaimana ayah mereka masing – masing bersikap romantis kepada Ibunya, dan saat mereka menyiapkan waktu untuk rekreasi bersama keluarga. Hal itu yang membuatku minder.
“Setiap keluarga memiliki suka dan duka sendiri” sambung Edo.
“Kamu harus mensyukuri situasi dan kondisi keluargamu saat ini, karena dengan begitu kamu semakin menyayangi Ibumu. Tentang ayahmu, jangan terlalu membencinya sampai menyebut Dia gila, itu salah. Bapakmu adalah kepala keluarga di rumah ini. Jika kamu sudah tidak menghargainya lagi, bagaimana dengan orang lain?” sambung Edo lagi. Aku diam dan merenungkan maksud dari pernyataan Edo barusan.
Bapak adalah kepala keluarga dan bertanggungjawab terhadap keluarga. Aku tahu Dia tidak bermaksud menyakiti kami apalagi Ibu. Aku tahu Bapak mencoba menguji mental dan keberanian kami untuk menghadapi dunia yang lebih luas, sehingga dia bisa melepaskan kami tanpa rasa ragu. Satu hal yang sangat kuharapkan dari Bapak, berhentilah menyakiti hati Ibu dan berhentilah bermain judi karena sikap Bapak adalah cerminan keluarga kita. Edo memelukku sambil berbisik “Jangan lelah untuk berdoa karena Tuhan tidak pernah diam dan rencana Tuhan jauh lebih indah dari rencana siapapun untukmu dan keluargamu, serahkan semuanya kepada Tuhan”. Aku menangis dan berterimakasih kepada Edo yang berusaha menenangkanku saat itu dan aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mengembalikan kepercayaanku kepada Bapak yang saat itu masih bercerita di dalam rumah bersama Ibu dan Adik-adikku.
*Cerpen ini sudah pernah diterbitkan oleh penerbit Pelana dalam buku Mentari Harapan di Langit Pagi - Kumpulan Cerpen Instpiratif bersama penulis lainnya.
*Penulis adalah Alumnus Universitas HKBP Nommensen, sekarang menetap di Jakarta sebagai Guru di salah satu SLB.
KOMENTAR