PMKRI: Menolak Politisasi Agama Dalam Pilkada 2020

Jakarta, Katakanlah - Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia melalui Lembaga Politik dan Demokrasi menyelenggarakan diskusi bertema "Menolak Politisasi Agama dalam pilkada 2020" yang diselenggarakan pada Selasa, 28 Juli 2020 dari pukul 15.00 sampai 16.30 menggunakan aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalaui YouTube Channel PP PMKRI.

Diskusi yang dimoderatori oleh Ketua Lembaga Politik dan Demokrasi, Oyen Tibo ini berjalan sesuai dengan harapan dan melibatkan peserta dari PMKRI seluruh Indonesia.

Dalam diskusi online ini Pengurus Pusat PMKRI menghadirkan dua narasumber yakni Bapak I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi dari Komisoner KPU RI dan Romo Antonius Benny Susetyo sebagai Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP. Diskusi ini pun dibuka oleh Sekertaris Jenderal PP PMKRI saudari Tri Natalia Urada dalam sambutan mengatakan bahwa penting jika organisasi seperti PMKRI mendiskusikan dan membedah isu-isu menarik seputaran Pilkada 2020 untuk mencerdaskan kembali wawasan publik dalam menggunakan hak-hak politiknya di Pilkada mendatang.

Selanjutnya dilakukan pemaparan materi oleh narsumber dengan pembicara I yakni dari KPU RI pak Dewa Raka Sandi. Dikatakan bahwa untuk menuntaskan politik sara terlebih pada poin politisasi agama, pihaknya, KPU RI bersama pihak terkait lainnya telah melakukan peraturan KPU untuk menekan angka politisasi agama dan sara di pilkada mendatang. Dalam demokrasi seringkali kita temui oknum tertentu melakukan isu-isu agama untuk kepentingannya dan prinsip pilkada dalam undang-undang bahwa demokrasi harus jujur adil langsung bebas dan rahasia. Dalam konteks pilkada di tahapan kempanye sering muncul isu-isu sara baik dalam kempanye langsung ataupun kempanye di media sosial dan dalam undang-undang sudah mengatur sepenuhnya berkaitan dengan larangan dalam kampanye yang ada dalam pasal 69 Undang-undang pemilihan, misalnya, menghina orang.

Sedangkan Romo Benny Susetyo mengatakan bicara politik identitas muncul karena perebutan pengaruh. Dalam perebutan pengaruh semestinya yang dikembangkan adalah politik gagasan, dan masyarakat mesti diberikan pendidikan politik dan gagasan politik bukan politik pragmatisme. Yang sering dipakai adalah SARA yang dijadikan isu, sehingga demokrasi kita dipasung, publik tidak disuguhi oleh gagasan. Tawaran solusinya adalah ke depanya harus ada yang namanya regulasi untuk masalah ini untuk tetap menjaga marwah demokrasi kita. Diskusi ini pun berakhir dengan dialog dan menjawabi tiga pertanyaan dari peserta diskusi.