Who am I?

Sikap merasa tidak perlu merenungkan siapa dirinya kerap jatuh pada kesombongan diri. Demikianlah adagium yang PMKRI yakini maka dalam setiap awal pembinaan calon kadernya materi "Who am I?" selalu diberikan, bahkan (karena) tertulis dalam silabus pembinaannya. Betapa pentingnya selalu bertanya dalam diri "siapa saya, apa yang saya miliki, apa yang bisa saya beri?" agar dalam setiap geraknya selalu berguna bagi kepentingan bersama, agar tidak hidup hanya (terpusat) untuk dirinya sendiri.

Senafas dengan Lokakarya Nasional Transformasi Organisasi PMKRI yang telah kita lakukan tahun lalu (2019), tema debat kandidat KP PP PMKRI (2020) yang telah dilaksanakan DPC PMKRI se-DKI Jakarta dan Bogor yakni "Menuju Habitus Baru PMKRI" ingin merefleksikan kembali relevansi PMKRI sekarang ini. Pertanyaan "Masih relevankah?" di sela-sela istirahat di luar forum LOKNAS berlangsung sering kita lontarkan disusul dengan gelak tawa. 

Namun kini saya bersyukur bahwa pertanyaan itu diseriusi lewat tema debat kandidat kali itu. Tema ini saya anggap hendak mengafirmasi bahwa jika ingin tetap relevan maka (kader-kader) PMKRI harus memiliki habitus baru. Pertanyaannya, habitus yang bagaimana?

Pada LOKNAS lalu para peserta dicecar dengan pertanyaan "masih relevankah?" dan dari sekian banyak pertanyaan dan perdiskusian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah "masih relevan". Tidak banyak yang harus berubah, malah subjeknyalah, yakni kader-kader sendiri yang harus berubah. Kembali ke fitrah.

Mengingat perubahan zaman yang semakin mutakhir ini, kehadiran PMKRI karena "berjuang bagi orang kecil" akan semakin relevan. Banyaknya persoalan seperti ketidakseimbangan ekologis, misalnya, akan menghasilkan korban dan yang paling rentan adalah orang kecil. Hadirnya Artificial Intelligence (AI) akan melahirkan manusia-manusia tak berguna (istilah ini dikenalkan oleh Harari, dalam Homo Deus). Berkembangnya AI bisa saja akan melahirkan skenario paling buruk, yakni penghangusan manusia-manusia tak berguna. PMKRI dengan nilai kemanusiaan, harus membela ini (kemanusiaan) dan harus berbenah setidaknya agar tidak menjadi bagian dari keduanya, yang menindas dan tertindas.

Perubahan dari habitus lama (tidak pada fitrahnya lagi) menuju habitus baru (kembali pada fitrahnya) wajib dilakukan. Memang untuk berubah (bertransformasi) bukanlah pekerjaan yang sekejap langsung jadi tapi adalah pekerjaan yang terus menerus (berkelanjutan), bukan partial tapi menyeluruh.

Dalam konteks PMKRI, kadernya harus punya kesadaran untuk berubah dari hari ke hari menjadi pribadi yang lebih baik seperti termaktub dalam identitas kader "on going formation" dan atau pada kebiasaan "mengasah gergaji" yang dikenalkan Covey dalam buku rujukan (salah satu) Silabus Pembinaan PMKRI, Seven Habits. Hanya dengan belajar sepanjang hayatlah PMKRI akan tetap relevan dan mampu melalui berbagai disrupsi.

Tema debat kala itu tentu tidak pergi ke mana-mana selain merujuk pada habitus yang sudah PMKRI miliki (tertuang dalam banyak dokumen-dokumen PMKRI). Andai semua elemen PMKRI mau kembali ke fitrahnya sama seperti yang kita bahas dalam LOKNAS tahun lalu tentu akan jauh lebih baik. Tanpa mencari kambing hitam, tidak akan lagi ada perpecahan. Bukankah kolaborasi sudah menjadi keharusan?

Akhirnya, mari kembali ke rumah. Tahun biarlah berlalu, yang baik diteruskan yang kurang mari sama-sama perbaiki. Tidak ada yang benar-benar sempurna, maka mari senantiasa bertanya "Who am I?"

Oleh: @tomsonsilalahi

Note: 

Dengan beberapa perubahan, tulisan ini pernah dikirimkan ke Panitia Debat Kandidat KP PP PMKRI Tahun 2020.