Oleh: Tomson Sabungan Silalahi
Pada tulisan ini saya tidak akan spoiler, mudah-mudahan. Tulisan ini hanyalah review singkat tentang film yang baru-baru ini tayang di Bioskop (dan masih tayang). Seperti banyak review dari beberapa artis yang sudah menonton film ini, saat Anda menyaksikan adegan demi adegan film ini, Anda akan tahu kalau memang film ini akan “memaksa” Anda untuk menangis dalam dua rasa. Yang pertama Anda akan menangis karena sedih, juga menangis karena tertawa. Filmnya tidak monoton, ada banyak adegan yang mampu membuat para penontonnya harus mengeluarkan air mata. Aktor dan aktris yang kita tahu selama ini melawak, ternyata bisa membuat kita menangis juga.
Lagi, untuk pertama kalinya dalam film (setidaknya bagi saya), penonton serasa dilibatkan, seolah diajak berinteraksi, saat salah satu anak laki-laki yang berprofesi sebagai pelawak (dimana profesi ini kurang “dihargai” banyak orang tua orang Batak) diinterogasi oleh bapaknya sendiri. Hal ini akan kita bahas lebih jauh karena memang isu ini sangat penting diangkat, setidaknya untuk saat ini, nanti Anda akan tahu mengapa.
Budaya Batak
Film ini mengangkat lebih pada budaya Batak pada umumnya. Seperti yang kita ketahui dalam budaya Batak (baca: Timur), terutama Batak Toba, masih menganut budaya patriarki, budaya yang sangat menjunjung tinggi anak laki-laki daripada anak perempuan. Perempuan, baik sebagai istri pun sebagai anak, tidak bisa membantah, terutama membantah suami/bapak.
Sangat tampak jelas bagaimana Sarma, anak perempuan satu-satunya dalam satu keluarga, harus mengubur semua cita-citanya, semua kesenangannya, bahkan cintanya, hanya untuk menyenangkan kemauan orang tuanya, terutama bapaknya sendiri. Tidak hanya itu, ibunya sendiri juga banyak mengalah pada bapaknya yang keras kepala, lagi kaku, bahkan ibunya sendiri yang mengajari Sarma untuk tidak melawan pada bapaknya, intinya harus menurut.
Maka memang tidak jarang kita menemui perempuan Batak memiliki pemikiran, secara sadar atau tidak sadar, jika dirinya dikodratkan untuk mengalah dan menurut, bahwa dirinya lebih rendah statusnya daripada anak laki-laki, saudaranya sendiri. Mungkin untuk saat ini, dengan pengaruh pandangan luar (atau pengalaman hidup, dll.), sudah mulai terkikis (untuk membahas ini perlu satu artikel lagi).
Kembali ke orang tua. Ternyata tidak hanya di situ, banyak orang tua, terutama bapak, merasa kalau anak-anaknya (baik perempuan, pun laki-laki) tidaklah lebih baik darinya, baik dari segi pemikiran maupun pilihan hidupnya. Lagi-lagi film ini mampu menggambarkan secara komprehensif bagaimana orang Batak pada umumnya memandang suatu hal.
Sebuah Dilema: Mempertahankan Budaya Atau Mengorbankan Perasaan
Penulis tidak mau serta-merta mengatakan jika apa yang sudah kita jalani selama ini salah dan harus merombaknya secara total.
Massivnya jargon “pertahankan budaya lokal,” membuat kita harus mengorbankan perasaan individu-individu di dalam masyarakat pada suatu suku yang menganut budaya itu sendiri.
Seperti 5 tokoh sentral dalam film ini, ibu dan empat anaknya mendapat paksaan dari sang bapak untuk mengorbankan perasaan, kesenangan, cita, dan cinta mereka demi mempertahankan budaya yang dipegang teguh oleh bapaknya sendiri.
Mempertahankan budaya sendiri kerap menjadi tameng bagi orang tua agar anak-anaknya turut atas “kemauan”-nya sendiri (sengaja pakai tanda kutip, nanti kalian akan tahu alasannya). Anak tidak bisa kawin dengan perempuan yang bukan Batak, setidaknya dalam film ini. Dalam keluarga saya, pilihan saudari saya dulu dapat penolakan karena suaminya yang sekarang bukan dari suku Batak. Dalam film ini, setidaknya dikatakan, “nanti dia tidak tahu adat Batak.” Kalimat itu secara tidak sadar sebenarnya mengungkapkan jika orang tua tidak mau jauh atau terpisah, dari anaknya sendiri, lebih jauh dia tidak mau terasing, lebih jauh lagi, bisa jadi memandang rendah budaya lain. Orang Batak pasti sering dengar frasa ini, “dang maradat i,” seolah hanya Batak yang beradat, suku lain tidak.
Ketakutan Yang Berlebihan Atau Keterbatasan Pengetahuan
Niat orang tua mungkin baik: demi masa depan anaknya, agar anaknya tidak sengsara, agar tidak susah lagi seperti dirinya yang dulu, dan alasan-alasan lain di balik pemaksaan kehendak itu.
Mungkin tidak hanya di suku Batak, orang tua sangat senang jika anaknya bisa jadi PNS, profesi lain seperti koki, pelawak, relawan (tidak memikirkan harta duniawi), bukanlah profesi yang bisa diterima. Dibanding PNS, menurut mereka, anaknya akan jauh lebih mapan dan nyaman hidupnya jika sudah jadi PNS dan Pengacara, misalnya.
Tentu kita tidak bisa menyalahkan orang tua yang memiliki pemikiran yang demikian, toh latar belakang mereka mengatakan itu baik kok, intensinya agar lebih baik, namun karena keterbatasan pengetahuannya akan profesi-profesi baru yang jarang didengar dan dilihat, atau yang sependek pengetahuannya kurang bergengsi, pemaksaan kehendak bisa terjadi. Di sinilah ketegangan sering muncul, anaknya mau ini, bapaknya mau itu, dialog dan saling terbuka memang kunci, tapi kalau salah satunya bebal? Maka suruhlah orang-orang bebal di keluarga menonton film ini (hahaha), atau teman-teman yang merasa jika pilihan-pilihan hidupnya selalu diatur oleh orang tua mereka, terutama jika ada bapak-bapak yang jugul (baca: keras kepala).
Kehendak Siapa?
Di balik bapak-bapak yang jugul tadi, ternyata kita juga kerap dipengaruhi suara-suara orang lain di sekitar kita. Sebenarnya kita kerap ingin dipandang baik dan ingin jadi teladan, maka kita tidak mampu mendengar suara hati kita sendiri untuk menyenangkan orang-orang terdekat kita. Kita lebih menurut apa kata orang dan akhirnya kita tidak sadar jika kita sudah menyakiti perasaan orang-orang terdekat itu.
Pemeran bapak dalam film ini tentu dapat infus dari teman-temannya di lapo (kedai tuak), pun kita, kerap membanding-bandingkan apa yang kita punya, apa yang anak kita punya, dengan apa yang orang lain punya. Seolah peduli dengan teman kita, padahal hanya untuk membanggakan apa yang ada pada kita. Kita buta di lingkarang orang-orang toxic, buta hati dan perasaan, bahkan harus mengorbankan perasaan orang terdekat demi menyenangkan orang lain.
Harus Nonton
Film ini memberikan banyak pandangan-pandangan yang mungkin terlihat sederhana, sering kita abaikan, namun sangat mendalam. Hal-hal yang mungkin kita pandang remeh-temeh padahal menyangkut dengan cara paling dasar kita memandang hidup dan kehidupan. Kita merasa tabu dengan perceraian, tapi kita tidak jarang melihat orang Batak yang cerai. Kita bisa melihat betapa orang Batak memandang perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan harus dipertahankan bagaimanapun caranya. Film ini seakan mengingatkan kembali pada kita bahwa di balik perasaan-perasaan yang dikorbankan, ada falsafah hidup yang memang benar-benar harus banget dipertahankan.
Bene Dion, Sutradara Film Nngeri-Ngeri Sedap |
Bene Dion, sutradara film ini benar-benar mampu menyentuh hati para penonton dan merasa sangat relate dengan apa yang sedang ditontonnya. Buktinya, saya nangis berkali-kali di balik tawa yang tiba-tiba terselip. Beberapa kali harus menghapus air mata di bangku sendiri, dengan diam-diam jangan sampai orang di samping kiri dan kanan tahu kalau sedang menangis (maklum budaya patriarki masih sangat kental hingga laki-laki masih malu-malu untuk harus mengeluarkan air matanya sendiri). Sekali lagi, Anda yang membaca ini, harus pisan nonton.
Sebenarnya masih banyak yang mau saya ceritakan, tapi harus kuakhiri dulu di sini ya. Untuk mengakhiri tulisan ini, saya mengutip pesan oppung boru (nenek perempuan) dalam film ini, “jangan kau sekolahkan anakmu tinggi-tinggi tapi masih berharap jika mereka turut dengan pola pikirmu yang (mungkin) sudah jauh ketinggalan dibanding anak-anak yang kau sekolahkan itu,” ini parafrase, saya tidak ingat persis apa kata-katanya. Tapi, ya gitulah.
KOMENTAR