Antara Hilang atau Pergi; Membongkar Dilema Manusia

Oleh: Alberto Nainggolan*

Dalam setiap perjalanan hidup, kita sering dihadapkan pada pilihan sulit antara mempertahankan apa yang kita miliki atau membiarkannya pergi. 

Dalam banyak konteks, baik itu dalam hubungan personal, pekerjaan, atau bahkan dalam hal-hal abstrak seperti nilai, keyakinan, dan konflik antara mempertahankan dan melepaskan sering kali menjadi pusat perhatian. Dalam opini ini, saya akan membahas dilema ini dengan menguraikan beberapa aspeknya.

Pertama-tama, mari kita tinjau fenomena "antara hilang atau pergi" dalam konteks hubungan interpersonal. Ketika seseorang dihadapkan pada situasi di mana hubungan mereka dengan orang lain mengalami kesulitan atau konflik, mereka sering kali merasa terjebak antara memperjuangkan hubungan tersebut atau memutuskan untuk melepaskannya. Ini bisa menjadi pasangan romantis, teman dekat, atau bahkan anggota keluarga. 

Kita sering merasa terikat oleh sejarah bersama, kenangan indah, atau keterikatan emosional, yang membuat keputusan untuk melepaskan menjadi sangat sulit. Namun, pada saat yang sama, terkadang mempertahankan hubungan yang merugikan bisa mengakibatkan lebih banyak rasa sakit dan penderitaan daripada membiarkannya pergi.

Dalam konteks pekerjaan, dilema "antara hilang atau pergi" juga sangat relevan. Banyak orang mengalami situasi di mana mereka merasa tidak puas dengan pekerjaan mereka atau bahkan merasa tidak bahagia di tempat kerja. 

Di sinilah pertanyaan penting muncul: apakah lebih baik bertahan dan berusaha memperbaiki situasi atau memilih untuk mencari kesempatan baru di tempat lain? Memutuskan antara mempertahankan pekerjaan yang stabil atau memilih untuk mengambil risiko dengan mencari perubahan bisa menjadi tantangan yang besar. 

Namun, kadang-kadang langkah keluar dari zona nyaman adalah yang terbaik untuk pertumbuhan dan kebahagiaan jangka panjang.

Selain itu, dalam hal nilai dan keyakinan, dilema "antara hilang atau pergi" juga sering muncul. Manusia sering kali merasa terikat oleh apa yang mereka yakini, entah itu dalam konteks agama, politik, atau moral.

Namun, ketika nilai-nilai tersebut diuji dengan pandangan orang lain, seseorang harus memutuskan apakah akan mempertahankannya dengan gigih atau memilih untuk membuka pikiran dan hati mereka untuk pemikiran baru. 

Terjebak dalam keyakinan yang kaku dapat menghambat pertumbuhan pribadi dan menyebabkan isolasi sosial, sementara keengganan untuk mempertahankan nilai-nilai yang penting bagi seseorang juga dapat menyebabkan rasa kehilangan identitas.

Dalam menghadapi dilema "antara hilang atau pergi," penting untuk mengambil waktu untuk refleksi dan introspeksi. Pertama-tama, penting untuk memahami motivasi di balik keinginan untuk mempertahankan apa yang ada atau untuk melepaskannya.

Apakah kita terikat oleh rasa takut akan perubahan atau ketidakpastian, atau apakah kita merasa bahwa apa yang kita miliki saat ini benar-benar berharga bagi kita?

Selanjutnya, kita perlu mengevaluasi konsekuensi dari kedua pilihan tersebut. Apa yang akan terjadi jika kita memilih untuk mempertahankan apa yang ada, dan apa yang akan terjadi jika kita memilih untuk melepaskannya?

Selain itu, berbicara dengan orang-orang terdekat atau mencari nasihat dari seseorang yang profesional dapat membantu mendapatkan sudut pandang yang berbeda dan membantu kita membuat keputusan yang lebih baik. Terkadang, kita terlalu terlibat secara emosional dalam situasi tersebut sehingga sulit bagi kita untuk melihat gambaran secara objektif.

Terlepas dari apa pun keputusan akhirnya, penting untuk diingat bahwa perubahan adalah bagian alami dari kehidupan. Kadang-kadang, melepaskan hal-hal yang kita cintai atau yang kita anggap penting adalah langkah pertama menuju pertumbuhan dan kebahagiaan yang lebih besar.

 Sementara itu, ada juga saat-saat di mana mempertahankan apa yang kita miliki adalah keputusan yang paling bijaksana. 

Intinya, mengatasi dilema "antara hilang atau pergi" membutuhkan keberanian, kemandirian, dan kemampuan untuk mempercayai intuisi dan nilai-nilai pribadi kita.

*Penulis merupakan mahasiswa Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar dan Pengurus PMKRI Pematangsiantar